[Nusantara] Tanggung Jawab Tokoh Agama di Era Terorisme

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 25 04:03:28 2002


Tanggung Jawab Tokoh Agama di Era Terorisme

ADA sejumlah peristiwa menarik menyusul tragedi ledakan bom di Kuta, 
Bali.
Sejumlah tokoh agama bertemu dan mengadakan doa bersama untuk 
mendoakan
bukan saja para korban dan keluarga korban, tetapi juga para pelaku. 
Mereka
memohon kepada Tuhan agar para pelaku pengeboman terketuk hatinya dan
menyadari tindakan antikemanusiaan mereka sehingga dengan sukarela
menyerahkan diri dan mengungkap kasus tersebut secara tuntas. Di 
tempat
lain, para tokoh agama di Sulawesi juga menggelar acara yang sama 
sehubungan
dengan peristiwa ledakan bom di Manado. Mereka berharap gerakan 
kerukunan
antartokoh agama tersebut akan diikuti secara serentak oleh para 
umat,
sehingga kerukunan antara umat beragama bisa terealisasikan, tidak 
hanya
bersifat formal di tingkat tokoh atas.

Dalam masyarakat ketimuran, seperti halnya Indonesia, faktor 
keteladanan
(panutan) masih tetap memiliki peran penting bagi kehidupan 
masyarakat. 
Para
tokoh masyarakat, baik yang bersifat formal maupun informal, memiliki
pengaruh besar dalam membentuk sikap warga masyarakat biasa. Dalam
masyarakat kita, prinsip keteladanan ini sering dilukiskan lewat 
ungkapan
ing ngarso sung tulodho atau yang berada di depan memberi teladan. 
Secara
negatif, yaitu kalau teladan yang diberikan tidak terpuji, ungkapan 
yang
berlaku mengatakan, ''Guru kencing berdiri murid kencing berlari''.

Tokoh agama dalam masyarakat kita juga memiliki kedudukan penting 
sebagai
tokoh masyarakat informal. Namun tokoh agama memiliki karisma lebih
ketimbang tokoh masyarakat biasa, karena pada mereka terdapat 
kebenaran
ilahi, yang biasa diterima sebagai bersifat mutlak. Dengan kata 
lain, 
suara
kebenaran yang mereka sampaikan adalah kebenaran Ilahi yang bersifat 
mutlak
atau tak terbantahkan lagi. Dengan demikian, pengaruh ulama terhadap
pemahaman, pandangan dan sikap beragama para umat sangatlah besar. 
Bahkan
dapat dikatakan, sampai batas tertentu, bagaimana sikap dan pandangan
keagamaan pemimpin agama, demikianlah pandangan dan sikap umatnya.

Di masa lalu, hubungan antara agama dan pemerintahan (politik) 
sangat 
erat.
Di Eropa, hubungan antara keduanya sangat kental terutama di 
negara-negara
kerajaan yang menempatkan agama Kristen sebagai agama resmi kerajaan.
Hubungan agama dan politik tersebut muncul dalam berbagai bentuk, 
antara
lain pemimpin agama sebagai penasihat raja, raja secara resmi 
bertindak
sebagai pelindung gereja, atau bahkan kepala gereja sekaligus 
menentukan
model pemerintahan. Dalam masyarakat kita, gelar yang diterima 
raja-raja
Mataram Baru menyebutkan kedudukan mereka sebagai Sayidin panoto 
gomo 
atau
orang suci yang memiliki wewenang mengatur hidup keberagamaan. Itulah
sebabnya, di masa lalu agama raja merupakan agama rakyat atau agama 
ageming
aji.

Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini peran ulama dalam 
membentuk
wawasan dan sikap keberagamaan umat masih tetap penting, khususnya di
Indonesia. Peranan itu menjadi lebih penting lagi terutama dalam era
reformasi sekarang ini. Pasalnya, reformasi yang digelindingkan oleh 
kawula
muda kita ternyata tidak hanya membuka peluang bertiupnya angin 
demokrasi,
tetapi juga dibarengi dengan apa yang kini kita kenal sebagai 
terorisme.
Terorisme memang bukan hanya terjadi di era reformasi ini, tetapi 
jauh
sebelumnya, yaitu di zaman Orde Lama maupun Orde Baru, kala itu sudah
merambah kehidupan rakyat Indonesia. Bedanya, terorisme di masa lalu
memiliki kaitan dan lebih banyak dilakukan oleh kekuasaan ketimbang 
rakyat
biasa. Sikap rakyat yang cenderung permisif dan besarnya kekuatan 
penguasa
membuat tindakan teror oleh penguasa begitu saja diterima atau 
diterima
dengan rasa ketakutan.

Reformasi bangsa kita juga ditandai oleh tercabik-cabiknya bangsa 
kita 
dalam
kelompok-kelompok yang saling berlawanan. Kenyataan ini muncul ke 
permukaan
melalui istilah disintegrasi politik. Tanda di luar yang segera bisa
ditangkap oleh masyarakat antara lain berupa kondisi politik yang 
tidak
stabil dan keinginan daerah untuk memisahkan diri dari negara 
kesatuan
Indonesia, di samping konflik-konflik berbau kekerasan antara 
kelompok
masyarakat.

Disintegrasi sosial juga sudah mulai terasa, bahkan sejumlah orang 
pandai
sempat mengkhawatirkan terjadinya revolusi sosial secara terbuka 
akibat
krisis ekonomi dan politik yang tak kunjung usai ini. Kalau di masa 
lalu
orang berbicara tentang kesenjangan ekonomi, kini bangsa kita justru
dihadapkan pada penderitaan ekonomi sosial di kalangan rakyat kecil. 
Namun,
itu tidak berarti bahwa kesenjangan sosial-ekonomi sudah tidak ada 
atau
tidak lagi menampakkan dampaknya. Sebaliknya, disintegrasi 
sosial-politik
justru menjadi sangat terasa akibat masih, kalau bukan makin, 
lebarnya
kesenjangan sosial politik di masyarakat. Kenyataan pahit 
menyebutkan 
KKN
bukan berkurang di era reformasi ini, tetapi sebaliknya justru lebih
berkembang.

Fungsi pencerdasan dari lembaga agama kini menjadi terasa sangat 
mendesak.
Tokoh agama tidak saja diharapkan mampu menyampaikan ajaran-ajaran 
agama
kepada umatnya, tetapi juga menjabarkan ajaran tersebut menjadi 
sikap 
dan
langkah operasional. Dengan kata lain, untuk mencegah meluasnya 
disintegrasi
sosial-politik dan kemungkinan pecahnya revolusi sosial, tokoh agama
diharapkan mampu menciptakan keteduhan di kalangan umat. Ajaran 
agama 
yang
bersifat abstrak perlu diterjemahkan secara rasional dan 
dipertemukan 
dengan
kondisi real masyarakat kita, sehingga akhirnya merasuk ke dalam 
sanubari
umat dan berubah menjadi sikap damai, teduh dan bersemangatkan 
kerukunan dan
kedamaian.

Dalam situasi penuh gejolak dan kecurigaan di antara umat beragama,
diperlukan para pemimpin agama yang mampu menciptakan kedamaian dan
keteduhan dalam kehidupan umatnya. Keperluan tersebut terasa sangat 
mendesak
di saat-saat kehidupan bangsa kita terancam oleh wabah 
antikemanusiaan,
yaitu terorisme.