[Nusantara] Gol-gol Bunuh Diri Sipil-Militer?
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sat Oct 19 09:36:08 2002
Gol-gol Bunuh Diri Sipil-Militer?
Indra J Piliang
paya mendapatkan pemimpin sipil yang punya pemahaman yang lebih
terbuka,
modern, dan multikultural tentang Indonesia kenyataannya tidak
sederhana.
Tembak-menembak di Binjai, Sumatera Utara, yang menewaskan anggota
Brigade
Mobil (Brimob) Polri dan masyarakat sipil membuka kotak pandora dua
saudara
kandung, Polri dan TNI yang kini terpisah secara organisasional dan
doktrin.
Hukuman politik telah diberikan oleh MPR dengan keluarnya TNI/Polri
dari
DPR/MPR mulai tahun 2004, karena selama ini masuk terlalu jauh ke
lapangan
politik praktis.
Perubahan top-down di Senayan perlu diteruskan pada prajurit TNI dan
petugas
Polri di daerah. Dalam UUD 2002, Presiden memegang kekuasaan yang
tertinggi
atas Angkatan Darat/AD, Angkatan Laut/AL dan Angkatan Udara/AU (Pasal
10).
Sedangkan susunan dan kedudukan TNI, Polri, hubungan kewenangan TNI
dan
Polri di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga
negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal lain
yang
berkaitan dengan pertahanan dan keamanan ditentukan oleh Undang-Undang
(Pasal 30 ayat 5). Dua UU sudah berlaku yakni UU No. 2/2002 tentang
Polri
dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara.
Supremasi sipil sebagai postulat konsolidasi demokrasi, menjadikan
kepolisian sebagai institusi sipil. Induk tanggung jawab Polri kepada
Presiden, dengan kontrol DPR. Sidang Istimewa MPR 2001 yang
memberhentikan
Abdurrahman Wahid bermula dari pergeseran pimpinan Polri yang
menunjukkan
rentannya intervensi politik atas institusi Polri. Padahal sebagai
aparat
keamanan yang melindungi seluruh warga (politik) negara, intervensi
politik
wajib dihindari.
Begitu pula penggunaan hak-hak dipilih dan memilih, idealnya tak
satupun
warga negara yang dikecualikan. Panglima TNI dengan tegas menyebut
bahwa TNI
abstain memilih dalam Pemilu 2004. Tetapi hak itu mestinya tetap
tercantum
dalam UU, terserah digunakan atau tidak, mengingat pentingnya
landasan
hukum
atas TNI dan bukan keputusan perseorangan. Begitupun hak memilih
anggota
Polri, hendaknya langsung diberikan UU demi pendalaman demokrasi.
Prinsip
kesetaraan politik tak mengenal keistimewaan, karena calon Presiden
dan
pemegang komando TNI dan Polri pun ikut memilih.
Petunjuk Hatta
Rahim institusi sipil dan militer kita adalah supremasi sipil.
Indonesia
lebih dulu lahir, ketimbang institusi kenegaraannya. 5 Oktober 1945,
organ
yang dibentuk bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Butuh waktu lama
menjadi TNI. Konflik politik pascakemerdekaan, menempatkan TNI tak
luput
dari pengaruh tarik-menarik kekuatan politik. Peran ketekunan
Muhammad
Hatta
sebagai tipikal administratur penyusun bangunan kecil kebangsaan,
termasuk
Polri dan TNI, penting disimak. Hatta adalah pemberi pangkat pertama
bagi
Mabes TKR. Dalam seminggu, jabatan Mayor Urip Sumohardjo berubah
menjadi
Kolonel, lalu Letnan Jenderal sebagai Kepala Staf Markas Besar TKR.
Hatta
menolak mengangkat "wakil pemerintah" dalam Mabes TKR. "Pemerintah
tidak
perlu mengangkat wakilnya pada mabes. Dalam tentara kita tidak ada
dua
macam
opsir (seperti) pada tentara Jepang, opsir militer tulen dan opsir
sakura
yang berasal dari kalangan swasta," ujar Hatta kepada Brigadir
Jenderal
Arifin (Muhammad Hatta: 2002; 472).
Hatta juga membenahi TNI peninggalan Amir Syarifuddin. Ketika menjadi
Perdana Menteri, Amir mengacaukan organisasi TNI. Di sebelah TNI
resmi,
dibentuknya TNI Masyarakat, begitupun di sebelah AL, dibentuk AL
Spesial
yang dipimpin 9 Admiral kawan-kawan Amir. "AL Spesial ini cuma
namanya,
dan
kawan-kawannya yang menjadi Admiral itu tinggal di gunung, dekat
Malang
dan
Lawang... Aku memanggil 9 Admiral AL yang hanya menerima gaji tiap-
tiap
bulan, tetapi tidak punya angkatan yang dikomandoi oleh mereka.
Kukatakan
bahwa armada Republik yang kecil itu tidak berarti, boleh dikatakan
hampir
tidak ada...Tidak perlu 9 Admiral menjadi komandannya," tulis Hatta
(2002:
527-528). Gesekan kepentingan itu meletuskan tragedi Madiun 1948,
ketika
Hatta melakukan ReRa (Restrukturisasi dan Rasionalisasi) dalam tubuh
TNI.
"TNI bayangan" yang dibuat oleh Amir melakukan perlawanan, di tengah
long
march Divisi Siliwangi.
Kini, long march dalam tubuh TNI berbeda cara, yakni long march dalam
bentuk
perpindahan dari militer yang berpolitik menjadi militer profesional.
Begitupun Polri sebagai "TNI Bayangan", atau young brothers of
military
menurut Salim Said, menjadi sipil bidang keamanan. Bidang keamanan
berfungsi
ke dalam masyarakat, sedangkan pertahanan menjaga Indonesia dari
serangan
negara luar. Dalam fase ini, terjadi ekses "tak terduga", walau
terpola
berdasarkan data sejarah mengingat bentrokan di Binjai itu untuk
kesekian
kalinya.
Brigade Bergerak
Brimob punya mobilitas tinggi. Distorsi bahasa Indonesia terjadi
ketika
Brigade Mobile diterjemahkan sebagai Brigade Mobil. Terjemahan itu
mestinya
Brigade Bergerak (Briber), mirip SWAT (Special Weapons And Tactics) di
Amerika. Sebagai Briber, tugas utamanya tetap alat bantuan skala cepat
satuan-satuan Polri guna melindungi masyarakat dari kriminalitas,
mafia,
triad, yakuza, saudagar narkoba, bahkan aksi terorisme, mengingat
penjahat
berkelas bersenjata moderen dan canggih.
Brimob identik dengan organ yang diterjunkan kapan saja dan di mana
saja,
termasuk menghadapi gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat. Brimob
termasuk
disinisi mahasiswa dan masyarakat ketimbang marinir. Brimob harus
berbagi
peran dengan TNI, ketika masuk daerah-daerah rural, seperti medan
konflik
ganas di Maluku, Poso, Sampit dan Aceh. Pengembangan Briber hendaknya
lebih
terkonsentrasi pada jalur kejahatan berat dan aksi-aksi teror di
perkotaan.
Penerjunan ke rural area lebih terkait dengan tingkat kerusuhan yang
massif,
ketika kepolisian tempatan (Polda, Polres dan Polsek) lumpuh. Briber
adalah
pasukan elite Polri, dengan kontrol ketat atas penggunaan senjata,
amunisi
dan anggaran.
Seperti kepolisian Hong Kong, Briber perlu membongkar jaringan
korupsi
di
pemerintahan, militer dan politisi. Dengan tugas berbahaya itu,
dibutuhkan
personel Briber yang berpengetahuan tinggi, ditunjang ilmuwan sipil
lintas
disiplin, untuk menghadapi siasat modern penjahat yang berlindung di
balik
baju aparat.
Idealita itu belum terwujud. Sipil kita (seperti partai dan
parlemen),
serta
militer, lebih banyak menjaringkan gol-gol ke gawang sendiri dalam
tarung
bebas tanpa wasit. Proses ke arah polisi dan militer profesional,
datang
bersamaan dengan kebutuhan politisi profesional, tanpa desain dan
skenario
yang melewati studi kelayakan memadai. Akibatnya asap kecil berubah
jadi
nyala api.
Bagi Frans Seda (Prisma No. 11 1980) kita baru melaksanakan the art of
politics, bukan the real of politics an sic. Momentum kini lahir untuk
politisi yang real berpolitik, bukan berbisnis politik. Atas dasar
itu,
komentar sejumlah politisi atas konflik Polri-TNI di Binjai, seperti
penggantian Pangdam Bukit Barisan dan Kapolda Sumut, hanya bersifat
sementara. Hal itu akan menunda krisis berikutnya. Sebagai politisi,
DPR
perlu segera membuat sistem yang kondusif dan konstruktif bagi relasi
TNI
dan Polri lewat UU. Pergantian orang, dengan sistem dan kultur lama,
bagai
membuang ingus di hidung tanpa makan obat flu. Ingus terus mengalir,
kalau
sumber penyakit tak diobati.
Supremasi Peradilan Sipil
Dalam melanjutkan reposisi sepatutnya TNI dan Polri lebih inward
looking dan
mawas diri, ketimbang outward looking dan defensif atas dasar esprit
dcorps,
dengan cara menanam doktrin baru. Baik seputar HAM, juga hak asasi dan
independensi masing-masing institusi. Dalam keadaan tertib sipil,
darurat
sipil dan darurat militer, misalnya, institusi TNI di-Bawah Komando
Operasi
(BKO)-kan ke dalam kepolisian di daerah. Di tengah persoalan
psikologis
anak-anak muda TNI-Polri (mengingat usia "TNI" dan "Polri" yang
berkelahi
itu sangat muda!), tentu perlu sistem pencegahan dini apabila terjadi
persaingan yang tidak sehat.
Kian luasnya medan-medan konflik, dibutuhkan komitmen semua pihak
untuk
tak
memasukkan gol-gol bunuh diri. Namun, "kesalahan" memasukkan gol-gol
bunuh
diri itu tidak lantas dihukum dengan tak bermain lagi. Hanya
masyarakat
Kolombia yang pernah menembak Andres Escobar karena gol bunuh diri
dalam
Piala Dunia 22 Juni 1994 di Amerika Serikat.
Bukan berarti indisipliner dibiarkan. Keresahan masyarakat, pilu
keluarga
yang kehilangan sanak-familinya dalam tembak-menembak yang bukan
perang
itu,
nyatanya menjadi bahaya latent. Proses peradilan militer dan sipil
secara
transparan wajib dijalankan atas kasus yang terbukti mencederai dan
menewaskan publik. Sembari menggunakan peraturan yang tersedia, DPR
perlu
merumuskan perubahan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang menyangkut
peradilan
militer (untuk disersi, misalnya), dan peradilan sipil atas
pelanggaran
umum
militer.
Perlu perubahan fungsi dan peranan Ankum (Atasan yang Berhak
Menghukum)
dan
Pepera (Perwira Penyerah Perkara) yang selama ini melihat pelaku
pelanggaran
hukum dari kalangan militer sebagai subjek, bukan berdasarkan tempat
peristiwa, dalam keadaan dinas atau tidak, dan aspek penyidikan dan
penyelidikan hukum lainnya yang berlaku umum. Karena seluruh arena
tembak-menembak itu di luar barak militer, juga anggota TNI itu
sedang
tak
bertugas, tindak pidana itu berada dalam garis civil law (hukum
sipil),
di
samping military law (sanksi pemecatan dari korps).
Anggota Polri sebagai pihak yang dirugikan, tidak bisa lagi menempuh
jalur
di luar pengadilan. Kasus ini memberi pelajaran mahal bagi
profesionalisme
polisi dan militer, serta profesionalisme politisi menanggapinya.
Mereka
telah menggunakan dana-dana negara dari pajak rakyat kaya dan miskin
untuk
bertugas menjaga rakyat, bukan menjagal rakyat. Kasus ini jangan
selesai
diam-diam dengan cara kekeluargaan, karena hakikatnya hanya menyimpan
busuknya bangkai, dan potensial terulang kembali.
Selain masing-masing pihak mengerjakan tugas-tugasnya, juga
dibutuhkan
untuk
saling mengingatkan. Krisis multi-dimensi yang kita hadapi sekarang,
sangat
tak masuk akal berhasil diselesaikan oleh satu pihak saja. Kita telah
memasuki ambang batas kejenuhan dalam konflik berbagai segi dan level
masyarakat, bangsa dan negara.
Penulis adalah peneliti politik dan perubahan sosial CSIS, Jakarta.