[Nusantara] Jejak Al Qaidah di Bali?
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:00:34 2002
Jejak Al Qaidah di Bali?
Oleh Denny J.A.
Sudah lebih dari sepuluh hari ledakan bom di Bali. Pemerintah belum
juga
menemukan pelakunya. Sudah begitu banyak saksi yang didengar
pendapatnya.
Sudah banyak pula penyisiran lokasi dilakukan untuk menemukan aneka
bukti.
Namun, sejauh ini belum ada yang dapat dijadikan tersangka tragedi
Bali.
Memang Abu Bakar Ba'asyir sudah ditahan. Namun, sang ustad ditahan
karena
kasus yang lain, bukan dalam kaitannya dengan tragedi Bali.
Pada saat yang sama, opini internasional justru semakin mengental.
Berhari-harii, tragedi Bali menjadi headline tak hanya di New York
Time,
Washington Post, dan CNN, namun menjadi cover story pula di majalah
sekelas
Time. Umumnya, opini internasional itu semakin keras dengan tuduhan
yang
semakin mengerucut. Al Qaidah beserta jaringan lokalnya berada di
belakang
bom Bali. Lebih maju lagi, Hambali dituduh sebagai operator Al Qaidah
di
Asia Tenggara dan menjadi pelaku utama.
Tetapi, opini publik domestik tidak serta merta meyakini opini
internasional. Jauh lebih banyak publik yang bersikap wait and see,
pasif,
bahkan skeptis atas analisis internasional itu. Pemerintah Indonesia
terjepit di tengah.
Internasional
Tiga hal yang membuat opini internasional mencurigai Al Qaidah di
Bali.
Pertama, mereka begitu yakin Al Qaidah akan bangkit kembali dan balas
dendam
setelah digempur di Afghanistan. Serangan atas gedung WTC dan
Pentagon
11
September 2001 dianggap hanya langkah awal. Mereka yakin serangan Al
Qaidah
berikutnya terhadap kepentingan AS akan lebih mematikan.
Serangan 11 September bahkan dianggap sebagai serangan terakhir yang
menggunakan senjata konvensional di AS. Di masa datang, teroris
mungkin
meledakkan bom pemusnah masal yang dapat membunuh separo penduduk AS.
Tak
heran jika sampai kini Amerika Serikat paling khawatir terhadap
senjata
pemusnah masal, jenis nuklir ataupun senjata biologis.
Upaya Amerika Serikat menyerang Iraq juga disebabkan keinginan AS
untuk
mengontrol bahan perusak masal itu. Seandainya Iraq berhasil membangun
pabrik bom nuklir atau bom biologis, tak ada yang dapat menjamin
senjata itu
tidak digunakan, terutama untuk menyerang AS. Apalagi di tengah mental
pejabat dunia ketiga yang umumnya korup. Senjata pemusnah masal itu
dapat
diperjualbelikan kepada kelompok teroris.
Namun, sebelum mendapatkan senjata perusak masal, Al Qaidah dituduh
hanya
menyerang sasaran lunak yang lebih mudah, seperti aneka tempat
hiburan.
Jika
memang warga AS belum dapat dijadikan target, setidaknya, warga
sekutu
AS
yang dijadikan sasaran, seperti Australia. Tragedi Bali dianggap
sebagai
pemanasan dan salah satu serangan beruntun Al Qaidah dalam skala mikro
sebelum serangan sesungguhnya yang jauh lebih besar dan mematikan atas
kepentingan AS sendiri.
Kedua, mereka begitu yakin jaringan Al Qaidah terus tumbuh. Memang
benar,
kamp pelatihan dan pusat mereka di Afghanistan sudah dihancurkan.
Namun,
organisasi itu terus bergerak melalui sel-sel yang tertutup dan
desentralistis. Karena Afghanistan tak lagi nyaman, pemimpin dan
aktivis Al
Qaidah itu kemudian mengungsi ke tempat yang lebih memberikan jaminan.
Asia Tenggara, terutama Indonesia, menurut cara berpikir ini, layak
disusupi. Indonesia bahkan dianggap sebagai titik terlemah di Asia
Tengara.
Di Indonesia, ada 15.000 lebih pulau yang saling terpencil. Kondisi
itu
memudahkan tim terorisme untuk menyusup dari berbagai pintu yang tidak
resmi.
Aparat keamanan begitu mudah disogok oleh pendatang gelap (teroris)
untuk
mendapatkan kartu identitas palsu. Sementara itu, krisis ekonomi dan
konflik
horizontal yang luas adalah lahan yang baik untuk rekrutmen dan
pelatihan
terorisme. Ledakan bom Bali adalah puncak gunung es dari fenomena
tersembunyi itu.
Ketiga, pemerintah AS juga perlu membuat garis batas yang tegas soal
posisi
aneka negara penting dunia. Garis pembatas itu bukan lagi antara
negara
demokrasi dan yang bukan, atau pelanggar HAM dan yang anti-HAM. Garis
batas
itu adalah posisi yang eksplisit dari pemerintah atas terorisme.
Hanya
ada
dua pilihan, negara Anda bersama kami atau melawan kami untuk isu
terorisme.
Tak ada jalan tengah.
Bom Bali dijadikan titik masuk AS menekan Indonesia untuk lebih serius
menghadapi terorisme yang sudah mereka bayangkan, jaringan global Al
Qaidah.
Domestik
Namun, pada saat yang sama, begitu banyak cendekiawan yang sulit
mempercayai
Al Qaidah dan jaringan lokalnya terlibat dalam tragedi Bali jika
dilihat
dari dua alasan: motif dan korban.
Dari segi motif, aksi terorisme adalah aksi yang rasional, bukan
spontan
atau emosional. Mereka melakukan aksi teror pasti dengan motif
tertentu
yang
menguntungkan perjuangan mereka. Jika benar Al Qaidah dan jaringannya
merusak Bali dan Indonesia, mereka melakukan tindakan yang menyusahkan
organisasi mereka sendiri. Peledakan Bali itu menjadi bunuh diri
politik
yang sulit dipahami.
Sebelum tragedi Bali, di mana-mana dinyatakan bawa Indonesia adalah
sarang
terorisme. Dinyatakan pula bahwa Al Qaidah memimpin jaringannya di
Asia
Tenggara dari Indonesia. Mengapa pula mereka harus meledakkan wilayah
di
sebuah negara yang selama ini menjadi surga mereka sendiri? Dengan
adanya
bom Bali, bukankah keberadaan mereka akan dikonfirmasi. Itu sama
dengan
mereka memberikan pelor kepada musuh untuk minta ditembak. Mungkinkah
sebuah
jaringan profesional seperti Al Qaidah berpikir senaïf itu?
Kedua, analisis dapat juga dilihat dari korban. Seandainya Al Qaidah
yang
bergerak, mengapa yang ditargetkan pengunjung Australia? Padahal,
efeknya
jauh lebih dahsyat -dan sesuai dengan target mereka sendiri- jika yang
mereka hancurkan itu adalah kepentingan Amerika Serikat. Begitu banyak
tempat di seluruh dunia untuk memburu warga AS, dengan kerja yang
relatif
sama kerasnya (sama mudahnya) dengan upaya peledakan di Bali.
Setelah hari kesepuluh tragedi Bali, semakin terasa jurang yang lebar
antara
opini yang berkembang di dunia internasional dan domestik. Keduanya
mempunyai argumen yang sama kuat walau bertolak belakang. Kontradiksi
opini
internasional dan domestik itu sangat mengganggu kerja pemerintah.
Jika
tak
ditemukan data pembuktian yang keras mengenai pelaku peledakan,
pemerintah
RI akan terus terombang-ambing. Ataukah pemerintah akhirnya harus
berkesimpulan seperti ini: "Pelaku bom di Bali mungkin Al Qaidah,
namun
mungkin juga tidak."
* Denny J.A., direktur eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi
Jayabaya