[Nusantara] Membangun Agama Berbasis Rakyat

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:02:14 2002


Membangun Agama Berbasis Rakyat
MN Harisudin, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya; Dosen 
STAIN
Jember

AGAMA dengan segenap pesan (message) universalnya, diturunkan tidak 
saja
untuk misi penyelamatan (salvation) manusia, akan tetapi juga pada 
pemberian
solusi-solusi konkret atas pelbagai problematika manusia. Manusia, 
sebagai
makhluk yang selalu berkembang, tentu saja senantiasa dihadapkan pada 
aneka
macam persoalan yang mengitarinya. Mulai persoalan hidup yang paling
mendasar hingga pada persoalan lainnya. Agama, dalam konteks ini 
memiliki
peranan yang sangat besar untuk memberikan tafsir dan arahan hidup 
manusia
menuju jalan yang benar.

Meski demikian, domain utama agama dalam amatan di atas tetap pada 
kisaran
sebagai yang sacred (suci). Modal utama sacred ini selanjutnya 
menegaskan
adanya hierarkisitas untuk menuju yang transenden, menjadikan posisi 
agama
demikian tinggi dan agung. Karena ini pula, wilayah yang 'tak 
terjamah'
dalam agama, sebagai yang irrationable tetap saja dipelihara 
sepanjang 
masa.
Bahkan, penyingkapan atas pelbagai rahasia wilayah ini dipandang 
sebagai
suatu 'aib' yang mesti disingkirkan jauh-jauh.

Bisa dipahami lalu, mengapa agama --dengan segala stereotip atasnya-- 
selalu
dibayangkan dengan sesuatu yang 'elite' dan adiluhur. Agama, dalam 
bayangan
ini, dipersepsikan dengan sejumlah gapaian-gapaian nilai wahyu yang 
abadi.
Karena ini, wajar kalau agama kapan dan di mana pun adanya, selalu 
ditarik
dalam konteks nilai-nilai dasarnya semula. Asumsi yang mendasarinya, 
bahwa
nilai-nilai dasar ini sanggup 'menyelesaikan' seluruh persoalan tanpa
dibatasi ruang dan waktu. Lagi-lagi, unsur kesempurnaan berkelindan 
dengan
yang 'ilahiyah', 'imanen' ataupun yang 'absolut', demi menghadirkan 
kembali
bentuk agama yang senantiasa compatible (harmonis) dengan alur 
perubahan
zaman.

***

Ditilik dari masa awal kemunculannya, agama sesungguhnya mengemban 
misi
besar yang tidak sekadar mendakwahkan pesan teologis berikut
penyimpangan-penyimpangan atasnya. Lebih dari itu, agama berkehendak 
keras
untuk mewujudkan tata-sosial atau dalam bahasa Gramsci, mewujudkan 
'kohesi
sosial' dalam kehidupan praktis bermasyarakat. Selain sebagai pranata 
yang
mampu mewujudkan kemapanan, agama oleh Gramsci juga diandaikan sebagai
generator perubahan, baik dalam bentuknya yang evolusif maupun 
revolusioner.
(Martin: 1975).

Dengan tata nilai yang dibawanya, lamban dan pasti, agama
membentuk --meminjam bahasa Durkheim-- pribadi-pribadi yang punya
solidaritas tinggi antarsesamanya. Karena, agama dalam fungsi ini 
menyatukan
anggota suatu masyarakat melalui deskripsi simbolik umum mengenai 
kedudukan
mereka dalam kosmos, sejarah, dan tujuan mereka dalam keteraturan 
segala
sesuatu. Lebih tepatnya, agama dalam formulasi demikian, merupakan 
sumber
keteraturan sosial dengan inti inspirasi moral.

Kalaupun ada yang lebih jauh, hendak mengorientasikan agama pada upaya
pembebasan, sebagaimana dilakukan di Amerika Latin pada 1980, maka
sesungguhnya tak lebih sebagai terusan (sustainable) dari asumsi-
asumsi 
Karl
Mark mengenai agama. Karl Mark yang sejak awal menolak segala bentuk
eksploitasi, termasuk oleh agama yang dianggap mengamini penindasan, 
adalah
inspirasi penting bagi upaya reformasi kebanyakan umat (Katolik). 
Gerakan
ini pula --dengan suguhan teologi pembebasan-- yang kemudian hari
memunculkan upaya demokratisasi di banyak negara seperti Brasil, 
Argentina,
dan Peru.

Meski demikian, tiga tesis berkenaan dengan agama tetap tidak mengubah
posisi 'elite' agama, mengingat yang digunakan dalam memuat
relasi-relasinya, didasarkan dari atas (top down), bukan dari bawah 
(buttom
up). At least, peran 'minoritas' sangat besar dalam mengarahkan umat, 
sesuai
dengan kepentingan elite, bukan kepentingan mereka sendiri. Sehingga,
mengharapkan agama agar dapat tampil menyapa dengan realitas rakyat 
masih
terlampau dini, untuk tidak mengatakan mustahil.

***

Kiranya, penting menafsir ulang agama untuk dapat didekatkan dengan 
realitas
rakyat. Berbeda dengan beberapa tesis di atas, tafsir ulang ini saya 
sebut
dengan 'membangun agama berbasis rakyat'. Agama berbasis rakyat 
adalah 
agama
yang secara total mengakomodasi segala aneka kepentingan rakyat. 
Paradigma
utama agama berbasis rakyat, bertumpu pada pelayanan atas totalitas
kemanusiaan tanpa kecuali. Agama berbasis rakyat, dengan demikian,
meninggalkan aspek 'ilahiyah', 'imanen' ataupun yang lainnya, yang 
acap 
kali
menghadang realitas sosial.

Juga, agama berbasis rakyat bergerak dengan upaya keras menyapa 
realitas
sosial. Bahkan, realitas sosial mesti didahulukan menjadi fondasi 
dasar
agama berjenis ini. Makanya, pelbagai realitas; buruh, petani, 
nelayan,
gembel, dan para gelandangan atau yang lainnya dipandang sebagai 
dasar 
pokok
bangunan agama berbasis rakyat. Lebih jauh, agama berbasis rakyat 
--tidak
hanya sekadar retorika-- akan tetapi juga benar-benar menghadirkan
solusi-solusi konkret atas kompleksitas pelbagai problematika mereka.

Agama berbasis rakyat tidak serta-merta juga memusnahkan tradisi 
rakyat 
yang
telah berurat-akar menjadi budaya. Pemusnahan atas lokalitas budaya, 
bahkan
dipandang sebagai suatu kegersangan spiritualitas dalam beragama. 
Makanya,
sebisa mungkin tradisi ini disemai benihnya, untuk kemudian 
dikembangbiakkan
dalam agama berbasis rakyat ini. Justru, dengan semaian tradisi yang
beraneka ragam, akan semakin memperkaya dan memperkukuh khazanah agama
berbasis rakyat jenis ini.***