[Nusantara] Media Indonesia : Tirani Prosedur
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 12 10:36:18 2002
Tirani Prosedur
KORUPSI selalu memperoleh jalan pembenaran di Indonesia. Siapa yang
kuat
dengan argumen pasti mengalahkan kebenaran. Argumen menjadi kekuatan
ampuh
untuk membunuh fakta.
Korupsi di Indonesia adalah sebuah tirani prosedur. Hukum yang katanya
mencari kebenaran materiil, ternyata berhamba pada prosedur. Kalau
seluruh
proses pencurian dilakukan secara benar maka korupsi dianggap sebagai
kepatutan. Dan, koruptor prosedural dianggap pahlawan. Celakanya,
pengetahuan tentang prosedur pencurian dan pencarian kebenaran masih
menjadi
barang mewah. Ini berkaitan sangat erat dengan elitisme dalam korupsi
yang
menggejala amat hebat di negeri ini.
Hukum pun ikut-ikut berubah menjadi elitis. Mudah menyalahkan yang
lemah dan
gampang dibeli untuk berhamba pada uang dan kekuasaan.
Banyak contoh yang bisa ditunjukkan untuk memperlihatkan betapa
rusaknya
cara berpikir para elite dan pemegang kekuasaan di negeri ini
berkaitan
dengan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Suap terhadap sejumlah anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP yang
dilakukan
BPPN kini berkembang menjadi lelucon. Ada angota yang mengembalikan
uang dan
rela bersaksi sesuai prosedur. Tetapi, demi prosedur pula, anggota
yang
lain
mengibarkan bendera hukum untuk mengatakan diri bersih dari
penyuapan.
Yang
mengembalikan dipanggil polisi, sedangkan yang tidak mengembalikan
melapor
kepada polisi.
Ujung dari keributan ini sudah bisa diduga. Polisi berpura-pura
memeriksa,
lalu pers menganggap berita itu semakin lama semakin usang dan
akhirnya
tenggelam entah ke mana. Suap-menyuap itu akan lenyap bersama
perjalanan
waktu. Maka, pertikaian para elite soal siapa menyuap siapa berakhir
dalam
kompromi di belakang layar yang besar kemungkinan diikuti dengan
sebuah
persekongkolan baru.
Soal rumah mewah Jaksa Agung MA Rachman dan KPKPN pun bisa ditunjukkan
bagaimana prosedur lagi-lagi menjadi pembenar yang bisa mengacaukan
akal
sehat. Rachman dianggap bersalah karena tidak memasukkan rumah mewah
itu
dalam formulir kekayaan yang diberikan KPKPN.
Di sisi yang lain, banyak sekali pejabat yang jujur mengisi formulir
itu
sampai-sampai sulit dijelaskan asal muasal hibah yang puluhan miliar
rupiah.
Bagi KPKPN, rupanya, pencurian atau kejahatan tidak menjadi perkara
yang
harus diributkan asal prosedur pengisian dilakukan secara benar.
Andai
kata
Jaksa Agung telah melakukan pencurian untuk membeli rumah mewah di
Cinere,
tetapi mengisi hasil curian itu di dalam formulir, bisa-bisa dianggap
selesai karena pencurian sebagai perbuatan dan prosedur sebagai syarat
formal telah dipenuhi. Soalnya, sampai saat ini kita tidak mendengar
lagi
kecurigaan KPKPN terhadap hibah yang diisi secara benar oleh para
pejabat,
namun tidak masuk akal dalam jumlah.
Tirani prosedur bisa ditemukan dalam perkara pengadaan bendera partai
politik yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perkara
korupsi
sebesar Rp 5,3 miliar itu dianggap sebagai kebohongan oleh hakim hanya
karena jaksa 'keliru' memasukkan kata dapat di depan kata kerugian
negara.
Ini adalah contoh sebuah kecurangan elitis.
Kita melihat ada kebohongan demi kebohongan yang terucap setiap kali
kasus
korupsi terbongkar. Tetapi, kebohongan itu kemudian diterima sebagai
kebenaran karena ada elitisme dalam argumen politik dan hukum.
Ini di satu sisi dianggap sebagai kecerdasan, tetapi di sisi lain
adalah
kebejatan. Kebejatan yang dilakukan orang-orang cerdas itulah yang
menyebabkan korupsi di Indonesia menjadi paradoks yang memalukan.