[Nusantara] Pintu Tirani Baru
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:03:59 2002
Pintu Tirani Baru
Teror bom bebar-benar membuat bangsa ini traumatik. Korban yang terus
berjatuhan, teror yang tiada henti, dan ancaman yang terus-menerus
memunculkan berbagai ide baru untuk mengatasinya. Di antaranya
adalah
usul
untuk menghidupkan kembali Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban
(Kopkamtib) serta UU Antisubversi.
Gagasan untuk menghidupkan kembali kedua hal tersebut muncul dari
Mantan
Panglima Kopkamtib Sudomo. Dia mengatakan, Kopkamtib dan UU
Antisubversi
bisa digunakan untuk mengendalikan keamanan yang carut-marut saat
ini.
Dalam
kacamata dia, KUHP belum cukup untuk menjamin keamanan negeri ini.
Bahwa teror bom telah menakutkan kita semua, barangkali tidak ada
yang
menolak. Bahwa bom Bali yang menewaskan ratusan orang membuat
Indonesia
terisolasi dari dunia internasional, itu tak bisa diingkari. Bahwa
teror
mengganggu jalannya roda pemerintahan saat ini, itu juga tak bisa
dipungkiri.
Tapi, apakah karena itu kita harus menghidupkan Kopkamtib dan UU
Antisubversi? Ini yang harus kita lihat dengan jernih. Betapapun,
kedua
alat
tersebut telah membuat trauma bagi para aktivis demokrasi di negeri
ini.
Banyak anak negeri ini menjadi korban ketika keduanya diberlakukan
saat
Soeharto berkuasa.
Masih ingat dalam benak kita semua, Kopkamtib begitu menakutkan.
Sebab,
mereka bisa melakukan penangkapan setiap saat tanpa pengadilan.
Cukup
dengan
tuduhan subversi. Dengan institusi dan UU tersebut, kebebasan
berpendapat,
kebebasan berserikat, dan segala bentuk pilar demokrasi menjadi
samar-samar.
Tidak jelas mana yang boleh dan mana yang tidak.
Pemerintahan Soeharto yang otoriter belum lama berlalu. Bahkan,
sejumlah
orang yang menjadi korbannya sampai kini barangkali belum bisa
melupakannya,
apalagi para keluarga korban kekerasan politik akibat pendekatan yang
otoriter pada pemerintahan lalu. Perjuangan reformasi 1998 telah
memberikan
harapan baru.
Selain otoritarianisme, ada sentralisme yang mencekam bangsa ini di
masa
itu. Sentralisme akhirnya dipecahkan lewat pembentukan UU 22 Tahun
1999
tentang Otonomi Daerah. Kewenangan akhirnya didistribusikan ke
pemerintahan
kabupaten dan kota. Soal ini, semangatnya sudah berjalan. Hanya,
pelaksanaannya belum sempurna.
Sementara itu, otoritarianisme baru diselesaikan dengan mengganti
pemerintahan yang baru. Namun, perangkat untuk menjaga tidak
munculnya
kembali semangat itu belum ada. Diperlukan UU Pemilu serta UU Parpol
yang
baru dan demokratis untuk mendukung semangat demokratisasi di era
baru
pasca-Soeharto tersebut.
Pemerintahan baru -meski beberapa kali telah berganti- belum begitu
lama
berdiri. Namun, kalau kemudian pemerintahan yang dihasilkan oleh
perjuangan
untuk mendapatkan era demokratisasi itu diganggu dengan gagasan-
gagasan
nondemokratis, rasanya kita telah menyia-nyiakan perjuangan yang
telah
dicapai.
Yang dibutuhkan untuk mengatasi teror sekarang bukanlah Kopkamtib
atau
UU
Antisubversi. Tapi, lebih pada disiplin manajemen dari masing-masing
elemen
penjaga keamanan. Baik TNI, polisi, maupun aparat pemerintahan pada
umumnya.
Yang dibutuhkan bukan UU baru, tapi komitmen semua pihak untuk taat
pada
hukum dan aturan. Dalam konteks ini, rasanya kita tidak perlu
membuka
pintu
tirani baru dengan berpikir menghidupkan Kopkamtib maupun UU
Antisubversi.