[Nusantara] Militer Di Bawah Dominasi Sipil
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 09:36:23 2002
Militer Di Bawah Dominasi Sipil
Oleh Bayu Wicaksono
Selasa, 15 Oktober 2002
Hanya dalam hitungan hari, sejak TNI memperingati hari jadinya, 5
Oktober,
ide untuk membuat Dewan Keamanan Nasional (DKN) mencuat ke permukaan.
Usulan
pembentukan DKN pada dasarnya semata-mata sebagai satu bola salju,
dimana
militer harus berada di bawah kendali sipil. Layaknya kerja komite,
komisi
atau badan-badan di luar struktur pemerintah, seperti BPPN (Badan
Penyehatan
Perbankan Nasional), KHN (Komisi Hukum Nasional), KPKPN (Komisi
Penyelidik
Kekayaan Pejabat Negara) dan Komnas HAM. Maka selayaknya pula, badan
tersebut bertindak dan bersikap independen. Dengan demikian, KKN bisa
dihindarkan, meski saat ini isu suap, kolusi dan korupsi sudah
memerahkan
telinga kita.
Jika DKN dibentuk dengan cara dan kerja sebuah komisi, maka haruslah
ada
perbandingan jumlah anggota yang secara signifikan membuat sipil jauh
lebih
banyak. Paling tidak, ada perbandingan 2 : 1, tentunya dengan catatan
setiap
calon anggota DKN dari sipil juga bukan dari purnawirawan.
Sebenarnya,
jika
kita mau mengupas lebih jauh, apa peranan dan tanggung jawab DKN di
kemudian
hari? Tentunya, DKN memiliki kewenangan mutlak dan awal, yaitu
menempatkan
sipil dalam kehidupan militer. Dengan tujuan agar militer ada di bawah
kendali sipil.
Tragedi penyerangan Batalyon Linud 100 terhadap markas Brimob dan
Polres
yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kalangan kepolisian dan sipil
tampaknya menjadi "kado" yang cukup menyedihkan. TNI kembali diuji
konsistensi dan kedisiplinannya dalam menjalankan Sapta Marga,
mengingat
bahwa apa yang telah terjadi jelas-jelas bertentangan dengan doktrin
tersebut. TNI kembali dituntut untuk bercermin atas segala tindakan
yang
telah dilakukan sejak awal keberadaannya, melakukan introspeksi atas
segala
kesalahan dan memperbaikinya di masa yang akan datang. Namun yang
lebih
menyedihkan adalah pernyataan Kasad bahwa bentrokan itu dipicu orang
ketiga.
Pernyataan ini menjelaskan bahwa Kasad sedang bermain-main dengan
"kambing
hitam".
Jika DKN terbentuk, maka implementasi dari paradigma baru TNI tidak
akan
berjalan di tempat, seperti saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa
Paradigma
Baru TNI adalah konsep yang lahir pasca jatuhnya rezim pemerintahan
Soeharto. Bersamaan dengan jatuhnya rezim, TNI mendapat kritik dan
sorotan
tajam dari publik nasional dan internasional, mengingat bahwa
menjelang
kejatuhan rezim, terjadi peningkatan eskalasi kekerasan negara yang
melibatkan militer sebagai pelakunya. Namun, dengan jatuhnya rezim
Orde
Baru, TNI mencoba meraih kembali simpati publik dan mengembalikan nama
baiknya, sehingga muncul gagasan Paradigma Baru TNI dengan adanya
konsep
reposisi, redefenisi dan reaktualisasi.
Dalam buku "TNI Abad XXI: Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi
Peran
TNI
dalam Kehidupan Bangsa", yang dikeluarkan Mabes TNI Tahun 1999 lalu,
redefinisi adalah penyesuaian peran TNI dalam kehidupan bangsa
memasuki
abad
XXI, yaitu peran yang utuh dalam pertahanan negara dan pembangunan
bangsa.
Embanan peran sosial politik TNI di masa depan merupakan bagian dari
peran
pembangunan bangsa, yang tetap menjadi bagian dari sistem nasional
dan
atas
kesepakatan bangsa. Seutuhnya, TNI akan berperan dalam mempertahankan
keutuhan negara dari ancaman internal, memelihara keamanan dalam
negeri
dari
ancaman internal, mendorong pengembangan demokrasi dan masyarakat
madani,
membantu peningkatan kesejahteraan rakyat, serta melaksanakan tugas
pemeliharaan dan perdamaian dan kerjasama internasional.
Sementara kata Reposisi diartikan sebagai peletakkan peran TNI sebagai
bagian dari komponen bangsa, yang bersama-sama komponen bangsa yang
lain
bertanggungjawab dalam memelihara kehidupan nasional dan mengambil
bagian
dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat indonesia yang sejahtera,
demokratis, dan tertib. TNI tidak akan bersikap sebagai yang paling
bertanggungjawab terhadap semua permasalahan nasional, tetapi akan
menjadi
bagian integral untuk mengatasi permasalahan-permasalahan itu. Dalam
tataran
operasional, TNI akan meletakkan diri dan mengambil jarak yang tepat
dan
adil dengan organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan,
sehingga tercipta hubungan yang sehat dan harmonis guna mencapai
sinergi
yang positif untuk bersama-sama membangun bangsa. Dan, Reaktualisasi
diartikan sebagai penataan kembali implementasi TNI pada masa
mendatang.
Sudah menjadi komitmen TNI untuk menerapkan perannya di masa depan
secara
tepat sesuai perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat.
Reaktualisasi
ini
meliputi paradigma, doktrin, struktur, pendidikan, latihan, hukum,
dan
etika
moral kepemimpinan.
Dalam implementasinya, Paradigma Baru TNI, terdapat dua tafsir yang
berkembang di kalangan TNI, yaitu tafsir yang memperhatikan tuntutan
dan
asipirasi masyarakat dan tafsir yang dimunculkan dari kalangan
militer
pro
status quo. Dalam perjalanannya, yang terjadi adalah proses
konsolidasi
politik pada tubuh TNI, sehingga tafsir dari kalangan militer pro
status quo
menjadi menguat. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah, apa dan
bagaimana Paradigma Baru TNI tersebut belum bisa dikatakan berjalan
baik,
jika tidak ingin dikatakan gagal. Permasalah yang timbul adalah lebih
dititkberatkan pada masalah internal yang ada di tubuh TNI sendiri.
Dan
celakanya, justru masalah internal inilah yang konon menjadi faktor
utama.
Dengan begitu, kesan yang ditimbulkan adalah, TNI tidak mau berubah.
Contoh
yang paling sering menjadi bahan diskusi adalah masalah Bisnis
Militer.
Hingga saat ini bisnis militer sungguh telah menggurita, di mana
masing-masing angkatan memiliki bisnis sendiri-sendiri. Argumentasi
dasar
yang melegitimasi adanya bisnis militer adalah ketidakmampuan negara
membiayai dan memenuhi kebutuhan minimal yang diperlukan untuk
membangun
sebuah kekuatan militer yang tangguh. Alasan lain adalah pasca
kemerdekaan
1945, ketika negara tidak mempunyai dana untuk membiayai perang
kemerdekaan,
alasan di atas diberlakukan. Namun keterlibatan militer dalam bisnis
semakin
menjadi-jadi seiring kebijakan nasionalisasi perusahaan milik Belanda
pada
tahun 1957. Pada masa Orde Baru, pemikiran mengenai pembangunan
ekonomi
semakin melembaga dan tidak terkontrol, karena bisnis tersebut
terjadi
dalam
skala kecil seperti koperasi, maupun dalam skala besar ABRI seperti
dengan
mendirikan berbagai Yayasan dan holding company.
Kedua adalah Peran Teritorial TNI di mana peran ini dalam internal TNI
dianggap sebagai dukungan dan bantuan dalam menyelamatkan kedaulatan
negara,
mengefektifkan jalannya pemerintahan serta mempertahankan berlakunya
konstitusi, dalam tafsir yang dikembangkan negara diartikan dengan
pemberian
peran territorial. Dalam prakteknya peran teritorial justru memuncul
suatu
permasalahan karena hampir seluruh ruang publik dan privat berada di
bawah
kontrol militer dengan dalih pembinaan hingga ke tingkatan desa. Pada
tingkatan tertentu peran teritorial justru menjadi semakin tidak
bermanfaat
ketika TNI justru menjadi faktor pendukung bagi terjadinya
kriminalitas
dan
pelanggaran hukum lainnya, baik dengan menjadi beking atau terlibat
langsung.
Maka, DKN menjadi bagian terpenting dan tercepat untuk reformasi
tatamiliter
di Indonesia. Namun, seringkali, jika sebuah usulan dan saran datang
untuk
menjadi perbaikan, justru dianggap intervensi. Benarkah demikian? ***
(Penulis adalah Koordinator Advokasi AJI, Jakarta