[Nusantara] Eep Syaifullah : Format Baru Parlemen Celakakan Bangsa

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 12 12:12:01 2002


Format Baru Parlemen Celakakan Bangsa 

Jakarta, Kompas - Format parlemen Indonesia hasil perubahan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 belum menjadi solusi terhadap
penyelesaian persoalan keparlemenan saat ini. Format baru ini malah
bisa mengantarkan bangsa pada malapetaka, karena memantapkan kembali
adanya dominasi satu lembaga terhadap lembaga-lembaga lain, meski
dengan lokus berbeda.

Demikian disampaikan Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Tommy A Legowo,
pada seminar publik tentang Format Baru Parlemen Indonesia yang
diadakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Rabu
(9/10), di Jakarta. Pembicara lainnya dalam diskusi adalah Wakil Ketua
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ramlan Surbakti.

Dijelaskan Tommy, jika pada masa prareformasi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) tidak berfungsi karena didominasi lembaga kepresidenan
(eksekutif), pada masa reformasi DPR yang sebaliknya mendominasi
eksekutif. DPR yang berhasil menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid
menunjukkan bahwa DPR menjadi lembaga superkuat. 

Proses Perubahan UUD 1945 sendiri tetap menghasilkan DPR yang dominan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari DPR dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), menempatkan DPD menjadi sub-ordinat. DPR
menguasai arena legislasi, sedangkan DPD hanya ditempatkan sebagai
"staf ahli", memberi masukan kepada DPR.

Sedemikian dominannya kekuasaan DPR tersebut, papar Tommy, akan
membawa banyak persoalan. Kekuasaan DPR menjadi tidak terkontrol dan
berpotensi korup. Pada akhirnya, DPR juga dapat menjadi tumpuan
otoritarianisme baru.

Ramlan berpendapat, perumusan Undang-Undang (UU) Pemilu juga bisa
menjadi solusi untuk memberdayakan lembaga DPR. UU Pemilu menentukan
desain DPR, hubungan DPR dengan konstituen, maupun hubungan DPR dengan
partai politik. Karena itu pula, perdebatan tentang RUU Pemilu
hendaknya tidak diturunkan artinya menjadi sekadar prosedur untuk
perebutan kursi dalam pemilu.

Jika desain parlemen yang ditetapkan adalah parlemen dua kamar, lanjut
Ramlan, kewenangan DPR dan DPD harus ditempatkan setara. Karena itu,
peran maupun jumlah wakil DPD tidak boleh diminimalkan seperti yang
diusulkan sejumlah partai besar dalam pembahasan RUU Pemilu.

Di tempat terpisah, pengamat politik Eep Saefullah Fatah mengingatkan,
boleh saja partai-partai besar mengusulkan anggota DPD dikurangi
menjadi dua-tiga orang, bukan empat orang seperti dalam RUU Pemilu
yang diajukan pemerintah. Tetapi, semestinya pengurangan jumlah
anggota DPD itu tak diikuti dengan usulan penambahan jumlah anggota
DPR. Sebab, dengan jumlah anggota yang sangat sedikit, tidak seimbang
dengan jumlah anggota parlemen, DPD tidak dapat optimal melaksakan
fungsi memperbaiki sistem kepartaian dan perwakilan.

"Harus diingat, pembentukan DPD antara lain untuk memperbaiki sistem
kepartaian dan perwakilan. Karena, selama ini ada problem anggota DPR
yang berasal dari partai memang betul menjadi wakil rakyat. Tetapi, de
facto rakyat merasa tidak terwakili. Sebab itu, dibentuk DPD yang
berasal bukan dari partai dan mewakili daerah. Diharapkan, dengan DPD,
anggota DPR yang berasal dari partai pun bisa lebih dekat dengan
pemilihnya. Toh, mereka, kan, sama-sama wakil rakyat," kata Eep yang
juga pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

Diingatkan Eep, peranan DPD sesuai dengan perubahan UUD 1945 sudah
sangat terbatas. Jika jumlah anggota DPD semakin sedikit, mereka tak
akan optimal melaksanakan tugasnya. (sut/tra)