[Nusantara] Legalitas Perpu Antiterorisme
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Oct 25 04:05:49 2002
Legalitas Perpu Antiterorisme
Nadirsyah Hosen Alumni Fakultas Hukum Northern Territory University,
Australia
'DALAM hal ihwal kegentingan yang memaksa', begitu bunyi Pasal 22
UUD
1945,
'Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang'. Pasal ini memberikan dasar kepada pemerintah untuk
mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
tentang Antiterorisme. Kedua perpu tersebut, masing-masing Perpu
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu tentang Pemberlakuan
Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 untuk Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan
Para
Pelaku Peristiwa Peledakan Bom di Bali, telah ditandatangani Presiden
Megawati Soekarnoputri pada Jumat (18/10) malam.
Dari sekian banyak persoalan yang bisa dimunculkan kedua perpu
tersebut,
satu aspek yang cukup mendasar adalah bagaimana kita menilai posisi
perpu
itu dikaitkan dengan filosofi lahirnya perpu dan hierarki peraturan
perundang-undangan di negara kita.
Filosofi perpu
Perpu itu sebenarnya sama dengan Undang-Undang Darurat. Presiden
mengeluarkan perpu sebagai noodverondeningsrecht atau hak untuk
menetapkan
peraturan dalam keadaan darurat. Persoalan definisi darurat atau
'hal-ikhwal
kegentingan yang memaksa' bisa diperdebatkan dan UUD 1945 tidak
menjelaskan
lebih jauh soal ini. Akan tetapi, secara umum bisa dikemukakan bahwa
Presiden secara subjektif dapat menilai telah terjadi suatu keadaan
darurat
yang dapat membahayakan negara.
Penilaian subjektif Presiden ini bisa diperdebatkan kemudian, karena
boleh
jadi Presiden salah menilai atau memiliki kepentingan tertentu.
Itulah
sebabnya, meskipun pada saat perpu dikeluarkan Presiden tidak
membutuhkan
persetujuan DPR, kekuatan perpu itu terbatas sampai masa sidang DPR
berikutnya. Kalau dalam persidangan berikutnya anggota DPR menolak
perpu
tersebut, perpu itu harus dicabut. Jadi, secara filosofis, perpu itu
hanya
dikeluarkan dalam kondisi tertentu untuk waktu yang terbatas pula.
Secara filosofis pula, lahirnya perpu itu boleh jadi dikarenakan
adanya
kekosongan aturan hukum (rechtsvacuum) atau aturan yang telah ada
dianggap
tidak lagi sesuai dengan kondisi darurat yang dihadapi. Menunggu DPR
untuk
membahas sebuah RUU akan memakan waktu yang lama, sementara negara
dalam
keadaan genting.
Dalam konteks saat ini, kedua alasan tersebut digabung menjadi satu.
Pada
satu sisi, ada kekosongan hukum karena UU Antisubversi telah dicabut
dan
dianggap belum ada gantinya. Kedua, Undang-Undang (UU) No
12/Drt/1951
yang
ditetapkan menjadi UU No 1/1961 tentang Senjata Api, UU No 39/1999
tentang
HAM, UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan KUHP dianggap belum
meng-cover tindak pidana terorisme, sehingga dikhawatirkan akan ada
celah
atau lubang yang bisa dimanfaatkan tersangka teroris untuk lolos dari
jeratan hukum.
Perpu dalam hierarki perundangan
Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya dua Perpu Antiterorisme ini
lubang
atau celah hukum sama sekali telah tertutup. Meskipun perpu ini
dikeluarkan
oleh pemerintah dan bertajuk peraturan pemerintah, secara filosofis
ia
sejajar dengan undang-undang. Artinya, ia memiliki kekuatan yang
sama
dengan
undang-undang. Pemahaman filosifs ini yang diadopsi oleh Tap MPRS No
XX/MPRS/1966. Ketetapan MPRS tersebut telah meletakkan UU/perpu
dalam
urutan
ketiga di bawah UUD 1945 dan Tap MPR.
Karena posisinya yang sejajar, perpu bisa dikeluarkan untuk
menyatakan
sebuah UU tidak berlaku, atau menunda pemberlakuannya, atau
memodifikasi
aspek tertentu, atau menambah pasal tertentu. Ketika perpu diterima
oleh
DPR, ia bisa menjadi UU, atau kalau ia ditolak, UU yang sebelumnya
diubah
atau dibatalkan oleh perpu bisa kembali lagi berlaku. Sekali lagi,
ini
karena kedudukan legal perpu dan UU yang sejajar.
Akan tetapi, di era reformasi hukum ini telah terjadi perubahan
hierarki
peraturan perundang-undangan. Telah muncul Tap MPR No III/MPR/2000
yang
meletakkan UU di urutan ketiga dan perpu di urutan keempat. Ini
membuat
UU
setingkat lebih tinggi di atas perpu. Artinya, Pasal 2 dalam TAP MPR
yang
terbaru telah menyatakan bahwa perpu itu kedudukannya berada di
bawah
UU.
Implikasi hukumnya adalah sebuah perpu tidak bisa menunda,
memodifikasi
atau
membatalkan apa yang telah diatur oleh UU. Sebaliknya, sesuai dengan
sifat
hierarki, perpu tidak boleh bertentangan dengan UU karena aturan
yang
lebih
rendah tidak boleh menyalahi atau bertentangan dengan aturan yang
lebih
tinggi.
Yusril Ihza Mahendra, selaku Menteri Kehakiman, bukannya tidak sadar
dengan
problem ini. Dalam salah satu tulisannya, beliau berpendapat bahwa
Pasal 2
Tap MPR No III/MPR/2000 khususnya mengenai Perpu telah bertentangan
dengan
Pasal 22 UUD 1945. Keberanian Menteri Yusril untuk mengonsep draf
Perpu
Antiterorisme yang kedudukannya sejajar dengan UU sehingga perpu
tersebut
ditandatangani oleh Presiden dapat dianggap telah sesuai dengan UUD
1945,
tetapi dapat pula dianggap telah melanggar Ketetapan MPR.
Pelanggaran
sebuah
Ketetapan MPR oleh seorang Presiden merupakan hal yang sangat serius.
Bagaimana memecahkan lubang atau celah ini? Karena belum terbentuk
Mahkamah
Konstitusi yang dapat menilai bertentangan atau tidaknya Pasal 22
UUD
1945
dan Tap MPR No III/MPR/2000, Mahkamah Agung seharusnya mengambil
inisiatif
memecahkan masalah ini. Hal ini sesuai dengan Pasal III Aturan
Peralihan UUD
1945 bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah
Agung
sampai terbentuknya institusi tersebut.
Di masa reformasi ini, apa boleh buat, aturan main kita masih tambal
sulam.
Jadi, jangan heran kalau nanti ada pihak yang menggugat Perpu
Antiterorisme
dengan dasar Ketetapan MPR era reformasi. Inilah kiris konstitusi
jilid
berikutnya.***