[Nusantara] Anomali PBB dalam Memerangi Terorisme
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:00:42 2002
Anomali PBB dalam Memerangi Terorisme
Eddy Maszudi, Pemerhati masalah politik internasional
SEJAK genderang perang melawan terorisme internasionl yang
dilancarkan
AS,
pasca-Tragedi WTC 11 September 2001, banyak anomali dimainkan oleh
lembaga
pencipta perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang berulang
tahun
ke-57 pada hari ini. PBB (United Nation Organization) yang berdiri
setelah
Perang Dunia II berakhir ternyata dalam praktiknya tidak bisa berbuat
adil
untuk semua negara angggota yang sekarang ini berjumlah 192, dengan
masuknya
Swiss sebagai anggota terbaru. Bila dinilai prestasi PBB, maka lembaga
internasional ini hanya mampu mencegah perang berskala besar, tetapi
tidak
mampu mencegah perang berskala kecil yang sporadis. Sedangkan Dewan
Keamanan
(DK) PBB yang diharapkan menjadi ujung tombak bagi upaya menciptakan
dunia
yang bebas konflik, malahan menjadi alat negara-negara besar (anggota
tetap
DK) untuk memaksimalkan national interest masing-masing. Hal inilah
yang
menjadi permasalahan mengapa PBB tidak bisa berkerja optimal.
Bagi PBB Tragedi WTC, Tragedi Bali 12 Oktober 2002, dan serangan
teroris
lainnya adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Sebab,
para
teroris sekarang telah menjadikan masyarakat sipil sebagai target
operasi
mereka. Akan tetapi, peran PBB yang mengeluarkan beberapa resolusi
untuk
memerangi terorisme internasional ternyata bias dan tidak bisa
berjalan
efektif. Hal ini menjadi anomali PBB dalam memerangi terorisme
internasional
yang akhir-akhir ini membuat dunia tegang.
Anomali
Setidaknya ada lima faktor penyebab mengapa terjadi anomali peran yang
dijalankan PBB dalam misi memerangi terorisme internasional. Pertama,
PBB
hanya memerangi teroris yang dilakukan organisasi nonstate, teroris
skala
kecil. Sedangkan teroris yang dimainkan negara (state terrorism) jauh
lebih
berbahaya bagi perdamaian dunia. Padahal timbulnya baik teroris lokal
maupun
internasional lebih banyak dipicu oleh perilaku state terrorist yang
sering
memaksakan kehendak dan kepentingannya terhadap negara-negara kecil,
kelompok, organisasi, dan negara berkembang serta kelompok keagamaan
yang
memunyai pandangan berbeda tentang tata dunia baru.
Kedua, donimannya AS dan negara-negara Barat dalam tubuh PBB,
terutama
di DK
PBB, menjadikan lembaga ini seakan-akan milik AS dan sekutunya. Sejak
perang
dingin berakhir pada 1990-an, AS mampu mengendalikan PBB. Sedangkan
Rusia
dan RRC yang diharapkan memainkan peran mengimbangi sikap AS yang
progresif,
ternyata lebih suka absen jika AS memaksakan kehendaknya. Lihat AS
yang
tidak melakukan tindakan militer terhadap Israel yang terus memburu
para
pejuang Palestina. Padahal bila dikaji lebih dalam Israel --anak emas
AS di
Timur Tengah-- adalah negara sponsor utama terorisme dan
antidemokrasi.
Ketiga, adanya DK PBB yang memunyai anggota tetap lima negara dengan
hak
vetonya merupakan sebuah sistem yang dirancang pasca-PD II, adalah
sebuah
kelemahan utama lembaga internasional terbesar ini ketika tantangan
dan
perubahan dunia telah lebih kompleks dan bervariasi.
Keempat, tidak mandirinya PBB, telah mengakibatkan lembaga
internasional
yang bermarkas di New York ini menjadi tidak independen lagi. Ingat
75%
dana
operasional untuk menggerakkan PBB adalah dana sumbanan AS. Jadi
adalah
wajar bila AS sangat menguasai lembaga ini.
Kelima, tidak ada wakil negara-negara Islam dan negara-negara
berkembang di
DK PBB telah menjadikan bias setiap policy PBB. Umat Islam yang
berjumlah
lebih dari satu miliar di muka bumi adalah sebuah contoh tidak
berimbangnya
akomodasi PBB. Hal ini juga dirasakan oleh umat lainnya. Jika PBB
ingin
tetap bewibawa di mata anggotanya maka ide restrukturisasi dan
demokratisasi
lembaga ini harus segera diwujudkan. Jika tidak, aksi terorisme
sebagai
menifestasi dan sikap politik 'orang frustasi' akan menghantui PBB
dan
dunia
internasional.
Restrukturisasi dan demokratisasi
PBB sebagai organisasi internasional diharapkan mampu membawa dunia
tidak
terjebak dalam perang berkepanjangan serta mampu menjadikan dunia
lebih
adil, makmur, dan tidak adanya bangsa, suku yang masih hidup dalam
alam
penjajahan. DK PBB yang seharusnya bertanggung jawab atas perdamaian
dunia
ternyata telah dikuasai satu negara. Memang ada lima anggota tetap DK
PBB
(AS, Rusia, Inggris, Prancis, dan RRC), akan tetapi para anggota
tersebut
mulai mementingkan negaranya sendiri daripada negara-negara yang baru
merdeka.
AS sebagai negara adidaya tunggal dan tempat markas PBB ternyata
memunyai
pengaruh yang sangat luar biasa. Sehingga dalam setiap keputusan
politik,
terutama yang menyangkut keamanan internasional, AS selalu
mengatasnamakan
PBB. Misalnya bagaimana PBB memberikan restu kepada AS untuk melakukan
sanksi baik yang bersifat ekonomi, politik, maupun militer terhadap
Irak.
Begitu juga kebijakan AS yang pro-Israel, akhirnya mendapatkan restu
PBB.
Ada lima strategi jangka panjang untuk membebaskan PBB dari 'sandera'
AS.
Pertama, perlu membangan anggota Dewan Keamanan tetap, sehingga
negara-negara dunia ketiga, dunia Islam, wakil dari Afrika dan
Amerika
Latin
memunyai posisi yang cukup kuat dalam menyuarakan aspirasinya.
Kedua, untuk menjaga independensi PBB, maka markas PBB yang berada di
New
York, AS, dipindah ke negara yang netral. Sebab dengan bermarkas di
salah
satu negara bagian AS, maka AS akan dengan mudah menguasai PBB.
Berdasarkan
bukti di lapangan para karyawan PBB sekarang ini, 75% adalah warga AS.
Ketiga, penghilangan hak veto bagi anggota tetap DK PBB. Hak veto yang
dirancang untuk melakukan gerak cepat dalam melakukan aksi terhadap
negara
tertentu yang melanggar kesepakatan internasional ternyata tidak
produktif.
Sebab, negara-negara yang memunyai hak veto sering menggunakannya
ketika
negara sendiri dan sekutunya melanggar hukum, norma, dan kesepakatan
internasional.
Keempat, perlunya penambahan anggota dewan keamanan tidak tetap yang
selama
ini hanya sepuluh negara. Jika anggota dewan keamanan tidak tetap
ditambah
menjadi lima belas atau dua puluh, maka proses pembuatan keputusan
politik
keamanan, militer dalam sidang DK PBB bisa lebih objektif dan
benar-benar
untuk masa depan dunia ke arah yang lebih baik.
Kelima, perlunya kampanye internasional tentang pembentukan tata
dunia
baru
yang sesuai dengan tuntutan zaman. PBB sebagai manifestasi tata dunia
hasil
Perang Dunia II, sekarang sudah tidak mampu memberikan pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat internasional. Oleh karena itu, PBB harus
direformasi sehingga lembaga ini tetap berwibawa di mata anggotanya
baik itu
berasal dari negara-negara maju, Eropa, Asia, Afrika, Amerika Selatan.
Sikap AS
Sebagai negara pemenang dalam perang dingin, AS sekarang ini adalah
negara
adidaya (superpower) tunggal, yang seakan-akan bebas melakukan apa
saja
terhadap negara lain. Seruan AS terhadap dunia internasional untuk
memerangi
terorisme sejak Tragedi WTC lebih banyak bermuatan politik dan ekonomi
daripada menyebarkan nilai-nilai HAM, dan demokrasi. Bagi AS terorisme
internasional yang identik dengan gerakan Islam fundamental yang
menentang
dominasi Barat adalah sebuah kesalahan yang fatal di mata umat Islam
di
seluruh penjuru dunia. Sebab, Islam adalah agama perdamaian, menentang
kekerasan, dan ingin membangun dunia sebagai tempat yang nyaman,
damai
bagi
manusia dari berbagai bangsa.
Apalagi pola hubungan konflik yang dikedepankan AS akhir-akhir ini
menambah
permasalahan global dan membawa dunia ke arah perang baru. Akan
tetapi
AS
tidak menyadari, bahwa masyarakat internasional sekarang ini sudah
mulai
curiga di balik kampanye AS tentang HAM, demokrasi ke seluruh dunia.
AS selalu mengaku pelindung, penyebar, dan pengabdi demokrasi dan
HAM,
akan
tetapi praktik politik luar negeri AS, terutama di masa pemerintahan
George
Walker Bush sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Sikap
AS
yang
ingin menyerang Irak, menuduh Kuba, Korut, dan Iran sebagai poros
setan
adalah bukti AS sekarang ini sudah tidak menghargai demokrasi yang
berinti
kepada bagaimana kita bisa menghargai pendapat, dan pandangan orang
dan
bangsa lain.
Setelah perang dingin usai, AS telah menggunakan lembaga-lembaga
internasional dan regional sebagai alat untuk memaksimalkan
kepentingan
nasional bangsa AS. Lihat bagaimana dominasinya AS di DK PBB, IMF,
NATO,
APEC adalah bukti bahwa Negara Paman Sam tersebut telah menggunakan
lembaga-lembaga internasional sebagai alat untuk kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, mulai sekarang ini harus diadakan kampanye di dunia
internasional untuk reformasi PBB, IMF, World Bank, IMF, APEC,
sehingga
organisasi yang memunyai visi terhadap kemajuan bersama negara-negara
di
dunia tersebut tidak berjalan melenceng dari rel yang telah
ditetapkan.
Bila
hal ini tidak dilakukan mungkin jangan berharap dunia yang kita huni
bersama
ini bisa bebas dari teror dan ancaman perang.***