[Nusantara] Wimpie Pangkahila : Kita Memerlukan Pemimpin, Bukan Pejabat

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 12 12:12:23 2002


Kita Memerlukan Pemimpin, Bukan Pejabat
Oleh Wimpie Pangkahila

PERNAHKAH Anda merenungkan beberapa peristiwa berikut ini? Sekelompok 
massa
menggebuki seseorang yang diteriaki '"maling'" sampai mati. Pertikaian
antar-etnis dan kelompok masyarakat lain telah menewaskan ribuan anak
manusia. Massa bersenjata berkeliaran di jalan dan merusak milik 
orang 
lain.
Demonstran bayaran dikerahkan untuk memaksakan kehendak kelompok 
tertentu.
Aparat hukum memeras, dan sederet lagi peristiwa yang memalukan 
seperti 
itu.

Di negeri ini, banyak peristiwa seperti itu berlangsung begitu saja,
terkesan seenaknya, tanpa ada penyelesaian, dan tak ada yang mampu
menyelesaikan. Kesan apa yang muncul di benak Anda?
Salah satu kesan yang mungkin muncul di benak kita ialah tidak ada 
pemimpin
bangsa yang sebenarnya di negeri ini. Tetapi, mungkinkah sebuah 
negeri 
tanpa
pemimpin? Jawabnya '"mungkin saja'". Negara semacam Uganda di bawah 
pimpinan
Idi Amin dulu tetap eksis sebagai negara. Tetapi, negara macam apa?
Kita punya banyak pejabat yang menyelenggarakan kehidupan bernegara. 
Tetapi,
pejabat tidak otomatis menjadi pemimpin. Setiap orang yang sedang 
memegang
jabatan tertentu, penting atau tidak, menentukan atau tidak, adalah 
seorang
pejabat. Seorang pejabat hanya semata-mata bekerja melaksanakan tugas 
karena
itulah tugas yang seharusnya sesuai dengan kemampuannya.
Syarat dasar

Di sisi lain, pemimpin adalah seseorang yang mampu memimpin karena 
memenuhi
syarat kepemimpinan. Pemimpin bangsa mampu memimpin bangsanya menuju
kehidupan berbangsa yang lebih baik. Kalau ternyata kualitas kehidupan
bangsa tidak berubah atau bahkan menjadi lebih buruk, artinya mereka 
gagal
sebagai pemimpin, atau mereka sebenarnya bukan pemimpin. Bila ternyata
rakyatnya menjadi lebih brutal, lebih korup, lebih biadab, mereka 
bukan
pemimpin, tetapi hanya pejabat.

Menjadi pejabat jauh lebih mudah dan sederhana daripada menjadi 
pemimpin.
Apalagi dengan pelaksanaan aturan dan hukum yang tidak jelas seperti 
negara
kita ini. Banyak upaya, terpuji atau tidak terpuji, dapat dilakukan 
untuk
dapat menjadi pejabat. Kita mendengar berbagai cara dilakukan agar 
dapat
menjadi pejabat tertentu, mulai dari cari muka, berkolusi, mengirim 
upeti,
sampai ke cara tidak rasional seperti mengunjungi makam yang dianggap
keramat.
Namun, tidak demikian untuk menjadi pemimpin yang sebenarnya. Dalam 
keadaan
amburadul seperti sekarang, kita memerlukan pemimpin bangsa bukan 
sekadar
pejabat. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang paling tidak memenuhi 
tiga
syarat dasar. Pertama, bermoral tinggi. Kedua, bersikap dan 
berperilaku
sebagai negarawan. Ketiga, mempunyai pengetahuan umum cukup dengan 
wawasan
luas dan global. Ketiga syarat dasar ini diperlukan untuk menjadi 
pemimpin,
baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Ternyata tidak mudah memenuhi tiga syarat dasar itu. Coba renungkan 
dengan
baik. Syarat pertama, bermoralitas tinggi, berarti harus jujur dan 
bernurani
tinggi dalam kehidupan berbangsa. Jujur dan bernurani tinggi bukan 
hanya
berarti tidak korupsi, tetapi lebih jauh lagi. Seorang pejabat yang 
asal
bicara tanpa didukung data atau menutupi kenyataan buruk yang 
merugikan
masyarakat, tergolong tidak bermoral. Bila ada pejabat yang menyatakan
'"tidak ada teroris di Indonesia'" padahal bom meledak di mana-mana 
dan
korban berjatuhan, dia tergolong tidak bermoral karena telah 
berbohong 
dan
tak punya nurani. Berarti dia tidak layak disebut pemimpin. Pejabat 
yang
membiarkan warganya menjadi korban perkosaan di luar negeri dan tidak 
berani
menuntut, tidak layak dijadikan pemimpin.
Pejabat yang menyalahgunakan uang rakyat atau korup, tergolong tidak
bermoral, tidak layak menjadi pemimpin. Pejabat yang menggunakan gelar
akademik yang didapat dengan cara tidak wajar dan tergolong tidak 
bermoral.
Dia tidak layak disebut pemimpin. Pejabat yang berstatus terpidana, 
namun
nekat menduduki jabatannya tergolong tidak bernurani. Pejabat seperti 
itu
bukan pemimpin. Patutkah disebut pemimpin bila membiarkan 
ketidakbenaran
merajalela karena takut kehilangan jabatan? Pejabat seperti itu tentu 
bukan
pemimpin.

Syarat kedua, diperlukan untuk menjadi pemimpin bangsa. Bersikap dan
berperilaku negarawan berarti menjadi pemimpin bagi seluruh warga 
negara,
bukan sekelompok warga negara saja. Pemimpin yang negarawan mutlak
diperlukan bila tetap menginginkan negara ini sebagai negara kesatuan
mengingat masyarakat kita yang beragam latar belakangnya. Pejabat yang
mencoba meniadakan keberagaman berbagai segi di masyarakat Nusantara 
ini
tidak layak menjadi pemimpin.
Pejabat yang hanya mementingkan kelompok tertentu bukanlah pemimpin 
yang
diperlukan oleh negeri ini. Pejabat yang diskriminatif dalam aspek 
apa 
pun,
tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Dia hanya layak menjadi pemimpin
kelompok, bukan pemimpin bangsa.
Syarat berpengetahuan umum dengan wawasan luas dan global mutlak 
diperlukan
oleh pemimpin bangsa, karena kini kita hidup pada masa global. 
Pejabat 
yang
pengetahuan umumnya amat kurang apalagi berwawasan sempit dan dungu 
akan
membuat masyarakat kian bodoh, dan pasti merugikan. Bahkan, pejabat 
yang
masih percaya mistik, bukan hanya tidak layak menjadi pemimpin, 
tetapi 
juga
tidak layak menjadi pejabat. Mengapa? Karena dia tidak mendidik 
masyarakat
agar menjadi lebih pandai, tetapi lebih bodoh. Pernyataan seperti 
"program
KB tidak akan membuat rakyat jadi pintar dan kaya" menunjukkan 
sempitnya
pengetahuan umum dan wawasan tentang Keluarga Berencana. Sungguh 
menyedihkan
bila itu diucapkan oleh seorang pejabat. Yang pasti, dia tidak 
memenuhi
syarat dasar sebagai pemimpin bangsa.

Interaksi antarbangsa dengan aneka kenyataan yang ada, harus 
dihadapi, 
bukan
dibiarkan. Ketergantungan kepada pihak luar negeri adalah kenyataan 
buruk
yang harus dihadapi. Wawasan yang sempit sering menimbulkan pemikiran 
dan
tindakan nekat yang merugikan. Pejabat yang berwawasan sempit akan 
bersikap
dan bertindak nekat yang bisa berakibat buruk serta merugikan dalam
interaksi antarbangsa. Pejabat seperti ini tidak layak menjadi 
pemimpin.
Sebagai panutan

Pemimpin bangsa harus dapat dijadikan panutan masyarakat yang kini 
sedang
sakit. Setiap sikap, ucapan, kebijakan, dan tindakannya harus dapat
dijadikan panutan bagi masyarakat. Sebaliknya, bila malah mendatangkan
akibat buruk, dia tidak layak menjadi pemimpin.

Kita sering dibuat kecewa usai mendengar atau membaca pernyataan 
seorang
yang dianggap pemimpin, yang ternyata asal bicara, tidak masuk akal, 
atau
salah sama sekali dan menyesatkan. Masalahnya, antara lain pengetahuan
umumnya kurang, wawasannya sempit sehingga terkesan dungu. Bayangkan 
bila
undang-undang atau peraturan yang menyangkut nasib bangsa dibuat oleh 
orang
yang pengetahuan dan wawasannya sempit.

Tidak jarang, kita saksikan tindakan dan kebijakan yang tidak dapat
dijadikan panutan. Tidak sedikit peraturan atau kebijakan seorang 
pejabat
tinggi yang tidak dilaksanakan aparatnya di daerah, ternyata dibiarkan
begitu saja tanpa tindakan.

Sebagai bangsa yang sedang kacau, kita amat memerlukan pemimpin. Tanpa
pemimpin, hanya pejabat saja, bangsa ini tidak akan menjadi lebih
berkualitas. Kita memerlukan pemimpin di eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Jadi bukan hanya sekadar pejabat yang diangkat, disumpah, 
bekerja
seenaknya, tidur lelap waktu sidang, dan menerima gaji, tanpa ketiga 
syarat
dasar itu.

Mengacu pada berbagai penilaian terhadap beberapa aspek yang dibuat 
lembaga
internasional, bangsa ini sedang terpuruk pada kualitas yang amat 
rendah.
Dalam keadaan seperti ini, kita amat memerlukan pemimpin bangsa. 
Masalahnya,
masih mungkinkah kita mendapatkan pejabat yang pemimpin, bukan hanya 
sekadar
pejabat saja.

Siapakah di antara para pejabat atau bukan pejabat, yang layak 
disebut 
atau
dijadikan pemimpin bangsa? Silakan cari di antara pejabat yang ada 
atau 
di
antara nama terkenal, dan mengacu pada ketiga syarat itu. Mudah-
mudahan 
Anda
menemukannya. Jadi jangan salah memilih pemimpin bangsa. Bila salah 
pilih,
kian gawatlah kita.

WIMPIE PANGKAHILA, Dosen pascasarjana Universitas Udayana