[Nusantara] KSAD: Jaringan Intelijen RI Porak-poranda

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 09:48:49 2002


KSAD: Jaringan Intelijen RI Porak-poranda

Jakarta, Kompas - Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal 
Ryamizard
Ryacudu mengemukakan bahwa jaringan intelijen Indonesia saat ini
porak-poranda. Upaya pelumpuhan intelijen itu dilakukan oleh pihak 
dari 
luar
yang punya kepentingan mengacaukan Indonesia.
"Kalau mau merusak negara tertentu, rusakkan dulu tentaranya. Untuk 
merusak
tentara, rusakkan dulu intelijennya. Kalau intelijen sudah lumpuh, 
maka
negara itu akan kacau. Kita sudah pada tahap intelijen yang sedang
dilumpuhkan," kata Ryamizard, Selasa (15/10), di Daerah Latihan 
Komando
Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) di Desa Cibenda, 
Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat.
Ryamizard bersama Panglima Kostrad Letjen Bibit Waluyo berada di 
kawasan
yang dikenal sebagai Bukit Cakra dalam rangka kegiatan Latihan Tempur
Batalyon Kavaleri (Yonkav) Tank-1/Kostrad. Latihan "batalyon tank 
dalam
serangan" yang baru pertama kali diadakan di Indonesia itu disaksikan
Presiden Megawati Soekarnoputri, Menteri Pertahanan (Menhan) Matori 
Abdul
Djalil, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Staf TNI 
Angkatan
Laut (KSAL) Laksamana Bernard Kent Sondakh, Kepala Staf TNI Angkatan 
Udara
(KSAU) Marsekal Chappy Hakim, serta atase pertahanan negara-negara 
ASEAN.
Menurut Ryamizard, menghadapi kondisi tersebut, intelijen Indonesia 
perlu
segera dibenahi. Pembenahan dilakukan dengan membangun kembali 
jaringan 
yang
selama ini rusak. "Jaring-jaring itu tidak bisa dibuat sendiri-
sendiri.
Polisi buat jaringan sendiri, tentara juga buat. Akibatnya, begitu 
terjadi
sesuatu, baru semua sibuk mencari-cari siapa pelakunya," papar 
Ryamizard.
Secara khusus untuk jajaran TNI AD, KSAD telah menginstruksikan kepada
seluruh panglima kodam untuk secara aktif membangun jaringan 
intelijen,
secara perseorangan maupun dengan melibatkan masyarakat. KSAD juga 
meminta
agar masyarakat turut mendukung TNI dan tidak terpengaruh oleh 
pihak-pihak
yang sengaja menjelek-jelekkan TNI.
"Tentara jangan lagi diikat-ikat terus, yang dapat berakibat tidak 
bisa
berbuat maksimal. Kalau dulu, tentara ditekan terus karena ikut-ikutan
berpolitik. Sekarang tidak berpolitik lagi, tidak usah diikat-ikat 
lagi,"
ujar Ryamizard.
Koordinasi
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan KSAD tidak mengakui 
bahwa
kerusakan jaringan intelijen disebabkan oleh melemahnya koordinasi
antarunsur intelijen, terutama setelah pemisahan TNI dan Polri.
"Selama ini koordinasi tetap ada. Sudah banyak kasus yang dapat 
diungkap
secara bersama-sama, akan tetapi dengan suatu koordinasi yang lebih 
baik
dengan seluruh unsur intelijen, kinerjanya dapat ditingkatkan," kata
Endriartono. "Koordinasi sudah bagus. Cuma karena jaring-jaringnya 
dirusak,
begini akibatnya," ucap Ryamizard.
Sementara Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil berpendapat lain. 
Menurut
Matori, sulitnya mengantisipasi segala kemungkinan aksi teror antara 
lain
disebabkan oleh pemisahan TNI dan Polri. "Pemisahan tersebut 
menyerahkan
tugas keamanan dalam negeri kepada polisi. Sementara polisi terbiasa
menangani kasus dimulai dari TKP (tempat kejadian perkara). Artinya, 
sesuatu
terjadi lebih dahulu baru dilakukan penyelidikan," ujarnya.
Padahal, kata Matori, untuk menghadapi terorisme dibutuhkan langkah
antisipasi, deteksi dini berdasarkan data-data intelijen yang telah
dihimpun. Ia menambahkan, langkah pencegahan membutuhkan intelijen 
yang
akurat, karena itu intelijen harus hebat dengan dukungan peralatan 
yang
canggih.
UU Intelijen
Ditanya tentang peningkatan kemampuan intelijen, Ketua Komisi I Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Ibrahim Ambong mengatakan, untuk jangka 
pendek, 
yang
seharusnya bisa mengoordinasikan komunitas intelijen adalah Menteri
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam).
"Antara Badan Intelijen Negara (BIN), intelijen polisi, dan Badan 
Intelijen
Strategis (Bais) Tentara Nasional Indonesia (TNI), input yang kami 
terima
laporannya kadang-kadang berbeda," tuturnya.
Menurut Ambong, Menko Polkam dengan kebijakannya dapat membuat apakah
koordinasi intelijen itu menjadi struktural atau tidak, karena 
alirannya
sudah jelas, yaitu menunggu koordinasi Menko Polkam. "Kalau 
koordinasi 
tidak
jalan, baru bisa dibentuk badan baru," katanya.
Dalam jangka panjang, menurut Ambong, bisa saja dibuat suatu UU 
tentang
Intelijen. "Itu juga pernah diangkat Pak Hendropriyono (Kepala BIN) 
agar
dibuat UU tentang Intelijen atau UU Kerahasiaan Negara. Saya belum 
menangkap
gambarannya, tetapi ada keinginan untuk itu," tuturnya.
Di hari yang sama, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak 
Kekerasan
(Kontras) menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) 
Antiterorisme
karena diduga akan kembali menjadi sumber otoritarianisme rezim. 
Kontras
berpendapat, lebih baik pemerintah dan parlemen menyiapkan 
Undang-Undang
Intelijen yang bisa mendorong lembaga intelijen nasional makin kuat,
terutama menghadapi terorisme.
Koordinator Kontras Ori Rahman dalam acara jumpa pers, Selasa, 
mengatakan,
publik masih trauma menghadapi sepak terjang aparat keamanan yang 
dengan
alasan kerja intelijen meniadakan hak-hak sipil, bahkan melakukan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
"Lebih baik tingkatkan kemampuan sikap tanggap aparat, serta kontrol 
publik
terhadap aparat lewat UU Intelijen," ucap Ori.
Dia berpendapat, lewat UU Intelijen bisa dihapus hambatan kerja sama 
atau
tugas tumpang tindih antara kerja intelijen TNI dan Polri. Ada 
mekanisme
kontrol atau audit tertentu menyangkut distribusi bahan peledak.
"Pendek kata, lewat UU Intelijen, TNI dan Polri mampu melakukan upaya
preventif terhadap terorisme dan tindak kekerasan. Beda dengan RUU 
Terorisme
yang sifatnya lebih reaktif, ada kejadian dulu baru berlaku sejumlah
ketentuan dalam UU tersebut," tuturnya.
Menurut Ori, Indonesia sudah memiliki UU Darurat tahun 1951 tentang 
Bahan
Peledak dan Senjata Api. "Jadi tak perlu lagi ada UU Antiterorisme 
atau
perpunya," ujar Ori. (lam/bur/win)