[Nusantara] Senjakala Globalisasi?

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 10:00:19 2002


Senjakala Globalisasi?   


Oleh Padang Wicaksono

Sidang Tahunan IMF-Bank Dunia yang berlangsung di
Washington beberapa waktu lalu mendiskusikan beberapa
agenda penting. Di antaranya, membahas tentang protes
negara berkembang atas kebijakan proteksi negara maju,
sementara lainnya membahas krisis ekonomi negara
berkembang. Turbulensi ekonomi yang silih berganti
menerpa berbagai kawasan, mulai dari Amerika Latin,
Afrika, Asia, Eropa, bahkan hingga pilar kapitalisme
global Amerika Serikat, semakin menguatkan kritik atas
dampak negatif globalisasi.

Akar Globalisasi
Berbicara tentang globalisasi atau perdagangan bebas
tentu tidak terlepas dari Pertemuan Bretton Woods.
Syahdan, Juli 1944 menjelang takluknya Bala Tentara
Dai Nippon dan Tentara Nazi-Hitler Jerman, para
pemimpin negara-negara Barat berkumpul di
New-Hampshire untuk membicarakan tatanan dunia baru
pasca-Perang Dunia (PD) II. 

Dalam pertemuan itu dihasilkan kesepakatan untuk
membentuk tiga lembaga multilateral, yang kelak paling
berpengaruh di muka bumi, yakni Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Dunia(World Bank), dan
General Agreement on Tariffs and Trade(GATT)/World
Trade Organization(WTO). Ketiga lembaga tersebut
diharapkan mampu menyelamatkan ekonomi dunia dari
reruntuhan PD II.

Pertemuan Bretton Woods itu sendiri tak terlepas dari
kepentingan Amerika Serikat (AS) untuk meluaskan
pengaruhnya. Dengan dukungan akumulasi kapital,
penguasaan teknologi, dan segudang intelektual
terkemuka, AS memiliki segala amunisi untuk tampil
sebagai kekuatan utama ekonomi dunia menggantikan The
Great Britain yang kian redup.

Prinsip Globalisasi
Pertama, sebagaimana hasil Pertemuan Bretton Woods,
keinginan untuk menyatukan seluruh aktivitas ekonomi
negara-negara di bumi ini ke dalam suatu sistem yang
satu dan homogen. Kedua, untuk mempercepat proses
globalisasi ekonomi maka diperlukan pembangunan
(development) berikut turunannya pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Ketiga, oleh karena campur tangan
pemerintah dianggap sebagai tindakan inefisien maka
privatisasi menjadi sebuah keniscayaan. Keempat,
mengutamakan aktivitas produksi yang berorientasi
ekspor.

Pilar Globalisasi
Pertama, dalam tataran konsep, para ekonom
neoliberalis sangat gandrung akan ide tentang
globalisasi. Salah satu ikon ekonom liberalis adalah
Milton Friedman, profesor ekonomi dari University of
Chicago yang berhasil meraih hadiah Nobel tahun 1976
berkat ketekunannya dalam menganalisis konsumsi, teori
dan sejarah moneter, dan kebijakan stabilisasi.
Pemikiran Friedman yang terkenal adalah tentang
Laissez-Faire di mana dia menghendaki minimnya campur
tangan pemerintah dan lebih mendorong kebebasan
individu untuk berusaha. Campur tangan pemerintah
dipandang sebagai suatu pemborosan ekonomi belaka
(Friedman, 1980). Oleh karena Friedman adalah seorang
ekonom terkemuka dan brilian, maka pemikirannya banyak
menjadi referensi para pemerhati ekonomi.

Kedua, pada tataran kelembagaan, ide globalisasi
ditopang oleh tiga lembaga multilateral atau dikenal
sebagai Bretton Woods Institution, yakni IMF, Bank
Dunia, dan GATT yang kemudian berubah menjadi WTO.
Dalam paket Kebijaksanaan Penyesuaian Struktural
(Structural Adjustment Programs) IMF maupun Bank Dunia
selalu menekankan pada privatisasi BUMN dan
liberalisasi pasar domestik sehingga memungkinkan
perekonomian domestik terintegrasi dengan perekonomian
global.

Ketiga, pada tataran diplomasi, pemerintah Amerika
Serikat (baik Partai Republik maupun Demokrat) dan
Inggris merupakan juru bicara utama dari "The Religion
of Globalization". Harry S. Truman, Reagan, Clinton,
Thatcher, maupun Tony Blair adalah juru kampanye
globalisasi yang paling fasih. 

Keempat, pada tataran operasional, perusahaan
multinasional (MNC) adalah salah satu pilar utama
globalisasi. Berkat aktivitas produksi dan pembiayaan
yang melintasi batas negara dengan dukungan skill,
pengalaman, dan teknologi maka telah terjadi pemusatan
kekayaan di tangan beberapa MNC. Dari daftar 100 besar
pelaku ekonomi dunia (tidak hanya negara) 52 di
antaranya adalah MNC sementara 48 sisanya adalah
negara (Institute for Policy Studies, 2000). Pernahkan
Anda membayangkan bahwa Produk Domestik Bruto
Indonesia ternyata lebih kecil daripada omzet General
Motor? Ini adalah fakta.

Kelima, pada tataran komunikasi massa, peran media
memang sangat berperan besar dan efektif dalam
kampanye globalisasi. Robert Parry menyoroti peran
media massa dalam pembentukan opini umum sangat
signifikan (Parry, 2000).

Siapa Yang Beruntung?
Pertama, kelompok nasionalis sangat diuntungkan dengan
isu globalisasi. Bagi kelompok nasionalis, globalisasi
dipandang sebagai kekuatan asing yang hendak mengancam
eksistensi nation-state. Isu ini dimanfaatkan sebagai
amunisi baru untuk mencari musuh bersama guna
konsolidasi kekuatan politik. Tak jarang isu
anti-asing digunakan sebagai perisai dalam menutupi
praktik-praktik rente ekonomi dan kapitalisme kroni.

Kedua, kelas menengah terdidik dengan strata
pendidikan tinggi tentu mendapat manfaat banyak dari
globalisasi. Berbekal skill, knowledge, dan ditunjang
oleh kemampuan akademis maka kelompok ini dapat
bergerak leluasa melintasi batas negara baik dalam
posisi sebagai professional management maupun sebagai
entrepreneur.

Ketiga, seperti telah dijelaskan di muka, MNC dan para
investor global sangat menikmati "manisnya"
globalisasi oleh karena penguasaan informasi pasar,
pengalaman, dan dukungan finansial yang tangguh.
Kekuatan para pemilik modal ini lebih dahsyat dari
mobilitas modal itu sendiri (Winter, 1996).

Globalisasi dalam Fakta
Mimpi globalisasi adalah meningkatkan kemakmuran
penduduk jagat bumi ini. Namun antara mimpi dan
realitas ternyata terjadi perbedaan yang sangat tajam.
Pertama, kemiskinan semakin meningkat. Perdebatan
globalisasi hanya berkisar pada pertumbuhan ekonomi
dan stabilitas keuangan dunia, namun mengabaikan
humanity. Sebagai catatan perenungan, bila
dibandingkan dengan satu dekade lampau, semakin banyak
jumlah orang yang menjadi miskin atau dalam proses
menuju kemiskinan di negara-negara berkembang (The
World Bank, 1999).

Kedua, ketimpangan antara negara kaya dan negara
miskin yang terus melebar. Dalam sejarah umat manusia,
revolusi teknologi dan liberalisasi keuangan memang
telah meningkatkan volume perdagangan dunia namun di
sisi lain akumulasi kapital yang diperoleh kelompok
kaya tidak sebanding dengan the losing ground yang
menimpa kelompok marginal (Wade, 2001).

Ketiga, di luar dugaan dampak negatif globalisasi juga
menghantam AS. Sebagai kampiun MNC dan kapitalisme
global, pertumbuhan ekonomi tinggi semasa Clinton
tidak sertamerta menghasilkan trickle down effect bagi
kalangan bawah. Ketimpangan ekonomi antara warga kaya
dan miskin semakin melebar dan terburuk dalam sejarah
AS (Freeman, 1999).

Keempat, terjadinya konsentrasi kekayaan di tangan
korporasi. Bayangkan, kekayaan Bill Gates sekitar US$
100 miliar telah melebihi produk domestik bruto
Filipina yang hanya bernilai US$ 57 miliar. Akumulasi
kapital yang diperoleh Bill Gates terjadi sebagai
akibat dari kemampuan Microsoft yang mendominasi pasar
software dunia dan proteksi terselubung berupa hak
paten. Bila Bill Gates melempar sepersepuluh
kekayaannya ke dalam pasar valas Indonesia dan
melakukan spekulasi atas rupiah maka tak terbayangkan
apa yang terjadi dengan mata uang kita.

Belakangan, negara-negara maju telah menjilat ludahnya
sendiri dengan melakukan langkah-langkah proteksi,
baik yang terselubung maupun terang-terangan, demi
melindungi kepentingan industri dalam negerinya.
Kebijakan proteksionisme itu sendiri tentu
bertentangan dengan prinsip liberalisme yang selalu
mereka gembar-gemborkan. 

Penulis adalah pengamat ekonomi pada Graduate School
of Economics, Saitama University, Jepang