[Nusantara] Indonesia dan Terorisme Internasional
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:01:08 2002
Indonesia dan Terorisme Internasional
Oleh Juwono Sudarsono
MALAPETAKA di Bali, yang merenggut lebih dari 180 jiwa pada 12
Oktober
2002,
akhirnya menegaskan keberadaan kelompok teror di Indonesia yang
terkait
dengan
terorisme internasional. Demikian pernyataan resmi Pemerintah
Indonesia
usai
sidang kabinet pada Senin 14 Oktober yang lalu. Yang masih dalam
penyelidikan
aparat hukum dan keamanan adalah "kelompok teror di Indonesia" yang
mana, dan
bagaimana "kaitan"-nya dengan "terorisme internasional" yang mana.
Pertanyaan-pertanyaan sekitar peristiwa 12 Oktober 2002 di Bali itu
penting bagi
kita, karena beragam tanggapan terhadap malapetaka di Bali tidak
lepas
dari
persoalan siapa yang memberi tanggapan, bagaimana yang bersangkutan
merumuskan
tanggapannya, dan apa maksud menyampaikan tanggapannya itu.
Ragam tanggapan berupa pernyataan, komentar bahkan tudingan-balik
telah
muncul
di berbagai media sehingga lengkaplah simpang siur pendapat di
kalangan
masyarakat Indonesia yang dihujani berbagai versi "teori konspirasi"
atau "teori
dalang" yang amat digemari kalangan media massa, terutama televisi.
Sebagian penanggap di Indonesia, misalnya, berpandangan bahwa ledakan
itu adalah
"rekayasa Amerika Serikat (AS)" yang bermaksud untuk "menekan
Pemerintah
Indonesia" agar menangkap "orang Islam" yang dituduh terkait atau
ikut
membina
"kelompok teroris Islam" yang sudah ditangkap aparat keamanan di
Malaysia,
Singapura, dan Filipina, sejak akhir tahun 2001.
Sebagian pejabat eksekutif dan legislatif Indonesia menganut
pandangan
ini, yang
berpijak pada keyakinan bahwa Indonesia (dan khususnya umat Islamnya)
sengaja
disudutkan oleh pemerintah asing, khususnya AS. Sebagian lagi,
termasuk
mereka
yang disebut sebagai
"pengamat intelijen", berpendirian bahwa ledakan di Legian adalah
perbuatan CIA
(Central Intelligence Agency) dengan maksud "mengadu domba rakyat
Indonesia"
agar Indonesia "tetap dalam cengkeraman imperialisme ekonomi AS".
Sebagian lagi politisi dan pengamat malah yakin bahwa ledakan bom di
Bali itu
dilakukan oleh "orang-orang Orde Baru dan unsur-unsur mantan TNI"
yang
"ingin
melemahkan pemerintahan Me-gawati". Ironinya, menuding CIA sebagai
dalang di
balik setiap peristiwa biasanya dilakukan oleh Partai Komunis
Indonesia, selama
tahun 1948-1967, diteruskan oleh pengamat Marxis dan neo-Marxis tahun
1970-an di
AS dan Eropa hingga sekarang.
Oleh karena semua pernyataan, komentar, dan tudingan-balik di
Indonesia
mengandung unsur spekulasi panas bahwa segala kejadian politik "pasti
ada
da-langnya", maka tiap pandangan dianggap "masuk akal" dan cepat
melayani
berbagai selera konsumsi politik Indonesia. Meskipun dahsyat, menarik
dan
mengasyikkan, teori konspirasi dan teori dalang sesungguhnya
menunjukkan bahwa
sebagian bangsa kita masih amat mudah melemparkan kesalahan kepada
pihak luar
untuk menutupi kelemahan diri kita sendiri.
***
MASALAH bagaimana mengatasi terorisme (baik nasional, regional Asia
Tenggara,
ataupun global) juga jadi bahan perdebatan di berbagai acara gelar
wicara
televisi. Sebagian politisi dan pengamat menyalahkan lemahnya aparat
intelijen
Indonesia, khususnya Badan Intelijen Negara dan Bais (Badan Intelijen
Strategis
TNI) dalam bekerja sama dengan aparat intelijen negara Asia Tenggara.
Ada yang mengusulkan agar dibentuk badan baru yang dapat menjalin
koordinasi dan
tindakan intelijen di bawah satu atap. Sebagian lagi mengusulkan agar
undang-undang antiterorisme secepatnya diluluskan di DPR.
Ada pula yang berpendapat bahwa ledakan bom di Bali itu terjadi
akibat
pemisahan
Polri dari TNI sehingga koordinasi antar-aparat menjadi lemah, karena
itu,
katanya, sebaiknya Polri-TNI disatukan lagi.
Semua usulan itu lebih bersifat perubahan bentuk formal yuridis, yang
pelaksanaannya secara efektif hanya dapat dijawab dengan
memperhatikan
dengan
sungguh-sungguh kondisi obyektif para anggota aparat intelijen
berpangkat paling
rendah di lapangan: Adakah dia dibekali dengan pendidikan, latihan,
perlengkapan, dan dukungan logistik yang memadai? Pengumpulan data
dan
operasi
intelijen memerlukan ketelitian dan pembiayaan mahal, meski mahal itu
relatif
kecil dibandingkan dengan nilai penyelamatan nyawa dan harta yang
dapat
dihindari dari tindakan teror.
Bagaimanakah sebaiknya langkah pencegahan melawan terorisme di
kemudian
hari?
Pertama, intelijen negara mana pun tidak mungkin mengantisipasi
setiap
peristiwa
sehingga mencapai 100 persen kesempurnaan dalam deteksi dan
pencegahan.
Di
negara-negara maju sekalipun diakui bahwa semahal dan secanggih apa
pun
intelijen elektronik, tak ada satu pun alat teknologi yang dapat
dengan
jitu
membaca setiap saat motivasi perilaku perorangan atau kelompok orang
teroris.
Yang maksimal dapat dilakukan adalah meningkatkan kadar intelijen
manusia
sehingga perilaku perorangan atau kelompok teror dapat terpantau dan
dideteksi
melalui intuisi tajam atas dasar pengalaman matang di lapangan. Hal
ini
terutama
berlaku untuk setiap petugas polisi dan tentara, tetapi juga petugas
kejaksaan,
imigrasi, bea dan cukai, serta aparat lain yang berhubungan dengan
lalu
lintas
darat, laut, dan udara, di dalam dan di luar negeri. Kewaspadaan
harus
dipadu
dengan daya cipta yang tinggi, sebab peristiwa 12 Oktober 2002 di
Bali
termasuk
di luar jangkauan "masuk akal" yang lazim.
Kedua, harus ada keberanian politik agar temuan intelijen secepat
mungkin
menjadi bahan verifikasi hukum agar setiap tindakan menghasut,
menyebar
kebencian, kekerasan, perbuatan menakut-nakuti orang lain apalagi
teror, dapat
ditindak berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kitab Undang-undang
Hukum
Pidana (KUHP) sesung-guhnya cukup banyak mengandung pasal-pasal yang
langsung
dapat dikenakan terhadap setiap orang atau kelompok (agama, suku,
ras,
dan
kedaerahan) yang nyata-nyata melanggar ketertiban umum, termasuk
perbuatan yang
menggunakan kekerasan dan mengganggu kenyamanan masyarakat.
Selama ini, alasan "menunggu payung hukum" berupa undang-undang
antiterorisme
hanya memperkuat dugaan bahwa aparat keamanan, baik Polri maupun TNI,
kurang
memiliki kemauan politik untuk menindak pelaku tindak pidana tanpa
pandang bulu.
Tidak ada jaminan bahwa dengan adanya undang-undang antiteror,
tindakan
polisi
dan TNI akan lebih sigap.
***
TIADANYA penindakan tegas terhadap berbagai laskar, front, atau
majelis
yang
mengatasnamakan Islam selama empat tahun belakangan ini, diduga
bermuatan
perhitungan politis kalangan "Islam mapan" yang berkepentingan dengan
perlunya
dukungan "Islam jalanan" menjelang pemilihan umum tahun 2004.
Para pemimpin "Islam mapan", baik di pemerintah, MPR/DPR, partai
politik,
ataupun perhimpunan lain dinilai kurang tegas menegur para pimpinan
"Islam
jalanan" yang secara nyata melakukan berbagai tindak kekerasan,
perusakan
terhadap usaha hiburan yang dinilainya maksiat, menakut-nakuti warga
lain,
merusak tempat ibadah agama lain, bahkan melakukan perbuatan teror
terhadap
sesama warga Islam sendiri. Ada rasa enggan untuk secara terbuka
menyalahkan
"sesama orang Islam" meski secara pribadi mengutuk sekeras-kerasnya
tindakan
kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan "rakyat kecil".
Oleh karena itu, jikalau para anggota "Islam mapan" merasa tersandera
untuk
tidak menegur, menindak atau meluruskan sesama orang Muslim bahwa
perbuatan
merusak dan menakut-nakuti warga lain adalah justru bertentangan
dengan
ajaran
Islam yang baik dan benar, maka dunia luar akan sulit percaya bahwa
negara
dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini patut menjadi teladan
dalam
menawarkan jalan keluar dari terorisme internasional.
Bagaimana menyanggah citra Indonesia yang ganas dan tidak
berperikemanusiaan
kalau sebagian kecil "Islam jalanan" dibiarkan berkeliaran
menggunakan
tongkat,
parang atau pedang samurai sambil membajak ajaran Islam dengan
menamakan dirinya
sebagai "polisi susila" dan "pembela rakyat kecil"?
Benar bahwa harus ada verifikasi hukum berdasarkan temuan aparat kita
tentang
ada tidaknya perkaitan teror domestik, teror regional di Asia
Tenggara,
dan
teror internasional yang terkait dengan Al Qaeda. Benar bahwa
kedaulatan hukum
harus sebagian besar berada di tangan aparat hukum kita.
Para pemimpin "Islam mapan" telah bersikap benar dalam menekankan
perlunya
pembuktian hukum yang nyata dan jelas dalam upaya membela nama
Indonesia sebagai
negara yang berpenduduk mayoritas Islam bukanlah "sarang teroris
internasional".
Akan tetapi, setiap pemimpin "Islam mapan" di semua lembaga
pemerintahan negara
maupun swasta juga harus berani secara terbuka menyatakan bahwa
premanisme
adalah premanisme, pemalakan adalah pemalakan, dan kriminal adalah
kriminal,
sekalipun memakai kemasan Islam dengan gaya laskar, front, ataupun
majelis.
Sesungguhnya, keberanian untuk bersikap tegas, sambil menyantun dan
mengulurkan
tangan kepada para anggota "Islam pinggiran" ke arah jalan yang
lurus,
yang taat
hukum dan yang bersahabat dengan pemeluk agama lain, adalah langkah
konkret yang
paling ditunggu-tunggu aparat keamanan kita. Langkah demikian pula
yang
ditunggu-tunggu dunia internasional.
Pada akhirnya, melawan terorisme nasional, regional Asia Tenggara,
ataupun
internasional, adalah upaya bersama seluruh bangsa dan khususnya para
pemimpin
Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Merekalah mata, telinga, dan
tangan
intelijen yang sesungguhnya. Melaksa-nakan reformasi ekonomi,
politik,
dan hukum
yang menuju keadilan sosial akan meyakinkan dunia luar bahwa umat
Islam
di
Indonesia, termasuk mereka yang sementara masih terpinggirkan,
sungguh-sungguh
menempuh amanah Islam sebagai "jalan damai".
JUWONO SUDARSONO Guru Besar Universitas Indonesia