[Nusantara] Soal Dukungan Lima JAM terhadap Rachman Membuat Wibawa Kejagung Semakin Jatuh

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 12 12:12:19 2002


Soal Dukungan Lima JAM terhadap Rachman
Wibawa Kejagung Semakin Jatuh

Jakarta, Kompas - Dukungan yang dipertontonkan lima jaksa agung muda 
(JAM)
di lingkungan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap kepemimpinan Jaksa 
Agung
MA Rachman yang tidak melaporkan sebuah rumah miliknya kepada Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) menimbulkan kecurigaan
masyarakat. Dukungan itu justru akan makin menjatuhkan wibawa 
Kejagung 
yang
sudah terpuruk.Ungkapan kekecewaan terhadap dukungan lima jaksa agung 
muda
itu disampaikan Ketua Komisi II DPR Teras Narang, praktisi hukum Adnan
Buyung Nasution, dan Trimoelja D Soerjadi di Jakarta dan Surabaya, 
Jumat
(11/10).
Dalam perkembangan lain, anggota Tim Pemeriksa KPKPN, Winarno Zain, 
usai
memeriksa Kito Irkhamni mengungkapkan, tim pemeriksa akan kembali 
memanggil
Rachman untuk menjelaskan perbedaan keterangan Rachman dengan Kito. 
Namun,
ia tidak mengungkapkan secara pasti kapan pemanggilan itu akan 
dilakukan.
Ketika didesak, ia hanya mengatakan, secepatnya.
KPKPN juga akan menyelidiki mengapa Rachman menjual murah rumahnya 
kepada
Husin Tanoto dan juga akan meminta klarifikasi soal rencana Rachman
mengalihkan kepemilikan rumah kepada orang lain sebelum kepada 
putrinya,
Chairunnisa.
Rachman, yang sedang menjadi sorotan masyarakat karena tidak 
melaporkan
sebuah rumah di Graha Cinere, Depok dan dituntut mundur berbagai 
kalangan,
justru didukung oleh para jaksa agung muda. Mere-ka adalah Pelaksana 
Harian
Wakil Jaksa Agung Bachtiar Fachry Nasution, JAM Pidana Khusus Hariyadi
Widyasa, JAM Intelijen Basrief Arief, JAM Pembinaan Syukri, JAM 
Pengawasan
Achmad Lopa, staf ahli Jaksa Agung Ramelan, dan Kepala Pusat 
Penerangan
Hukum Barman Zahir, dan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta 
Muljohardjo.
Kecurigaan
"Seharusnya mereka diam saja. Adanya dukungan itu justru menimbulkan
kecurigaan karena dukungan itu menunjukkan mereka akan saling 
melindungi dan
saling menutupi. Kejadian itu sekaligus menunjukkan bahwa Jaksa Agung 
harus
berasal dari luar Kejaksaan Agung," kata Adnan Buyung Nasution, yang 
juga
pernah menjadi jaksa.
Ketua Komisi II DPR Teras Narang menilai dukungan ter-sebut tidak 
tepat 
dan
sangat berlebihan. Dukungan tersebut justru menimbulkan kecurigaan 
pada
masyarakat ada apa di balik dukungan tersebut.
Ia mengatakan, "Saya sangat menyesali sikap JAM. Dalam situasi 
seperti 
itu
mereka memang harus memperlihatkan solidaritas di lingkungan Kejaksaan
Agung, tetapi tidak perlu berbuat seperti itu. Karena masalah
dukung-mendukung, itu justru akan semakin mempersulit posisi institusi
kejaksaan."
Praktisi hukum Trimoelja D Soerjadi melihat dukungan pa-ra JAM itu 
merupakan
bentuk komunalisme sempit dan kehilangan nilai kepatutan. Di samping 
itu,
tidak mendidik masyarakat dalam hal penegakan moral dan etika. "Tak 
pada
tempatnya JAM mengeluarkan pernyataan semacam itu. Mestinya mereka 
peka
terhadap aspirasi besar masyarakat yang menuntut tanggung jawab moral 
MA
Rachman," kata Trimoelja.
Kalangan JAM sebagai aparat penegak hukum mestinya tetap bisa bersikap
independen dan obyektif. Mendukung setiap proses penegakan hukum, 
sekalipun
menyangkut aparat penegak hukum tertinggi. Akan tetapi dengan sikap
komunalisme sempit demikian, mereka tidak lagi independen. Bahkan,
menyimpang dari nilai-nilai kepatutan.
Trimoelja mengatakan, pada saat mengisi Laporan Kekayaan Penyelenggara
Negara (LKPN), Rachman menyertai dengan konsekuensi siap menerima 
sanksi
jika sampai tidak benar atau berbohong. Pada kenyataannya ia mengisi 
secara
tidak benar, yaitu dengan adanya harta yang tidak dilaporkan. Minimal 
bisa
dinilai melakukan kelalaian.
"Seharusnya dia konsekuen dengan pernyataannya tersebut. Ini merupakan
masalah tanggung jawab moral dan etika. Bukan soal hukum membuktikan 
atau
tidak. Dengan demikian, mestinya mundur sebagai bentuk tanggung jawab 
moral
dan etika," katanya.
Mendukung
Di Kejagung, sampai kemarin, tidak terlihat Jaksa Agung berkantor. 
Beberapa
orang yang ingin menemui Rachman tidak berhasil, antara lain advokat
Alamsyah Hanafiah. Ia mengaku datang ke Kejagung untuk memberi 
dukungan
ke-pada Rachman.
"Saya melihat kasus Jaksa Agung ini sengaja dipolitisir. Ada 
kepentingan
yang bermain di sana. Kalau melihat nilai kekayaannya, dengan 
pengalaman
kerja yang sedemikian lama, masak ia ndak bisa punya sebanyak itu," 
ujarnya.
Ia menilai kekayaan Rach-man jauh lebih kecil dibandingkan dengan 
kekayaan
sejumlah Kepala Kejaksaan Tinggi. Masalahnya, sekarang Rachman sengaja
digoyang karena ada beberapa kasus yang sedang dan sudah ditangani
kejaksaan. "Ini bukan tidak ada kaitannya, baik kepentingan partai 
politik
tertentu maupun kelompok tertentu yang kecewa, dan tidak mau diproses
hukum," ujarnya.
Alamsyah justru mendorong Rachman agar memberikan klarifikasi kepada 
publik
bahwa yang dilakukannya tidak melanggar hukum.
Periksa Kito
Tim pemeriksa dari Subkomisi Yudikatif KPKPN, Jumat, kembali meminta
keterangan Kito Irkhamni berkaitan dengan kepemilikan rumah di Graha 
Cinere,
Depok.
Usai memberikan keterang-an, kepada wartawan, Kito, yang didampingi 
oleh
penasihat hukum Hotma Sitompoel, Ruhut Sitompul, dan Tommy Sihotang,
mengatakan, penjualan rumah Rachman di Graha Cinere tersebut, yang 
dihargai
cuma Rp 950 juta, jelas sangat murah dibandingkan harga sebenarnya. 
Sebab,
untuk membangun rumah tersebut, setidaknya diperlukan dana minimal Rp 
1,8
milyar.
Sebagai pemborong bangunan, Kito menyatakan berani membeli rumah itu 
senilai
Rp 1,5 milyar. Ia justru mempertanyakan apakah dalam proses jual beli 
itu
Husin Tanoto menipu Rachman atau karena ada sesuatu di belakangnya. 
Hanya
saja, Kito tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan sesuatu itu 
dan
meminta wartawan bertanya kepada tim pemeriksa.
Petrus Selestinus, anggota Subkomisi Yudikatif KPKPN yang ikut 
memeriksa
Rachman, masih merasa ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi Rachman 
menyangkut
rumah itu.
Menyayangkan
Menanggapi proses pemeriksaan Rachman, Teras Narang menyayangkan 
ekspos 
yang
dilakukan KPKPN yang, menurut dia, terlalu dini, mengingat tugas yang
dilakukan KPKPN baru sebatas klarifikasi. Hal itu melanggar 
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
"Mestinya mereka (KPKPN-Red) melapor ke Presiden, DPR, dan Mahkamah 
Agung,
bukan mengekspos kepada masyarakat. Karena apa yang dilakukan KPKPN 
masih
dalam taraf mentah, kalau nanti ada unsur KKN, ya tindak lanjuti ke 
instansi
berwenang," ujarnya.
Oleh karena itu, Teras mengimbau kepada KPKPN agar berhati-hati, 
karena 
hal
itu menyangkut penyelenggara negara.
Masih 32
Selain Jaksa Agung MA Rachman, masih ada 32 penyelenggara negara yang
diindikasikan melakukan KKN dan akan diperiksa secara khusus oleh 
KPKPN.
Ke-32 pejabat tersebut terdiri dari pejabat eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Anggota 
Komisi
Yudikatif KPKPN Lili Asdjudiredja menyampaikan hal itu kepada 
wartawan 
di
Jakarta. "Dari eksekutif itu ada menteri, ada dirjen, ada gubernur, 
dan 
wali
kota. Dari legislatif, ada MPR, ada anggota DPR, dan DPRD. Sedangkan 
dari
yudikatif ada hakim dan jaksa," ujar Lili.
Lili belum bersedia menyebutkan siapa ke-32 penyelenggara negara yang 
akan
diperiksa. Ia hanya menegaskan bahwa beberapa di antaranya sudah 
dipanggil
dan dalam waktu dua minggu ke depan, pemeriksaan akan diselesaikan.