[Nusantara] Komplikasi Menangkap Terorisme

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 25 04:05:40 2002


Komplikasi Menangkap Terorisme
Denny JA PhD, Direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi 
Jayabaya,
Jakarta

KOMUNITAS politik yang menginginkan keamanan negara, ketegasan 
pemerintah,
namun juga menghendaki tegaknya prinsip hukum dan terjaminnya hak
demokratis, niscaya kini menghadapi dilema.

Setelah bom meledak di Bali, mereka dapat memahami bahwa pemerintah
memerlukan kekuasaan yang lebih besar. Kekuasaan itu dibutuhkan baik 
untuk
menangkap pelaku terorisme ataupun mencegah terjadinya aksi 
terorisme 
di
kemudian hari.

Tewasnya hampir 200 manusia di Bali cukup meyakinkan publik perlunya
pemerintah memunyai kekuasaan yang lebih mengintervensi. Toleransi 
atas
lahirnya Perpu Antiterorisme dan penerimaan publik atas ditangkapnya 
Abu
Bakar Ba'asyir hanya mungkin terjadi karena adanya kasus peledakan 
bom 
di
Bali. Namun di sisi lain, mereka mengkhawatirkan buruknya kultur 
politik di
tingkat elite. Kondisi ini dapat membuat kekuasaan yang lebih besar 
itu
'dibajak' untuk kompetisi politik elite menjelang 2004. Akibatnya, 
Perpu
Antiterorisme tidak hanya digunakan untuk terorisme, tapi juga untuk
menggulung aneka oposisi politik. Pro dan kontra atas Perpu 
Antiterorisme
adalah gambaran dari dilema itu.

Bali
Aneka jajak pendapat yang dibuat berbagai media massa menunjukkan 
betapa
mayoritas publik mendukung terbentuknya Perpu Antiterorisme. 
Sungguhpun
metodologi jajak pendapat ini dapat diperdebatkan, editorial aneka 
koran dan
majalah terkemuka menunjukkan dukungan yang sama atas Perpu itu. 
Secara
hipotetis kita dapat mengasumsikan saja bahwa mayoritas publik 
menyetujui
Perpu Antiterorisme.

Dengan disetujuinya Perpu Antiterorisme, maka pertama, publik 
mengizinkan
pemerintah eksekutif membuat aturan tanpa persetujuan Dewan 
Perwakilan
Rakyat terlebih dahulu. Sebenarnya, secara prosedural, DPR adalah 
wakil
rakyat yang paling memunyai otoritas untuk membuat hukum setingkat
undang-undang. Apalagi jika undang-undang itu berpotensi mengurangi 
hak
asasi warga negara. Di era demokrasi, tak boleh ada aturan yang 
diizinkan
berlaku tanpa melalui persetujuan rapat pleno DPR. Namun, mayoritas 
publik
dapat menerima lahirnya Perpu itu sebagai penyimpangan yang dipahami.
Tragedi Bali oleh publik luas dapat dianggap sebagai keadaan darurat 
yang
membuat Perpu itu tak terhindari.

Kedua, publik juga menerima adanya undang-undang yang diberlakukan 
surut.
Sebenarnya, secara umum undang-undang --terutama yang menyangkut 
pidana 
dan
politik-- tak boleh diberlakukan surut. Undang-undang itu tak dapat 
dibuat
untuk menjaring kesalahan atau kriminalitas di masa silam. 
Terminologi
melanggar hukum selalu berarti melanggar hukum yang sudah ada ketika
tindakan itu dilakukan, bukan hukum yang baru dilahirkan di depan 
(yang
kemudian diberlakukan mundur ke belakang). Namun sekali lagi, 
mayoritas
publik dapat menerima Perpu itu melawan prinsip umum, dan 
diberlakukan 
surut
untuk mengusut Tragedi Bali. Begitu dahsyatnya Tragedi Bali sehingga 
publik
mendefinisikan peristiwa itu sebagai kejahatan melawan kemanusiaan. 
Untuk
kategori kejahatan ini, ada kesepakatan internasional bahwa hukum 
memang
dapat berlaku surut.

Ketiga, publik juga mengizinkan upaya penangkapan terhadap tertuduh 
teroris
secara lebih mudah. Sebenarnya, untuk menjamin hak asasi warga 
negara, 
harus
ada terlebih dahulu bukti awal yang cukup sebelum ia dapat 
ditangkap. 
Namun
sekali lagi, publik memahami perlunya penyimpangan. Hanya dengan 
laporan
intelijen, yang sudah disahkan oleh pengadilan negeri, seseorang 
sudah 
dapat
ditahan. Bahkan rekaman dan surat-menyurat elektronik dapat pula 
menjadi
bukti hukum.

Keempat, demi terbongkarnya terorisme, bahkan publik mengizinkan sang
tertuduh ataupun tersangka diperiksa tanpa didampingi pengacara. 
Sebenarnya,
dalam kondisi normal dan pidana umum, warga negara layak didampingi
pengacara. Adalah hak warga negara untuk mendapat perlindungan hukum 
sejak
dini. Namun, Tragedi Bali begitu memukau. Perpu Antiterorisme yang 
tidak
mengizinkan pengacara mendampingi sang tertuduh, tetap didukung untuk
berlaku.

Komplikasi
Di satu sisi, diadopsinya Perpu Antiterorisme itu, dan penangkapan 
Ba'asyir
selaku korban pertamanya, memang dapat menaikkan citra pemerintah. 
Di 
mata
internasional dan publik domestik, pemerintah dinilai sudah 
mengambil 
segala
hal yang diperlukan dalam waktu cepat, demi perang total terhadap 
terorisme.

Namun di sisi lain, Perpu Antiterorisme tetap melahirkan perasaan 
yang 
tak
mudah. Banyak yang khawatir jika Perpu itu 'dibajak' untuk tujuan 
lain.
Melalui Perpu itu, pemerintah dapat menggulung tak hanya ancaman 
terorisme,
namun juga oposisi politik yang sah di era demokrasi. Setidaknya 
Perpu 
itu
dapat menakut-nakuti kekuatan kritis (yang bukan teroris).

Kemungkinan pertama, Perpu itu dibajak untuk lebih melayani desakan
internasional ketimbang pengungkapan fakta hukum yang sesungguhnya.
Akibatnya, akan banyak tokoh kritis yang ditangkap untuk kejahatan 
yang
mungkin tidak dilakukannya. Para tokoh Islam garis keras akan menjadi
sasaran empuk. Para tokoh ini yang terbiasa melakukan kekerasan atas 
nama
agama juga berhak atas keadilan. Mereka tentu harus dihukum atas 
pelanggaran
yang dibuatnya. Namun, jika mereka memang tidak terkait dalam 
jaringan
terorisme internasional, ataupun dengan peledakan bom di Bali, 
mereka 
tak
boleh dizalimi oleh Perpu Antiterorisme itu, walau ada desakan opini
internasional.

Kemungkinan kedua, Perpu itu dibajak untuk menangkap aneka LSM garis 
keras,
yang tak ada hubungannya dengan terorisme, kecuali mereka bersikap 
sangat
kritis terhadap pemerintah. Sebagian LSM sudah dikenal gemar 
demonstrasi dan
mencaci-maki pejabat tinggi, baik untuk alasan yang masuk akal 
maupun 
tidak.
Sejauh mereka tidak menyebabkan kekerasan dan pelanggaran hukum, 
jangan 
pula
Perpu Antiterorisme dibajak untuk membersihkan LSM jenis ini.

Agar Perpu Antiterorisme tidak 'dibajak', perlu dicarikan jalan 
tengah. 
DPR
tampaknya perlu membuat Komisi Pengawas Keamanan. Komisi ini 
beranggotakan
tokoh masyarakat sebagaimana Komnas HAM. Namun, tugasnya khusus untuk
mengontrol program antiterorisme agar dioperasikan secara 
profesional, 
dan
tidak mematikan potensi demokratis publik yang sedang tumbuh.

Tanpa Komisi Pengawas itu, semangat antiterorisme dapat membuat 
pemerintah
justru tumbuh kembali menjadi semiotoritarian. Akibatnya, perang 
terhadap
terorisme justru akan terganggu.***