[Nusantara] Terorisme Bali Dan Nasionalisme

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 18 10:48:24 2002


Terorisme Bali Dan Nasionalisme 
Oleh H Darmansyah Asmoerie

Rabu, 16 Oktober 2002


Tragedi ledakan bom yang menewaskan 188 orang di Bali, Sabtu malam 
(12/10)
lalu, sungguh membuat umat manusia beradab menjerit. Betapa tidak, 
inilah
tragedi terorisme terbesar setelah penghancuran World Trade Center di 
New
York 11 September 2001 lalu.
Ratusan manusia dari berbagai macam bangsa yang sedang menikmati 
liburan di
Bali tewas dan luka parah karena ledakan bom dahsyat yang dilakukan
tangan-tangan keji terorisme. Mereka tidak tahu, kenapa mereka yang 
tidak
bersalah jadi sasaran teroris yang kejam tersebut. Dunia kembali 
menangis -
kenapa kekejaman tanpa pandang bulu dan kemanusian terus merajalela di
dunia.
Kenapa Bali yang jadi sasaran? Bukankah Bali selama ini dianggap 
daerah
paling aman di Indonesia? Barangkali inilah strategi para teroris:
menciptakan ketakutan dan trauma di masyarakat nasional maupun
internasional. Jika Bali yang tenang saja bisa dihancurkan dengan 
peledakan
bom dahsyat, apalagi daerah lain. Ini sebuah peringatan dari kaum 
teroris:
tak ada satu pun daerah yang bebas dari ketakutan, seperti yang 
didengungkan
selama ini (bahwa Bali tak terpengaruh hiruk pikuk politik di 
Jakarta).
Dengan menjadikan Bali sebagai sasaran, eksistensi terorisme makin 
tampak,
sesuatu yang dibutuhkan oleh kalangan teroris itu sendiri.
Di sisi lain, strategi terorisme menghancur-kan Bali setelah WTC, 
mempunyai
arti strategis penting. Dengan meledakkan WTC, ketakutan dunia usaha
terhadap ancaman terorisme kini benar-benar terjadi. Sampai hari ini,
misalnya, bursa saham terbesar dunia di New York, belum pulih. Dan 
kini,
dengan meledakkan bom di tempat wisata Kuta, Bali, dunia wisata
internasional terguncang. Industri pariwisata niscaya terkena 
dampaknya.
Ekonomi pariwisata yang kini menjadi andalan penting dalam 
memproduksi 
uang
akan lumpuh. Walhasil, sasaran teroris untuk membuat ketakutan massal 
itu
kini tercapai: Pengusaha takut bepergian ke pusat-pusat bisnis dunia 
dan
para wisatawan pun takut bepergian ke tujuan-tujuan wisata 
internasional.
Ini artinya, masyarakat dunia kembali mengalami kebekuan dan stagnasi.
Perekonomian dunia akan terganggu dan sakit.
Bagi Indonesia sendiri, tragedi Bali akan makin memojokkan citra 
bangsa 
yang
selama ini dikenal ramah dan santun. Betapa tidak, di tengah bangsa 
yang
terkenal ramah dan bersahabat, kini tumbuh terorisme yang tidak 
mengenal
belas kasihan. Apalagi bila diingat bahwa tragedi Bali merupakan 
rentetan
tragedi-tragedi ledakan bom sebelumnya, terutama sejak 1997, saat
berakhirnya era Orde Baru. Kita bangsa Indonesia secara jujur harus 
mengakui
bahwa sejak 1997 "bahkan sebelum itu" sudah marak ledakan-ledakan bom 
yang
dilakukan para teroris. Kita masih ingat, misalnya, peledakan Candi
Borobudur, Atrium Senen, Gedung Bursa Efek Jakarta, peledakan pada 
peristiwa
malam Natal dan masih banyak lagi. Belum termasuk, rentetan ledakan 
bom 
di
Maluku dan Poso akibat perang antaragama.
Melihat gambaran itu, pantas kalau Lee Kuan Yew menyatakan bahwa 
Indonesia
adalah sarang teroris. Pernyataan Lee yang waktu itu mendapat 
tantangan
keras pihak Indonesia tersebut ternyata mendapat dukungan AS. Sejumlah
pejabat tinggi AS, termasuk Presiden George W Bush, sudah 
mengindikasikan,
bahkan menuduh, Indonesia adalah sarang teroris. Tuduhan Bush yang 
diucapkan
pascatragedi WTC tersebut, setelah adanya tragedi Bali tampaknya makin
menunjukkan kebenaran. Hal itu harus kita akui dengan jujur bahwa 
kenyataan
ledakan bom di Bali merupakan pengakuan tanpa kata bahwa Indonesia 
kini
telah jadi sarang sekaligus sasaran terorisme. Benar, apa yang 
diucapkan
Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kini kita tidak bisa lagi
menolak tuduhan bahwa di Indonesia terdapat teroris. Tragedi Bali 
merupakan
fakta tak terbantah bahwa tuduhan tersebut ada benarnya.
Tapi yang jadi persoalan, jika faktanya di Indonesia memang ada 
terorisme,
lantas siapakah yang berada di balik tragedi itu? Inilah yang kini 
jadi
persoalan besar. PM Australia John Howard ketika mengomentari tragedi 
Bali,
langsung menuduh dalang tragedi tersebut adalah Al Qaida dan 
jaringannya.
Salah satu jaringan Al Qaida itu, kata Howard, adalah Jamaah 
Islamiyah.
Kelompok ini, seperti pernah dituding AS dan Singapura, sempat dituduh
menjadi dalang pelbagai teror di Indonesia, mulai dari tuduhan atas 
sweeping
warga AS hingga usaha peledakan gedung Kedubes dan Konsulat AS di 
Indonesia.
Namun, sejauh ini bukti-bukti tuduhan mereka tak pernah diungkapkan.
Tuduhan Howard tersebut memang terasa sangat klise, langsung menuduh 
Al
Qaida sebagai dalangnya, walau belum ada bukti-bukti yang 
mengindikasikan ke
arah sana. Ingatan kita pun tertumbuk pada peristiwa 11 September 
2001,
ketika Presiden Bush langsung menuduh dalang peristiwa hancurnya WTC 
itu
adalah Al Qaida. Nyatanya, sampai hari ini, pengadilan AS belum ada 
yang
memberikan vonis bahwa Al Qaida adalah dalang di balik tragedi 11 
September
tersebut. Jika bukan Al Qaida, lalu siapa? Mayoritas publik AS 
barangkali
saja akan menuduh kemungkinan organisasi teroris berbasis Islam. yang 
jadi
ganjalan, kata "Islam" di sini selalu menempel dengan konotasi 
bernuansakan
kekejaman dan kebrutalan. Islam seolah dituding telah menjadi stigma 
buruk
dalam peradaban umat manusia modern. Begitulah pandangan umum yang 
telah
direkayasa media massa Barat untuk "membenci Islam". Fakta bahwa Islam
sebagai agama yang menyukai perdamaian, yang mana hal itu terukir 
dalam 
kata
"Salam" yang selalu diucapkan umat Islam tiap bertemu dengan sesamanya
seakan "dihilangkan" dari memori mereka. Itulah bentuk rekayasa 
paling 
tidak
jujur dalam melihat fakta tentang Islam sebagai agama damai.
Sampai saat ini kepolisian Indonesia belum bisa memastikan, siapa 
dalang di
balik peristiwa Bali. Tudingan bahwa Jamaah Islamiyah terlibat 
Tragadi 
Bali
seperti yang dituduhkan Howard telah ditolak keras oleh pemimpinnya, 
Abu
Bakar Baasir. Atau, bisa pula kelompok orang yang tidak menyukai 
Australia
terlibat dalam Perang Teluk Jilid II yang sebentar lagi akan meletus? 
Dalam
kaitan ini, kemungkinan tersebut bisa saja terjadi karena, seperti 
diketahui
umum, mayoritas korban adalah orang Australia. Lagi pula sudah sejak 
lama
diketahui, turis asal Australia di Bali paling dominan. Maklum, bagi 
orang
Australia, Bali diibaratkan sebagai halaman belakang "rumah'-nya. 
Konon,
kata sebagian orang Australia, dari pantai utara Darwin, Bali sudah 
terlihat
dengan mata telanjang. (Meski kenyataannya sulit!)

Di samping kedua kemungkinan tadi masih banyak kemungkinan lain, siapa
dalang tragedi Bali tadi, termasuk misalnya, rekayasa CIA untuk 
membuktikan
tuduhannya bahwa Indonesia adalah sarang terorisme, sekaligus untuk 
menekan
Indonesia agar serius menjalankan politik antiterorisme. Soalnya, 
selama ini
politik Megawati dianggap setengah hati dalam memerangi terorisme. 
Apalagi
Wapres Hamzah Haz yang selama ini tampak sekali berupaya mendekati 
kelompok
garis keras Islam tersebut. Dalam pelbagai pernyataannya, Hamzah kerap
menolak tudingan asing bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Tak 
hanya 
itu,
Hamzah pun sering berkunjung ke markas kelompok Islam yang dicap 
keras 
tadi.
Di antaranya, mengunjungi Ja'far Umar Thalib, salah satu 
tokoh "keras" 
Islam
yang ditahan Mabes Polri, Mei lalu. Jadi tidak heran, bila CIA menuduh
Indonesia tidak serius menjalankan politik antiterrorism seperti yang
diinginkan AS. Nah, untuk membuat Indonesia serius menjalankan politik
tersebut, dibuatlah rekayasa tadi sehingga terjadilah Tragedi Bali. 
Tentu
masih ada dugaan lain, seperti Tragedi Bali sengaja diciptakan 
kelompok
anti-Mega, agar presiden mengundurkan diri, dan lain-lain. Namun, 
tuduhan
ini pun tak boleh dicerna mentah-mentah tanpa bukti-bukti yang jelas.

Yang jelas, siapa pun tokoh di balik tragedi Bali, dia atau merekalah 
orang
yang patut dihukum keras setimpal dengan perbuatannya. Hukuman itu 
harus
sekeras dan seberat mungkin untuk membuat orang jera melakukan 
tindakan
terorisme. Jika tidak diterapkan hukuman keras dan tegas secara 
maksimal,
bukan tidak mungkin benih-benih terorisme yang baru muncul di 
Indonesia 
akan
terus berkembang sehingga negeri ini berubah jadi negara teroris.
Bagi Indonesia, tragedi Bali merupakan tamparan keras yang akan 
berakibat
besar bagi masa depan Indonesia. Di tengah krisis ekonomi yang belum 
pulih,
di tengah kondisi larinya para investor dari bumi Ibu Pertiwi, di 
tengah
habisnya kepercayaan asing terhadap keamanan investasinya di 
Indonesia 
-
tragedi Bali merupakan ledakan yang menghancurkan upaya apa pun dari
pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial yang kini 
sedang
terpuruk itu. Inilah segi negatif Tragedi Bali yang tak terperikan. 
Tapi di
sisi lain, tragedi tersebut akan menyadarkan bangsa Indonesia bahwa
"persatuan, kesatuan, kemanusiaan, dan keadilan" yang dilandasi 
Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan faktor amat penting yang kini harus kembali
dibangkitkan di Indonesia. Saat ini, faktor-faktor penting tersebut 
mulai
terkikis karena munculnya kerakusan harta dan perebutan kekuasaan. 
Kini,
memasuki pasca Tragedi Bali, bangsa Indonesia sudah saatnya menatap ke
depan: kembali merenungi apa tujuan kita berbangsa dan bernegara. Jika
tragedi WTC telah membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsa Amerika,
Tragedi Bali mestinya akan membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsa
Indonesia yang kini tengah terkoyak oleh kepentingan-kepentingan 
jangka
pendek para pemimpinnya. Amin. ***
(H Darmansyah Asmoerie SE MM adalah Direktur PT Darmania Group,
mahasiswa S-3 Fakultas Ekonomi Universitas Borobudur, Jakarta).