[Nusantara] Terorisme dan Radikalisme Agama
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 19 09:36:01 2002
Terorisme dan Radikalisme Agama
Khamami Zada Dosen STAINU dan Peneliti Lakpesdam NU Jakarta
TUDINGAN terhadap pelaku pengeboman di Legian, Bali, sudah dialamatkan
kepada Al-Qaeda, organisasi Islam yang juga dituduh menjadi dalang
Tragedi
11 September Kelabu setahun yang lalu. Beberapa komentar sudah
mengarah
pada
Jamaah Islamiyah, yang dianggap menjadi agen penghubung jaringan
Al-Qaeda di
Asia Tenggara. Tak pelak lagi, kelompok-kelompok yang tersudut dengan
tudingan itu melakukan counter attack (serangan balik) bahwa pelaku
peledakan adalah Amerika Serikat (AS), terutama untuk membenarkan
tudingannya beberapa waktu lalu yang menyebutkan Indonesia sebagai
sarang
teroris.
Apakah benar kelompok Islam radikal, seperti Al-Qaeda melalui Jamaah
Islamiyah telah masuk ke dalam wilayah Indonesia dan menjadi dalang
pengeboman di Bali? Apakah cukup bukti dengan sekadar menunjuk para
korban
peledakan, kebanyakan adalah warga asing (Barat), yang selama ini
dianggap
menjadi target utamanya? Atau menunjuk upaya peledakan tidak saja
mengarah
pada Legian, Bali, tetapi juga di depan Konjen Filiphina di Manado?
Jawabannya bisa ya atau tidak, tergantung pada bukti yang akan
diperoleh di
lapangan. Itu sebabnya, pro-kontra dalang peledakan bom Bali masih
belum
ditemukan secara pasti.
Radikalisme agama
Kendati demikian, ada hubungan yang paralel antara radikalisme agama
dan
aksi kekerasan. Karena secara teoretis, radikalisme muncul dalam
bentuk
aksi
penolakan, perlawanan, dan keinginan untuk mengubah sesuai dengan
doktrin
agamanya. Menurut Horace M Kallen, radikalisasi ditandai oleh tiga
kecenderungan umum. Pertama, radikalisasi merupakan respons terhadap
kondisi
yang sedang berlangsung. Biasanya respons tersebut muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang
ditolak
dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat
dipandang
bertanggung jawab terhadap keberlangsungan terhadap kondisi yang
ditolak.
Kedua, radikalisasi tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan
terus
berupaya mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain.
Ciri
ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisasi terkandung suatu program
atau
pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat
untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah
ada.
Dan
ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau
ideologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi
dengan
penafian kebenaran dengan sistem lain yang akan diganti. Dalam gerakan
sosial, keyakinan tentang kebenaran program atau filosofi sering
dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatasnamakan
nilai-nilai
ideal seperti kerakyatan atau kemanusiaan. Akan tetapi, kuatnya
keyakinan
ini dapat mengakibatkan munculnya sikap emosional yang menjurus pada
kekerasan.
Teoretisasi ini mendapatkan pembenarannya ketika terjadi konflik atas
nama
agama dan aksi terorisme di mana-mana. Bukankah secara empirik,
radikalisme
agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret,
yakni
kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik,
dan
Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan
saling
bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat Yahudi,
Kristen,
dan Islam, saling menggunakan bahasa kekerasan (Alwi Shihab, 1998:
40).
Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan Ambon.
Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering
kali
menjadi pendorong terjadinya konflik dan ancaman bagi masa depan
perdamaian.
Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh
sebagian umat diharapkan tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa
depan
bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita semua untuk membangun
bangsa
yang modern (modern nation-state), yang di dalamnya terdapat banyak
agama
dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi suksesnya
kehidupan
masyarakat majemuk. Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-
masing
umat
tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas.
Bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan
spiritual
umat,
tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman
bagi
masa
depan dunia yang damai.
Tantangan dunia sebenarnya terletak pada sejauh mana radikalisme agama
melakukan siklusnya sendiri di dalam kehidupan plural. Sehingga sikap
keberagamaan umat tidak lagi diwarnai oleh radikalisasi, yang justru
mengarah pada sikap permusuhan, persengketaan, dan perang.
Radikalisasi
mesti dibuang jauh-jauh dalam dakwah agama, sehingga umat tidak
mengalami
proses pengaburan dalam beragama.
Gagasan moderasi
Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia adalah suatu kenyataan
sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman
bagi
masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Alih-alih
dengan
semakin meningkatnya teror bom yang terjadi akhir-akhir ini. Maka
sudah
sepatutnya, sekarang ini, kita mengambil hikmah dari peristiwa
peledakan bom
di Bali guna memperluas kembali gerakan umat yang moderat, inklusif,
dan
pluralis di tengah-tengah masyarakat beragama.
Gagasan moderasi ini didasarkan pada dua hal. Pertama, secara
diskursif,
gerakan moderasi umat diyakini sebagai penopang bagi terciptanya
harmonisasi
sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimanapun,
multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat
yang
mesti disikapi secara baik. Di sinilah, eksklusivitas beragama yang
diyakini
secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi
batu
sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Itu sebabnya,
pendidikan pluralis tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani
doktrin
eksklusif yang selama ini diyakini umat.
Kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih
mendikotomikan
klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing-masing umat agama
mesti
dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu
agama
dan agama lainnya. Bukankah, problem pluralisme kerap kali disebabkan
oleh
fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena
itulah, upaya-upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat
beragama
mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang
berkelanjutan.
Dengan demikian, secara wacana dan praksis gerakan, sikap umat
beragama
tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal. Pembongkaran
(dekonstruksi)
kesadaran eksklusif, militan, dan radikal adalah langkah awal untuk
menjamin
masa depan pluralisme. Pada gilirannya, pembangunan kembali
(rekonstruksi)
kesadaran beragama yang toleran, inklusif, dan pluralis adalah langkah
terakhir untuk menyampaikan pesan perdamaian agama-agama di
tengah-tengah
masyarakat multikultural. Inilah kondisi yang kita inginkan dalam
menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik di tengah-tengah ancaman
terorisme dan kekerasan.***