[Nusantara] M Khoirul Muqtafa : Menepis Hegemoni Negara atas Agama
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 12 11:24:15 2002
Menepis Hegemoni Negara atas Agama
M Khoirul Muqtafa, Pemerhati masalah agama dan politik
ARTIKEL yang ditulis oleh Hery Sucipto dengan judul 'Agama, Negara,
dan
Pluralisme' di harian Media Indonesia (Jumat, 27/9/2002) menarik untuk
ditanggapi. Dalam artikel tersebut, Hery Sucipto mencoba mengurai
kembali
benang kusut relasi agama dan negara yang selalu memunculkan polemik
dan
debat berkepanjangan namun tetap menarik untuk dibincangkan. Polemik
dan
perdebatan ini telah melahirkan berbagai teori politik tentang
kedaulatan.
Sebut saja paham teokrasi yang mengatakan bahwa kedaulatan ada di
tangan
Tuhan yang menghendaki agar Tuhan bisa mengatasi semua realitas,
termasuk
realitas negara. Atau, paham demokrasi yang berpendapat bahwa
kedaulatan ada
di tangan rakyat yakni pengelolaan negara harus didasarkan pada
prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa campur tangan agama. Juga paham
teodemokrasi yang mencoba untuk menengahi kedua faham tersebut, akan
tetapi
dianggap gagal karena pada akhirnya paham ini masih menunjukkan
intervensi
Tuhan dengan segala otoritas-Nya yang begitu kuat sehingga pendapat
rakyat
akan tersubordinasi dalam 'pendapat Tuhan'.
Di akhir tulisannya Hery Sucipto mengetengahkan masalah yang
sebenarnya
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Yakni bagaimana mendudukkan agama dan
politik (baca: negara) pada proporsinya masing-masing dalam rangka
saling
melengkapi kapasitasnya. Mengingat heterogenitas dan pluralitas,
utamanya
pluralitas agama, yang merupakan conditio sine quanon masyarakat
Indonesia.
Ia menawarkan gagasan reposisi antara agama dan negara yang merupakan
langkah penting untuk dilakukan.
Hegemoni negara atas agama
Reposisi agama dan negara dengan menempatkan keduanya pada proporsi
masing-masing tentunya bukanlah hal yang gampang. Mengingat realitas
yang
ada, alih-alih menunjukkan hubungan yang harmonis, ternyata keduanya
saling
menunjukkan upaya untuk mendominasi. Dalam sejarah perpolitikan di
Indonesia, hampir pasti kemenangan selalu ada di pihak negara. Kita
bisa
melihat bagaimana agama diacak-acak dan diobok-obok oleh pemerintah
karena
dianggap membahayakan posisi kekuasaan yang ada. Masih mengendap
dalam
benak
kita, baik pemerintahan Soekarno maupun Soeharto berusaha untuk
menjinakkan
dan melemahkan partai-partai Islam karena dianggap sebagai pesaing
kekuasaan
yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis.
Akibatnya, bukan hanya para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal
menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945
(menjelang Indonesia merdeka) dan pada akhir 1950-an, tetapi mereka
juga
mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut 'kelompok minoritas atau
kelompok luar'.
Hegemoni negara atas agama oleh pemerintah tampak begitu kuat
mengakar.
Hal
ini ditunjukkan dengan masih kukuhnya dominasi negara atas agama
hingga
mampu menentukan langgam, gaya, atau dinamika kehidupan beragama.
Ihwal
tersebut tampak tidak hanya dengan adanya 'intervensi langsung' dalam
bentuk
aneka peraturan negara ke dalam ranah keagamaan, atau politisasi serta
ideologisasi simbol-simbol keagamaan demi kepentingan pergulatan
kekuasaan
politik. Bahkan dalam konteks Indonesia, 'beragama' ternyata merupakan
'urusan negara', sebab sebagai konsekuensi logis dari sila pertama
Pancasila
dan rumusan yang ambigu Pasal 29 UUD 45, maka sama sekali tidak
dimungkinkan
seseorang untuk tidak beragama dalam wilayah Republik Indonesia.
Atau,
dalam
bahasa lain 'beragama' adalah sebuah 'paksaan', bukan 'pilihan'.
Di samping itu, begitu dominannya peran organisasi formal keagamaan
dan
penekanannya pada aspek simbolis/ritual keagamaan ketimbang aspek
substantif
juga menunjukkan bagaimana kontrol negara begitu kuat atas agama.
Kenyataan
seperti ini tentunya semakin membuka kemungkinan bagi intervensi para
politikus ke dalam ranah keagamaan. Atau sebaliknya, mengundang
kemungkinan
bagi para pemimpin agama masuk ke dalam kancah pergulatan kekuasaan.
Karena
setiap agama dikehendaki atau tidak ketika berhadapan dengan
kekuasaan,
selalu dimungkinkan menjadi ideologis (ideologisasi agama). Sebaliknya
setiap ideologi yang ingin memantapkan diri cenderung menempuh jalan
untuk
memberikan warna keagamaan pada dirinya (religiusifikasi ideologi).
Kemungkinan terjadinya ideologisasi agama ini bisa dilihat pada dua
gejala,
pertama, ketika agama berhadapan dengan kekuasaan tidak menjalankan
fungsi
kritisnya, tetapi lebih banyak menjalankan peranannya sebagai sarana
untuk
legitimasi kekuasaan. Kedua, ketika agama karena tugasnya
mengkhotbahkan
keselamatan dan mengajarkan kesempurnaan hidup, menjadi sarana yang
ampuh
untuk menciptakan hegemoni.
Reposisi agama dan negara
Pada titik ini reposisi agama dan negara tentunya menjadi persoalan
yang
makin pelik. Jari-jemari negara dengan segenap kekuasaannya masih
kukuh
menggenggam agama. Di saat yang bersamaan kita juga melihat agama
dengan
nilai-nilai profetis dan ruh sosialnya mulai memudar akibat intervensi
negara yang hegemonik yang meluluhlantakkan bangunan agama. Karenanya,
reposisi negara dan agama haruslah dilakukan dengan sangat jeli.
Reposisi
ini paling tidak bisa dilakukan dengan menempuh, pertama, mencabut
'saham'
para politikus atas ranah keagamaan dengan mempertegas pemisahan
antara
agama dan ranah politik. Ini dilakukan dengan maksud pencegahan sedini
mungkin politisasi terhadap agama yang sering menguntungkan segelintir
orang.
Kedua, menolak sama sekali intervensi negara ke dalam ranah keagamaan
baik
intervensi secara langsung dalam bentuk peraturan-peraturan ataupun
melalui
praktik-praktik manipulasi terhadap agama. Ketiga, mengembangkan
forum-forum
dialog agama sebagai strategi melakukan pemberdayaan (empowering)
sumber
daya yang ada sehingga para kaum agamawan akan semakin kritis dalam
menyikapi berbagai persoalan yang tengah dihadapi. Mengingat
akhir-akhir ini
banyak sekali muncul gerakan radikalisme umat beragama yang identik
dengan
kekerasan (violence). Agama haruslah steril dari politisasi dan
manipulasi
serta ideologisasi. Pengalaman keberagamaan selama ini telah
membuktikan
bahwa akibat ketiga hal tersebut tidak hanya menimbulkan masalah
internal
agama tapi juga sering menjadi penyulut konflik antaragama. Sekiranya
reposisi agama dan negara berjalan mulus maka hegemoni negara
(kekuasaan)
terhadap agama akan dapat ditepis dan agama beserta fungsi kritisnya
bisa
menjadi alat kontrol bagi sepak terjang negara. Wallahu a'lam bi
ash-shawab.***