[Nusantara] Teror Bom Bali dan Intel Kita

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:00:50 2002


Teror Bom Bali dan Intel Kita

dalah Kasad Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu yang mengatakan bahwa untuk
merusak negara orang harus merusak tentara, sedangkan untuk merusak 
tentara
orang harus merusak intelijennya. Teror bom meninggalkan polemik 
tentang
ketidakpekaan intelijen Indonesia. Tuntutan mundur kepada Kepala Badan
Intelijen Nasional dan Kapolri disuarakan oleh sebagian masyarakat. 
Semua
cuci tangan atas musibah Bali dan saling menyalahkan. Pemerintah 
dianggap
lamban dalam mengantisipasi maupun merespons peristiwa Bali. Banyak 
omong
dan rapat daripada bertindak konkret.

Kegagalan intelijen dalam menghadapi serangan teroris bukan hanya 
terjadi di
Indonesia. Kepala Intelijen Indonesia bisa berdalih bahwa aksi teroris
memang sulit dideteksi secara dini. Amerika, negara kaya dengan 
anggaran
belanja yang besar dan peralatan yang canggih tak mampu menangkal 
serangan
teroris seperti serangan atas gedung Wall Street, kedutaannya di 
Afrika,
kapalnya yang berlabuh di Pelabuhan Yaman Selatan dan yang terakhir 
mega
teror atas gedung WTC yang dikenal dengan peristiwa sebelas September.

Baik FBI maupun CIA tidak mampu mendeteksi dan mencegah secara dini 
gerakan
dan rencana teroris internasional untuk melakukan kejahatan mereka. 
Dengan
membandingkan kegagalan intelijen Amerika menghadapi serangan teroris 
tidak
berarti intelijen Indonesia boleh merasa puas diri dan lepas tanggung 
jawab.
Tidak disangkal anggaran intelijen Indonesia sangat minim dengan 
peralatan
dan sumber daya manusia yang memprihatinkan.


Multidimensi

Dalam soal bom Bali sebenarnya bukan semata-mata soal kebobrokan 
intelijen
Indonesia, tapi kebobrokan multidimensi yang menghinggapi pemerintah 
dan
bangsa Indonesia sejak lengsernya Soeharto. Tidak adanya kepemimpinan 
yang
kuat dan didukung rakyat menyebabkan Indonesia bagaikan kapal layar 
yang
diombang-ambingkan badai dan topan. Bom Bali merupakan akumulasi dan 
puncak
dari ketidaktegasan dan rendahnya kewibawaan pemerintah selama ini.
Intelijen Indonesia memang sedang sakit karena adanya beberapa fraksi 
yang
hidup dan bersaing dalam tubuh intelijen kita.

Sementara itu, peringatan internasional tentang adanya jaringan 
teroris 
di
Indonesia dianggap sepi dan di tutup- tutupi. Perusakan rumah ibadah,
pengeboman gedung BEJ, kantor kejaksaan Agung, gedung Atrium Senin,
misalnya, belum dianggap sebagai tindakan teror walaupun telah jatuh
beberapa korban. Baru ketika korban terdiri dari puluhan orang asing 
di
Pulau Dewata, pemerintah baru bangun dari tidurnya bahwa aksi teror 
sudah
masuk di dalam rumah kita. Bom Bali yang menelan korban dari 
mancanegara
telah menjadi wake up call bagi bangsa Indonesia. Yang menjadi masalah
apakah wake up call itu akan diikuti oleh bangunnya pemerintah 
Indonesia
dari mimpi bahwa di Indonesia tidak ada teroris baik lokal maupun
internasional. Wake up call juga pernah terjadi di Surakarta tapi 
berkaitan
dengan korban kecelakaan di depan palang kereta api. Sekitar dua 
puluh 
tahun
lalu, di Kota Solo sebuah bus malam Ex- press Flores tertabrak kereta 
api
ketika melewati jalan lintas kereta api tanpa palang pengaman. Baru 
setelah
kecelakaan yang menelan puluhan korban manusia itu, pemerintah kota 
bersama
perusahaan kereta api membuat palang pengaman. Orang bisa menyalahkan 
pemda
karena lalai membuat palang pengaman di jalan protokol Slamet Riyadi.
Sedangkan pemda bisa berdalih bahwa itu kesalahan dari perusahaan 
jawatan
kereta api. Dibutuhkan puluhan tumbal manusia untuk membangun palang
pengaman kereta api di Jalan Slamet Riyadi.


Pengalaman di Lapangan

Pada zaman Soeharto intel memiliki peranan penting dalam memantau 
orang 
yang
dianggap vokal terhadap pemerintah. Di antaranya adalah Muchtar 
Pakpahan
pemimpin SBSI. Suatu kali intel di Surakarta mendengar bahwa pemimpin 
SBSI
itu berada di Surakarta. Salah satu LSM yang berdomisili di Surakarta
dianggap mempunyai hubungan dekat dengan pemimpin SBSI tersebut. 
Seorang
intel yang tiba di kantor LSM di Surakarta bertanya kepada pegawai LSM
apakah ada pertemuan yang dihadiri oleh Muchtar hari ini. Dengan 
enaknya
pegawai LSM tersebut menjawab "Ya ada dan Pak Muchtar akan datang 
sebentar
lagi". Intel tersebut memasuki ruang pertemuan yang belum banyak 
diisi 
oleh
undangan. Dia duduk di tengah-tengah tamu yang datang makin banyak 
memenuhi
ruang pertemuan.

Pada jam yang ditentukan acara dimulai dan intel tersebut terbengong 
karena
pembicaraan pagi itu tidak menyinggung sama sekali gerakan buruh dan
pemogokan tapi membicarakan soal kesehatan dan pijat refleksi. Lalu 
intel
itu bertanya pada orang yang duduk disampingnya, "Apakah orang yang
memberikan ceramah itu Muchtar, Ketua SBSI?" Orang itu menjawab" Ya 
dia
Muchtar." Lalu intel itu tanya lagi apa dia Muchtar pemimpin buruh, 
dari
Jakarta?" Jawab orang yang ditanya " Bukan, ini kan pak Muchtar ahli 
pijat
refleksi dari Solo" Akhirnya intel tersebut terjebak duduk di tengah 
masa
tanpa bisa meninggalkan tempat duduknya karena di sekitarnya dipenuhi 
para
tamu. Bagaimana mungkin seorang intel diperintahkan untuk memantau 
orang
yang namanya Muchtar ketua SBSI tanpa mengenal wajah dan melihat 
gambarnya?

Pengalaman lain ketika diadakan seminar internasional oleh suatu LSM 
dengan
bekerja sama suatu perguruan tinggi di Yogyakarta. Seorang intel duduk
mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh seorang pembicara asing 
dalam
bahasa Inggris. Setelah selesai intel itu bertanya kepada seorang 
mahasiswa
"Dik tadi penceramah itu ngomong apa?" Mahasiswa yang ditanya itu 
dalam 
hati
berkata "Lho intel diutus ke seminar internasional kok tidak tahu 
bahasa
Inggris." Penguasaan bahasa asing menjadi kendala kegagalan tugas 
intelijen.
CIA pun mengalami kendala mendeteksi teroris asal Timur Tengah karena
agen-agennya tak mampu menguasai bahasa Arab. Bila jaringan teroris
merupakan jaringan internasional maka tak terhindarkan penguasaan 
berbagai
bahasa asing sangat dibutuhkan dalam tugas intelijen. Keadaan intel
Indonesia memang memprihatinkan dalam banyak hal. Berpisahnya Polri 
dan 
TNI
secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan persaingan 
terselubung
antara sipil dan militer. Bahkan tidak jarang saling menjatuhkan dan 
menjadi
konflik terbuka yang menelan korban. Bentrok antara Polri dan TNI di
lapangan merupakan peristiwa yang memalukan di mata internasional.
Ketidakmampuan dan tidak adanya kewibawaan Polri untuk menangani 
kasus 
teror
dan konflik di Tanah Air akan mengundang kembali peranan militer 
khususnya
Angkatan Darat dalam menangani keamanan dalam negeri. Itu bisa 
merisaukan
banyak orang.


Penulis adalah pengamat etika dan masalah internasional.