[Nusantara] ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:04:21 2002


ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
DITINJAU DARI SUDUT FILSAFAT
Oleh: Dr. Darsono Prawironegoro
Sarjana Filsafat dari Universitas Indonesia



1. Pendahuluan
        Filsafat adalah berpikir mendalam mencari sebab-sebab yang 
paling dalam atas suatu kejadian, peristiwa, atau suatu keberadaan. 
Ia selalu mencari saling hubungan, mempertanyakan, dan meragukan 
setiap kejadian, peristiwa, dan suatu keberadaan, sehingga ia selalu 
berusaha memberi jawaban dan menjelaskannya secara rasional. 
Filsafat menjelaskan tentang: (1) hubungan sebab dengan akibat, (2) 
hubungan bentuk dengan isi, (3) hubungan gejala dengan hakikat, (4) 
hubungan kebetulan dengan keharusan, dan (5) hubungan kekhususan 
dengan keumuman, atau logika induktif dengan logika deduktif. Di 
dunia ini yang memiliki kebebasan adalah hanya berpikir, karena 
berpikir tidak memiliki dampak apa-apa dalam kehidupan praktis, asal 
pikiran itu tidak dipublikasikan dan tidak ditindaklanjuti dengan 
perbuatan. Hanya perbuatan saja yang bisa mengubah dunia ini; 
pikiran tanpa perbuatan tidak ada artinya apa-apa, atau ide tanpa 
aksi hanyalah suatu utopia. Dalam filsafat otak adalah "dewa" karena 
otak mampu berpikir membimbing dan mengarahkan manusia untuk 
bertindak rasional untuk mencapai tujuannya.
        Dalam hidup ini, manusia mempunyai tujuan hidup berdasar 
status sosialnya: (1) jika ia berstatus sosial rakyat jelata, maka 
tujuan hidupnya adalah mencari atau menciptakan kerja untuk memenuhi 
kebutuhan makan,  pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan;  
(2) jika ia berstatus sosial  pengusaha atau pedagang, maka tujuan 
hidupnya adalah mencari laba, (3) jika ia berstatus sosial 
rohaniawan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebaikan di dunia 
dan di akhirat, (4) jika ia berstatus sosial ilmuwan, maka tujuan 
hidupnya adalah mencari kebenaran ilmu, dan (5) jika ia berstatus 
sosial politikus, maka tujuan hidupnya adalah mencari kemenangan dan 
kekuasaan. 
        Peristiwa 30 September 1965 (G/30S) adalah peristiwanya 
orang-orang yang berstatus sosial politik, jadi tujuannya adalah 
kemenangan dan kekuasaan. Ada pihak yang kalah, ada pihak yang 
menang, dan ada pihak yang dikorbankan. Yang menang dan kalah adalah 
pihak yang berstatus sosial politik, dan pihak yang dikorbankan 
adalah rakyat jelata, karena rakyat jelata adalah pihak yang dikuasi 
oleh penguasa politik.  
        Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G/30S/1965) merupakan 
peristiwa yang memakan korban ribuan orang, terutama adalah rakyat 
jelata,  orang-orang desa-kota yang tidak berdosa, artinya tidak 
mengerti tentang gerakan pada tanggal 30 September 1965. Rezim 
Soeharto (orde baru) menuduh bahwa gerakan tersebut dilakukan oleh 
Partai Komunis Indonesia (PKI), maka orang-orang yang dituduh 
anggota PKI atau simpatisannya ditangkap untuk dipenjara dan 
dibunuh. Banyak orang-orang desa-kota rakyat jelata yang menjadi 
korban, bukan karena mereka itu anggota PKI atau simpatisan PKI 
melainkan karena "dendam" pribadi atau "dendam sosial" yang 
diakibatkan oleh konflik pribadi atau konflik sosial.
        Setelah Soeharto turun tahta pada tahun 23 Maret 1998, 
banyak kaum cendekiawan yang mengadakan analisis tentang peristiwa 
tersebut di atas. Saya Darsono Prawironegoro yang pada waktu 
kejadian berumur 17 tahun, ingin memberi sumbangan pemikiran tentang 
kejadian tersebut berdasarkan analisis kritis secara filsafat, 
melalui penelitian kepustakaan.

2. Hubungan Soeharto dan Latief
        Soeharto pada waktu itu adalah seorang Mayor Jenderal, 
komandan KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), di bawah Menteri 
Panglima Angkatan Darat yang dijabat Letnan Jenderal Achmad Yani. 
Latief pada waktu itu adalah seorang Kolonel Angkatan Darat pimpinan 
gerakan 30 September 1965. Hubungan Soeharto dengan Latief dapat 
diklasifikan dua macam yaitu: (1) hubungan pribadi, yaitu bahwa 
Latief adalah teman akrab Soeharto karena sejak tahun 1945 bersama-
sama berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia; pada Serangan Umum 
tanggal satu Maret 1947, Latief adalah anak buah Soeharto; pada 
waktu Soeharto pindah ke Jakarta, Latief menyediakan perumahan bagi 
beliau; hubungan sahabat ini terjalin erat sampai peristiwa 
tersebut, (2) hubungan kedinasan militer, yaitu bahwa Latief seorang 
Kolonel Angkatan Darat dan Soeharto seorang Mayor Jenderal Angkatan 
Darat; sama-sama perwira Angkatan Darat.
        Pada tangal 28 September 1965, Latief datang ke rumah 
Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta, dengan maksud menanyakan 
informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup 
terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1965. Soeharto 
mengatakan bahwa ia telah menerima informasi dari Soebagio 
Yogyakarta tentang hal itu sehari sebelumnya.   Soeharto menanggapi 
bahwa akan diadakan penyelidikan. Hubungan pribadi yang sangat baik 
itu, Latif berkesimpulan bahwa Soeharta adalah orang yang loyal 
terhadap Bung Karno dan Bung Karno mempercayai Soeharto, yaitu 
dengan mengangkat sebagai Panglima Mandala dan Panglima Konstrad.
        Pada tanggal 30 September 1965, jam 21.00 WIB, atau jam 9 
malam, Latief datang ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto 
Jakarta, memberitahu kepada Soeharto bahwa pada dini hari tanggal 1 
Oktober 1965 akan diadakan operasi atau gerakan menggagalkan rencana 
kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno. Pada waktu itu 
Soeharta sedang menunggu anaknya (Tomy Soeharta) yang sedang sakit 
di rumah sakit tersebut. Alasan Latief datang menemui Soeharto 
adalah meminta bantuan militer, dan tindakan ini sudah disetujui 
oleh Brigadir Jenderal Soepardjo dan Letnan Kolonel Untung (keduanya 
adalah anggota pimpinan Gerakan 30 September 1965). Menurut Latief, 
jika G/30S/1965 berhasil, Soeharto diharapkan menjadi pembantu setia 
Bung Karno, tetapi situasi berubah cepat, Soeharto tidak setia 
kepada Bung Karno dan tidak mendukung G/30S, melainkan melawan dan  
menghancurkannya. Tindakan Latief ini didasarkan pada instuisi 
persahabatan, bahwa ia dipercaya oleh Soeharto sahabat karibnya. 
Secara politik, sebagai pimpinan gerakan, tindakan Latief tersebut 
adalah merupakan "pengkianatan", karena ia mencampuradukkan urusan 
pribadi dengan urusan politik. Sebagai pimpinan gerakan, seharusnya 
Latief tidak melakukan hal itu; itu menunjukkan bahwa mental politik 
Latief tidak mewakili kepentingan kelasnya.
        Menurut Soengkowo, mantan Perwira Polisi Militer, salah 
seorang pelaku G/30S/1965, menjelaskan bahwa pada waktu Latief 
diadili di Mahmilub selalu melibatkan Soeharto, bahwa Soeharto 
mengetahui gerakan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung 
Soeharto terlibat di dalamnya. Apa yang disampaikan Latief itu 
adalah suatu siasat bahwa ia adalah bukan orangnya Soeharto dan 
supaya tidak dinilai negatif (atau supaya tidak dikutuk) oleh kawan-
kawannya di G/30S/1965.  Pada waktu Soengkowo dan Untung di tahan di 
Rumah Tahanan Salemba Blok N, Soekowo bertanya kepada Untung, 
mengapa Soeharto tidak ikut ditangkap?. Untung menjelaskan bahwa 
dalam Sentral Komando atau Senko terjadi perbedaan pendapat tentang 
Soeharto; ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah pro-G/30S/1965 
dan loyal kepada Bung Karno, dan ada yang berpendapat bahwa Soeharto 
adalah kontra gerakan G/30S/1965. Yang berpendapat bahwa Soeharto 
adalah loyal terhadap Bung Karno dan pro dengan G/30S/1965 adalah 
Latief dan Syam Kamaruzaman (pimpinan Biro Khusus PKI), sedangkan 
yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra G/30S/1965 adalah saya 
sendiri (Untung) dan Mayor Udara Soeyono; agar supaya gerakan 
sukses, menurut Untung, ia dan Soeyono mengalah tidak menangkap 
Soeharto, walaupun Soeharto juga anggota Dewan Jenderal. Ternyata 
Soeharto adalah Jenderal yang melawan Bung Karno, ia merebut 
kekuasaan Bung Karno melaui Surat Perintah 11 Maret 1966 
(Supersemar). Berdasarkan kenyataan yang demikian ini, Latief harus 
bertanggungjawab kepada kawan-kawannya korban rezim Soeharto, karena 
seandainya Latief tidak memberitahu Soeharto pada tanggal 30 
September 1965 jam 9 malam di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot 
Soebroto, kemungkinan kondisi Republik Indonesia tidak seperti 
sekarang ini,  yaitu : (1) rakyat tidak berdosa yang berjumlah kira-
kira 2 juta orang dibunuh oleh rezim Soeharto, (2) terjadi 
kebrobokan moral sebagian birokrat dan rakyat, (3) Indonesia 
terperangkap utang luar negeri US$ 140 milyar atau Rp 1.400 trilyun 
jika kurs Rp 10.000 per US$1 saat ini, tergantung pada 
Internationale Monetary Fund atau IMF dan negara-negara G-7 Kanada, 
AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggri, dan (4) Indonesia 
dijajah kembali oleh bangsa-bangsa  asing, kita menjadi kulinya 
bangsa-bangsa..

3. Ketrampilan Soeharto
        Kita harus mengakui bahwa Soeharto adalah Jenderal yang 
memiliki luar biasa dalam mengatur strategi militer dan politik. 
Pada tahun 1948 ia pernah diperintahkan oleh Bapak Jenderal Besar 
Soedirman untuk meneliti dan menyelesaikan Peristiwa Madiun dan 
berhasil dengan baik, PKI dapat dihancurkan. Pada Peristiwa 3 Juli 
1946, ia mampu menyerahkan pelaku-pelaku kup kepada pemerintah, ia 
tampil sebagai pahlawan. Dan dalam peristiwa 30 September 1965, ia 
keluar sebagai pemenang dan sekaligus bekuasa sampai dengan 1998. 
Itu menunjukkan bahwa Soeharto memiliki keberanian dan ketrampilan 
yang luar biasa.
        Pada tanggal 30 September 1965, Soeharto menerima informasi 
dari Latief bahwa Latief dan kawan-kawanya akan menangkap Achmad 
Yani dan kawan-kawannya (Dewan Jenderal). Seharusnya Soeharto 
bertindak untuk menyelamatkan Yani dan kawan-kawannya, karena Yani 
adalah Panglima Angkatan Darat, dan kawan-kawannya adalah satu 
kesatuan Angkatan Darat. Latief dan kawan-kawannya pada malam itu 
juga bisa ditangkap dan praktis malam itu juga gerakan 30 September 
1965 dapat digagalkan, mengingat bahwa saat itu Soeharto sebagai 
Panglima Kostrad yang memiliki pasukan siap tempur. Soeharto 
nampaknya menghendaki Yani dan kawan-kawannya terbunuh, mungkin ini 
disebabkan oleh persaingan dikalangan Jenderal Angkatan Darat, 
mungkin "dendam", mungkin menghendaki jabatan Panglima Angkatan 
Darat, karena ada konsesus bahwa jika Panglima Angkatan Darat 
berhalangan, maka langsung diganti oleh Panglima Kostrad. Soeharto  
membiarkan G/30S/1965 beraksi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 
dengan membunuh Yani dan kawan-kawannya, atau mungkin ia merestui 
gerakan tersebut, karena itu merupakan jalan untuk menjadikan 
dirinya orang nomor satu di Angkatan Darat.
        Dalam situasi yang gawat itu, Soeharto berdiri di atas "dua 
perahu", kaki kiri berdiri pada barisan G/30S, sehingga G/30S tidak 
memusuhinya, dan  kaki kanan berdiri di barisan Dewan Jenderal, jika 
Yani dkk tidak bisa dibunuh oleh G/30S, maka ia bersama Yani dkk 
akan menghancurkan G/30S.. Melihat G/30S telah membunuh Yani dan 
kawan-kawannya (Dewan Jenderal), Soeharto cepat mengambil langkah 
yaitu menumpas G/30S. Hal itu dilakukan karena basis kekuatan Bung 
Karno adalah Yani dkk, G/30S, dan PKI. Agar dapat membunuh PKI maka 
G/30S dikaitkan dengan PKI menjadi G/30S/PKI. Setelah G/30S 
dihancurkan, Soeharto menghancurkan PKI. Dengan demikian kekuatan 
Bung Karno sudah punah. Jalan menuju ke RI Satu sudah terbuka lebar. 
Proses selanjutnya adalah merekaya secara hukum agar bisa menjadi 
presiden secara konstitusional.
        Pada tanggal  satu Oktober 1965, jam 6 pagi, Soeharto pergi 
ke Kostrad setelah menerima informasi dari tetangganya Mashuri (yang 
kemudian diangkat menjadi Menteri Penerangan dalam kabinetnya). Ia 
mengendarai sendiri mobil Toyotanya tanpa pengawal. Ini menunjukkan 
bahwa ia memang Jenderal yang gagah berani, atau mungkin ia sudah 
bekerja sama dengan G/30S/1965, sehingga ia tidak takut dengan 
pasukan G/30S/1965 yang telah mengepung daerah itu.

4. Keputusan Yang "Hebat"
        Pagi hari tanggal satu Oktober 1965, Presiden Soekarno 
mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai  pejabat 
sementara (caretaker) Panglima Angkatan Darat. Namun pada pagi hari 
itu juga, tanggal satu Oktober 1965 Soeharto mengambil keputusan 
yang "Maha Hebat" yaitu mengangkat dirinya sebagai Panglima Angkatan 
Darat tanpa persetujuan Bung Karno Presiden Republik Indonesia. 
Jabatan panglima suatu angkatan perang adalah hak prerogatif 
presiden, karena jabatan tersebut adalah jabatan politik. 
        Pada siang hari tanggal satu Oktober 1965, Bambang 
Widjanarko ajudan presiden diperintahkan oleh Presiden Soekarno 
untuk menemui Pranoto Reksosamudro di Kostrad, agar Pranoto 
menghadap Presiden di Halim Perdanakusumah. Widjanarko tidak 
berhasil bertemu Pranoto, ia bertemu Soeharto, dan Soeharto memberi 
petunjuk kepada Presiden Soekarno sebagai berikut: (1) Mayjen 
Pranoto Reksosamudro dan Mayjen Umar Wirahadikusumah tidak dapat 
menghadap Presiden Soekarno di Halim agar tidak menambah korban; 
artinya Soeharto tidak rela kedua Jenderal itu dibunuh di Halim oleh 
G/30S/1965 seperti Yani dan kawan-kawannya; petunjuk tersebut 
mengandung arti bahwa dibunuhnya Yani dan kawan-kawan subuh dinihari 
satu Oktober 1965 adalah atas perintah Soekarno, (2) Mayjen Soeharto 
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat berdasar perintah harian 
Panglima Angkatan Darat yang menyebutkan bahwa jika Panglima 
Angkatan Darat berhalangan, maka Panglima Kostrad akan menggantinya; 
ini menunjukkan bahwa Soeharto menempatkan perintah harian Panglima 
Angkatan Darat lebih tinggi daripada Hak Prerogatif Presiden, (3) 
Perintah harian Presiden Soekarno diharapkan disampaikan kepada 
Mayjen Soeharto, ini berarti Soeharto mendikte Presiden Soekarno, 
(4) Presiden Soekarno harus meninggalkan Halim, karena pasukan 
Kostrad akan membersihkan G/30S/1965 di Halim.
        Berdasarkan petunjuk Soeharto kepada Presiden Soekarno di 
atas, menunjukkan bahwa pada tanggal Satu Oktober 1965, Soeharto 
secara nyata telah menguasai Republik Indonesia. Secara hukum akan 
diproses lebih lanjut. Inilah tesis sulit disangkal secara ilmiah 
bahwa "keadaan menentukan kesadaran", artinya kuasai dulu keadaan 
sosial, baru kemudian dibentuk kesadaran sosial. Mengubah keadaan 
sosial harus menggunakan tindakan dan keberanian. Di 
sini "kehebatan" Soeharto, berani bertindak mengubah keadaan atau 
berani mengambil alih kekuasaan politik Soekarno. 

5. Teknik Soeharto Berkuasa
        Frans Seda mantan anggota kabinet Bung Karno (Tempo, 15 
Maret 1986) menjelaskan bahwa teknik Soeharto berkuasa adalah 
membuat panik sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka 
yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Soeharto menggerakkan 
mahasiwa untuk berdemontrasi ke Istana Merdeka yang dikawal oleh 
pasukan khusus tanpa seragam. Soeharto sendiri tidak hadir dalam 
sidang tersebut dengan alasan sakit. Sidang kacau, Bung Karno 
meninggalkan sidang untuk menuju ke Istana Bogor, kemudian sidang 
bubar dengan penuh kepanikan.
        Sarwo Eddie (Tempo, 15 Maret 1986)  menjelaskan bahwa 
pasukan RPKAD tanpa tanda pengenal kesatuan dan membawa senjata 
mengawal mahasiswa berdemontrasi. Kemal Idris (Tempo, 15 Maret 1986) 
menjelaskan bahwa pasukan "liar" itu berada di sekitar Istana 
Merdeka beberapa hari sebelum tanggal 11 Maret 1966. Itu menunjukkan 
bahwa Soeharto adalah seorang ahli strategi yang baik, ia 
menggunakan  mahasiswa dan tentara untuk merebut kekuasaan politik; 
ia memahami bahwa hanya kekuatan tentara saja tidak cukup kuat untuk 
merebut kekuasaan.  
        Setelah Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke 
Istana Bogor, Soeharto memerintahkan tiga Jenderal yaitu Jenderal 
Andi Yusuf, Jenderal Basuki Rachmad, dan Jenderal Amir Mahmud ke 
Istana Bogor untuk menghadap Bung Karno, tujuannya adalah agar Bung 
Karno memberi surat perintah untuk pengamanan. Bung karno memberikan 
surat perintah pengamanan pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikenal 
dengan sebutan "Supersemar". Dengan surat pengamanan tersebut, 
Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966. Surat perintah 
pengamanan itu ditafsirkan oleh Soeharto sebagi "Pelimpahan 
Kekuasaan". Dengan dibubarkannya PKI maka kekuatan politik pendukung 
Bung Karno relatif sudah habis. Setelah tanggal 12 Maret 1966, 
hakikatnya Bung Karno adalah "Sebatang Kara" dalam kehidupan 
politik, hal ini adalah akibat kurang tepatnya Bung Karno mengambil 
keputusan pada tanggal Satu Oktober 1965. Jika pada tanggal tersebut 
Bung Karno mengambil keputusan menghadapkan G/30S dengan pasukan 
Soeharto, keadaannya mungkin tidak seperti sekarang ini.
        Secara hukum, Bung Karno setelah 11 Maret 1966 masih 
menjabat presiden, tetapi tanpa pasukan, karena sebagian besar 
angkatan perang telah dikuasai Soeharto. Pada tanggal 17 Agustus 
1966, dalam pidato kenegaraan, Bung Karno mengatakan bahwa surat 
perintah 11 Maret 1966 itu bukan pelimpahan kekuasaan. Surat 
perintah itu hanyalah suatu perintah pengamanan, yaitu perintah 
pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan keselamatan Bung Karno, 
dan pengamanan ajaran Bung Karno. Hanafi menjelaskan bahwa Bung 
Karno tidak mengakui pembubaran PKI dengan menggunakan "Supersemar". 
Bung Karno pada tanggal 13 Maret 1966 memerintahkan Leimena Wakil 
Perdana Menteri dan Brigadir Jenderal KKO Hartono mendatangi 
Soeharto ke rumahnya dengan membawa surat yang isisnya mengkoreksi 
tindakan Soeharto membubarkan PKI. Setelah membaca surat Bung Karno, 
Soeharto mengatakan bahwa: "Sampaikan Kepada Bapak Presiden, semua 
yang saya lakukan atas tanggung jawab saya sendiri".  Ucapan 
Soeharto yang demikian itu dapat ditafsirkan sebagai kudeta, artinya 
ia telah melawan Bung Karno yang pada waktu itu secara hukum masih 
sebagai Presiden Republik Indonesia. Seharusnya Bung Karno setelah 
mendapat laporan dari Leimena dan Hartono harus mengambil sikap 
yaitu menonaktifkan Soeharto sebagi Panglima Angkatan Darat. Dalam 
hal ini nampaknya Bung Karno bimbang ragu mengambil sikap, sehingga 
mengorbankan dirinya sendiri. Sikap bimbang ragu adalah awal dari 
kehancuran diri.
        Wiratmo Sukito menjelaskan bahwa setelah Bung Karno 
mendengar jawaban Soeharto, pada tanggal 16 Maret 1966 melalui Wakil 
Perdana Menteri Chairul Saleh dan Wakil Perdana Menteri Ruslan Abdul 
Gani mengeluarkan pengumuman bahwa pembubaran PKI adalah tidak syah. 
Berdasarkan penjelasan tersebut secara hukum pembubaran PKI yang 
dilakukan oleh Soeharto adalah batal demi hukum, karena keputusan 
Presiden lebih tinggi daripada keputusan pemegang Supersemar. Namun 
perlu diingat bahwa dalam kondisi sosial yang gawat, hukum relatif 
tidak berlaku, yang berlaku adalah kekuatan senjata. Saat itu 
kekuatan senjata berada di tangan Soeharto. Dalam hal ini Soeharto 
lebih berani mengambil risiko daripada Bung Karno. Barang siapa yang 
berani mengambil risiko tinggi, akan memperoleh hasil tinggi pula.
        Keberanian Soeharto itu diwujudkan lebih lanjut dalam 
tindakannya yaitu menangkap dan memenjarakan 15 menteri termasuk 
Soebandrio Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang sangat 
termasyur itu. Kemudian menangkap dan memenjarakan 136 anggota 
DPRGR/MPRS, diganti oleh orang-orang dari Kesatuan Aksi Mahasiswa 
(KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Soeharto 
dengan kekuatan senjata dapat melakukan hal itu semuanya, walaupun 
ia bukan seorang presiden; ia mampu mendirikan DPRGR/MPRS baru yang 
diisi oleh orang-orangnya dan diketuai oleh Nasution, yang nantinya 
akan mengesahkan dia secara hukum sebagai Presiden Republik 
Indonesia Kedua. Dengan demikian proses kekuasaan harus dimulai dari 
proses kekuatan senjata baru kemudian proses kekuatan hukum. 
Kekuatan senjata merupakan materi dan hukum merupakan ide, materi 
menentukan ide, atau keadaan menentukan kesadaran. 
        Nampaknya Soeharto memiliki pengalaman dan pengetahuan yang 
memadai bahwa kekuasaan politik harus dibangun dari kekuatan 
senjata. Pengalaman dan pengetahuan itu diperoleh dari ketika 
Soeharto menjadi Tentara Belanda, Tentara Jepang, dan Tentara 
Republik Indonesia, di mana Belanda dan Jepang dapat menguasai 
Nusantara dengan kekuatan senjata, dan Indonesia Merdeka juga dengan 
kekuatan senjata (Revoulsi 17 Agustus 1945). Sekali senjata diangkat 
jangan dilepaskan agar tujuan politik dapat tercapai, pemikiran ini 
diyakini Soeharto sebagai kebenaran universal dalam merebut 
kekuasaan, tetapi tidak diyakini oleh G/30S/1965 sehingga mereka 
mudah dikalahkan oleh Soeharto. Di samping itu sejarah membuktikan 
bahwa ketrampilan berpikir (kepandaian) Soekarno yang tinggi 
dikalahkan oleh keberanian bertindak Soeharto. Pandai tidak berani 
tidak menghasilkan sesuatu, tetapi berani walaupun kurang pandai 
bisa menghasilkan sesuatu. Orang yang pandai dan berani pada umumnya 
sukses mencapai sesuatu yang direncanakan. Pengalaman Soeharto 
merebut kekuasaan Soekarno dapat dijadikan diskusi filsafat dan 
diskusi keilmuan lebih lanjut.

5. Peranan Nasution
        Sumbangan besar Nasution terhadap Soeharto ialah membawa 
Supersemar ke dalam Sidang Umum MPRS pada tangal 21 Juni 1966 tanpa 
sepengetahuan Presiden Soekarno. Dalam sidang itu dikeluarkan 
Ketetapan MPRS No. IX 1966 tentang Supersemar. Dengan demikian sulit 
bagi Presiden Soekarno untuk mencabut kembali Supersemar. Kemudian 
MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No XXV 1966 
tanggal 5 Juli 1966 tentang PKI sebagai partai terlarang dan 
melarang menyebarkan Marxisme-Leninisme atau Komunisme di Indonesia.
        Ketetapan MPRS No. XXV 1966 itu hakikatnya adalah 
bertentangan dengan UUD 1945 dan Panca Sila. Dalam UUD 1945 pasal 27 
dan 28 menyebutkan bahwa semua warga negara hak sama di depan hukum 
(pasal 27), semua warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat dan 
berkumpul, bebas mengeluarkan pikiran secara tertulis dan lesan 
tanpa mempersoalkan paham politik atau ideologi yang dianutnya 
(pasal 28). Dalam Panca Sila, seperti yang diucapkan oleh Bung Karno 
dalam lahirnya Panca Sila bahwa Negara Republik Indonesia ini 
didirikan bukan buat satu golongan, tetapi semua buat semua. Undang-
undang, hukum, ketetapan, peraturan, dan sejenisnya sebagai ide atau 
bangunan atas suatu masyarakat sangat tergantung pada alat pelaksana 
ide yaitu kekuasaan politik. Berlakunya Undang-undang dan sejenisnya 
sangat tergantung pada kekuasaan politik. Penguasa politik hanya 
peduli pada undang-undang dan sejenisnya yang menguntungkan dirinya. 
Soeharto nampaknya mengetahui dan memahami benar pemikiran tersebut, 
maka ia membuat undang-undang, hukum, dan sejenisnya untuk 
melindungi kepentingan politiknya.
        Tap MPRS No. IX/1966 dan Tap MPRS No.XXV/1966 adalah langkah 
awal secara hukum untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno. Untuk 
mempercepat dalam mengambil alih  kekuasaan Soekarno, Soeharto-
Nasution mendesak DPRGR mengusulkan Sidang Umum Istimewa MPRS dengan 
alasan bahwa Presiden Soekarno melanggar GBHN karena tidak bersedia 
membubarkan PKI. GBHN yang berlaku pada waktu itu adalah GBHN 
Manipol yang berbasis pada NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), 
membubarkan PKI berarti bertentangan dengan GBHN Manipol.
        Usul DPRGR untuk mengelar Sidang Istimewa tersebut disetujui 
oleh MPRS Soeharto-Nasution, dan diselenggarakan SI MPRS pada 
tanggal 7 Maret 1967 sampai dengan 12 Maret 1967. Soeharto-Nasution 
menyadari bahwa MPRS hasil Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 
tidak dapat mengganti presiden. Menurut pidato kenegaraan Presiden 
Soekarno 10 November 1960, MPRS tidak berwenang merubah UUD 1945, 
dan memililh presiden dan wakil presiden. Tetapi Nasution kurang 
menaruh perhatian tentang hal itu, ia mengatakan bahwa MPRS sekarang 
ini adalah hasil pemilihan umum masa lalu, jadi syah untuk merubah 
UUD 1945, dan mengangkat presiden dan wakil presiden, dan merupakan 
satu-satunya kekuasaan negara yang tidak terbatas. Berdasarkan 
pemikiran yang demikian ini MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan 
Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan 
pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, dan Ketetapan MPRS No. 
XXXVI/1967 tentang melarang Ajaran Soekarno.
        Dengan dua Tap MPRS Soeharto-Nasution tersebut, Bung Karno 
menghakhiri kekuasaannya. Soeharto berhasil merebut kekuasaan secara 
hukum berdasar Supersemar dan Tap MPRS. Soeharto berhutang budi 
besar kepada Nasution, sebab peranan Nasution sebagai ketua MPRS 
sangat besar dalam melahirkan Tap MPRS No. XXXIII dan XXXVI/1967.
 
6.  PKI Tidak Terlibat Gerakan 30 September 1965
        Latief adalah pelaku kunci G/30S menjelaskan di depan 
wartawan Tempo tanggal 16 April 2000 bahwa ide menghadapkan para 
Jenderal (Yani dkk) adalah dari inisiatif kami (Latief, Untung, 
Soepardjo, dan Soeyono), bukan ide dari PKI; tidak benar kami 
diperintah PKI; jika ada informasi bahwa kami diperintah PKI itu 
adalah informasi yang dibuat Soeharto untuk menutupi tindakannya. 
Pendapat Latief itu dapat diterima oleh akal sehat, karena program 
Partai Komunis  untuk berkuasa pada umumnya adalah revolusi seperti 
yang dilakukan di Rusia, China, Cuba, dll., bukan melalui kup. 
Khusus di Indonesia, program PKI adalah mencapai demokrasi rakyat 
melalui jalan demokratis dan parlementer seperti yang ditetapkan 
pada Kongres Nasionak Ke V tahun 1954. Di samping itu kecil sekali 
kemungkinannya PKI kup terhadap Presiden Soekarno, karena Presiden 
Soekarno menjamin hak hidup PKI dengan konsep NASAKOM.
        Di sisi lain, Brijen Soepardjo pada tanggal Satu Oktober 
siang 1965 setelah melakukan gerakan melapor kepada Presiden 
Soekarno, dan pada waktu itu juga Presiden Soekarno memerintahkan 
Soepardjo untuk menghentikan G/30S. Itu menunjukkan bahwa PKI 
sebagai organisasi tidak terlibat G/30S. Jika PKI secara organisasi 
terlibat, maka: (1)  Soepardjo seharusnya melapor kepada Aidit 
sebagai Ketua Comite Central PKI, (2) Nyoto dan Lukman sebagai 
anggota politbiro CC PKI tentu ditangkap sejak menghadiri sidang 
kabinet 6 Oktober 1965, (3) PKI mengerahkan anggota dan massanya 
untuk melawan pemerintahan Soekarno. Kenyataannya pada waktu itu 
justru Soepardjo melapor kepada Presiden Soekarno, Nyoto dan Lukman 
tidak ditangkap pada waktu menghadiri sidang kabinet tanggal 6 
Oktober 1965, dan PKI tidak menggerakkan anggota dan massanya untuk 
melawan pemerintahan Soekarno. 
        Aidit dan Syam Kamaruzaman secara pribadi mungkin terlibat 
G/30S, karena kedua orang itu mempunyai hubungan erat dengan para 
militer yang terlibat dalam G/30S. Syam sebagai biro khusus yang 
mempunyai tugas membina tentara hanya bertanggung jawab kepada Aidit 
pimpinan polit biro CC PKI. Mungkin di antara tentara yang terlibat 
G/30S itu ada yang dibina oleh Syam. Tetapi itu tidak berarti bahwa 
PKI sebagai organisasi terlibat G/30S. Soeharto melibatkan PKI 
sebagai organisasi dengan G/30S hakikatnya adalah untuk 
menghancurkan PKI karena PKI merupakan kekuatan politik pendukung 
Bung Karno. Seperti dijelaskan di atas kekuatan Bung Karno adalah 
Jenderal Achmad Yani dkk dari Angkatan Darat, para pelaku Gerakan 30 
September 1965, dan PKI.
        Presiden Soekarno tidak pernah berpikir dan merasa 
dikhianati PKI. Itu dapat dilihat dari pernyataan beliau pada 
tanggal 21 Oktober 1965 bahwa Gestoknya (Gerakan Satu Oktober 1965) 
harus kita hantam, tetapi komunismenya tidak, karena ajaran komunis 
itu adalah hasil obyektif dalam masyarakat Indonesia, seperti halnya 
nasionalisme, dan agama. Itu menunjukkan bahwa Bung Karno 
menempatkan dirinya sebagai negarawan besar, berpandangan obyektif, 
berpikir jernih, dan mengutamakan persatuan bangsa. Beliau 
mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa paham atau isme 
itu tidak bisa dibunuh, walaupun orangnya dibunuh.

7. Ketakutan  Soeharto
        Salah satu ketakutan Soeharto dalam hidupnya adalah kalau 
rakyat Indonesia mengetahui apa yang dibicarakan dengan Latief pada 
tanggal 30 September 1965 pada jam 9 malam di rumah sakit Angkatan 
Darat Gatot Soebroto Jakarta. Sampai sekarang ini pembicaraan kedua 
insan tersebut masih diliputi kabut rahasia. Seperti dijelaskan di 
atas bahwa dalam pertemuan itu, Latief memberi tahu Soeharto bahwa 
nanti subuh dini hari akan dilakukan gerakan militer terhadap 
Jenderal Achmad Yani dkk. Soeharto sebagai bawahan Yani seharusnya 
menangkap Latief pada waktu itu, tetapi tidak dilakukan. Itu 
menunjukkan bahwa kemungkinan Soeharto menghendaki Yani dkk 
mengakhiri hidupnya.
        Untuk menutupi kabut rahasia pertemuan di atas, Soeharto 
membuat berbagai pernyataan antara lain sebagai berikut:
1.      Kepada Arnold Brackman, Soeharto mengatakan bahwa pada 
tanggal 30 September 1965 malam hari banyak kawan-kawannya yang 
menjenguk anaknya yang  sedang dirawat di rumah sakit Gatot Soebroto 
Jakarta, termasuk Kolonel Latief.
2.      Kepada majalah Der Spegel dari Jerman Barat, Juni 1970, 
Soeharto menjawab pertanyaan wartawan mengapa Jenderal Soeharto 
tidak termasuk sasaran G/30S?. Soeharto menjawab bahwa bahwa Latief 
datang ke rumah sakti Gatot Soebroto kira-kira jam 11 malam untuk 
membunuh saya, tetapi niatnya dibatalkan karena di tempat umum.
3.      Dalam otobiografinya sendiri, Soeharto mengatakan bahwa ia 
hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto; ia 
melihat dari tempat ia menjaga anaknya yang sedang dirawat di rumah 
sakit itu.
        Dari tiga pernyataan tersebut, jelas terdapat perbedaan yang 
mendasar, yaitu yang pertama, Latief datang ke rumah sakit Gatot 
Soebroto untuk menjenguk anaknya, kedua, Latief datang ke rumah 
sakit Gatot Soebroto untuk membunuhnya, dan yang ketiga, ia hanya 
melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto. Ketiga 
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Soeharto ketakutan terhadap 
dirinya sendiri tentang pertemuan "penting" dengan Latief pada 
tanggal 30 September 1965 jam 9 malam.
        Dalam pertemuan Soeharto-Latief tersebut dapat diduga:
1.      Latief adalah anak buah Soeharto dalam G/30S/1965; jika 
benar, maka Soeharto adalah "Pimpinan Tertinggi" G/30S/1965, 
kemudian untuk menghilangkan jejaknya, Soeharto menyapu bersih 
gerakan tersebut dengan pasukan khususnya.
2.      Latief adalah sahabat sehidup-semati Soeharto; ia datang ke 
rumah sakit Gatot Soebroto jam 9 malam tanggal 30 September 1965, 
lima jam sebelum gerakan dimulai untuk memberitahu bahwa akan ada 
gerakan membersihkan Jenderal Achmad Yani dkk, harap hati-hati, dan 
bantulah kami; jika ini benar, maka Latief secara sadar atau tidak 
sadar ia adalah "pengkianat" gerakan tersebut, karena memberitahukan 
gerakan yang akan dilakukan kepada orang yang bukan pimpinannya. 
        Diduga yang mendekati kebenaran adalah pendugaan yang kedua 
(Latief memberi tahu Soeharto tentang G/30S). Dengan demikian 
hakikatnya tidak ada persahabatan yang sejati, yang ada adalah 
persahabatan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama kita 
bersahabat, jika kepentingannya berbeda, kita mengambil jalan yang 
berbeda; atau tidak ada front persatuan universal, yang ada adalah 
front persatuan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama maka 
kita berada dalam satu front persatuan, jika kepentingannya berbeda 
maka kita berjalan sendiri-sendiri.

8. Peranan Imperalisme
        Pada tanggal 12 Agustus 1941 terjadilah suatu perjajian yang 
maha penting karena dilakukan oleh dua tokoh terkenal di dunia yaitu 
F.D. Roosevelt Presiden Amerika Serikat dan Winston Churchill 
Perdana Menteri Inggris. Perjanjian itu dnamakan Perjanjian Atlantic 
atau Atlantic Charter. Isi pokoknya ialah Sebuah Hari Depan Yang 
Lebih Baik Bagi Dunia. Isi selengkapnya adalah:
1.      Mereka tidak berupaya melakukan perluasan wilayah
2.      Mereka tidak ingin melihat adanya perubahan wilayah yang 
tidak diinginkan oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan
3.      Mereka menghormati hak setiap bangsa untuk berdaulat
4.      Semua negara bebas berdagang dan memperoleh bahan mentah
5.      Kerjasama ekonom bagi semua bangsa
6.      Hidup damai, bebas ketakutan 
7.      Bebas mengarungi samudera tanpa rintangan
8.      Tidak diperkenankan memaksakan kehendak dengan kekuatan 
senjata
        Yang terpenting dalam perjanjian itu adalah bebas berlayar 
tanpa rintangan,  bebas berdagang, bebas memperoleh bahan mentah. 
Amerika Serikat dan Inggris memiliki armada laut yang hebat, mereka 
mudah menguasai dunia secara ekonomi, sosial, dan politik. 
Hakikatnya perjanjian Atantik itu adalah membagi dunia 
menjadi "milik" Amerika Serikat dan Inggris, itu diisyaratkan pada 
perjanjian nomor 7. 
        Bangsa-bangsa lain harus "tunduk" (harus bersedia bekerja 
sama) kepada kedua negara tersebut, khususnya di bidang ekonomi. 
Nampaknya mereka sadar bahwa bentuk penjajahan dengan kekuatan 
militer yaitu kolonialisme harus diganti dengan kekuatan ekonomi 
yaitu imperalisme (neo-kolonialisme), itu diisyaratkan pada 
perjanjian nomor 4, 5, dan 8. Dalam perjanjian nomor 6, bangsa-
bangsa di dunia harus membuat pakta pertahanan terutama dengan 
Amerika Serikat dan Inggris, agar mereka bebas dari ketakutan perang 
dan dapat hidup damai. Dapat dipastikan bahwa dalam pakta pertahanan 
itu akan dihegemoni (dipimpin) dan didominasi (dikuasai atau 
didekte) oleh pihak yang memiliki peralatan senjata yang kuat; dalam 
hal ini adalah Inggris dan Amerika Serikat. Perjanjian nomor 1,2, 
dan 3 mengisyaratkan bahwa tidak layak lagi melakukan kolonialisme 
dengan kekuatan militer, mereka sadar bahwa itu hanya akan 
mengakibatkan perang antar mereka seperti Perang Dunia Pertama dan 
Kedua.
        Sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Amerika Serikat dan 
Inggris bersekutu untuk membuat badan keuangan dunia yang disebut 
IMF (International Monetary Fund). Lembaga Keuangan Internasional 
yang dibentuk itu antara lain:
·       IMF, dibentuk di Bretton Woods, New Hampshire, Juli 1944 
oleh kaum kapitalis internasional tujuannya: kerjasama moneter 
internasional, stabilisasis kurs, menyediakan dana pinjaman untuk 
memperbaiki neraca pembayaran, meningkatkan mobilitas dana antar 
negara, mewujudkan perdaganan bebas.
·       Bank Dunia (International Bank for Recontruction and 
Development), 1944, tujuan: memberi pinjaman untuk pembangunan 
ekonomi negara-negara anggota
·       IFC (International Finance Corporation), tujuannya membantu 
perusahaan swasta , terutama kaum Multi National Corporation atau 
Trans National Corporation yaitu perusahaan-perusahaan raksasa yang 
beroperasi di luar batas negaranya atau beroperasi di negara orang 
lain 
·       IDA (International Development Association), tujuannya 
membantu pembangunan ekonomi negara-negara yang kalah perang dan 
negara-negara yang baru merdeka
·       BIS (Bank for International Settlement), tujuannya membantu 
negara tau perusahaan yang dilanda krisis keuangan
·       RDA (Regional Development Agencies), tujuannya membantu 
pembangunan ekonomi regional (Asia, Afrika, Amerika Latin). 
Hakikatnya semua lembaga keuangan internatioanl yang dibentuk oleh 
Amerika dan Inggris itu adalah sebagai  alat negara kapitalis  dan 
MNC untuk menguasai ekonomi, sosial, politik, dan budaya Negara 
Sedang Berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia. Bung Karno 
pernah mengatakan bahwa menolak bantuan asing jika dikaitkan dengan 
kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian Indonesia. 
Nampaknya Bung Karno memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi 
tentang taktik dan strategi negara-negara bekas kolonialis untuk 
menguasai kembali negara-negara bekas jajahannya dengan model 
bantuan keuangan dan ekonomi. Inilah yang lazim disebut Imperalisme, 
yaitu suatu penjajahan bentuk baru dengan kekuatan modal, ilmu 
pengetahuan, dan teknologi.
        Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, lahirlah bangsa-bangsa 
merdeka, termasuk bangsa Indonesia. Dalam kehidupan yang merdeka, 
Presiden Soekarno ingin hidup ekonomi secara mandiri, artinya tidak 
mau bergantung kepada modal asing, berdaullat dalam bidang politik, 
dan berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia. Kebijakan Bung Karno 
dalam bidang ekonomi khsusunya yang menyangkut perusahaan-perusahaan 
asing adalah  bahwa perusahaan-perusahaan asing yang ada di 
Indonesia dijadikan milik negara yaitu menjadi Badan Usaha Miliki 
Negara Republik Indonesia (BUMN RI). Itu artinya Bung Karno melawan 
Atlantic Charter atau melawan Inggris dan Amerika atau melawan 
imperalisme. Karena BUMN itu pada umumnya adalah bekas milik Inggris 
dan Amerika. Berdasarkan tesis ini, maka Inggris dan Amerika harus 
menyingkirkan Soekarno dari kekuasaannya. 
        Inggris dan Amerika mengetahui dan memahami bahwa kekuatan 
Bung Karno adalah Jenderal Achmad Yani dkk dan PKI. Oleh sebab itu 
untuk menggulingkan Bung Karno harus terlebih dahulu menghancurkan 
Jenderal Yani dkk dan PKI. Metode yang digunakan ialah menciptakan 
konflik di tubuh Angkatan Darat antara Jenderal Yani dan Jenderal 
yang lainnya dan melibatkan pimpinan PKI dalam konflik tersebut.
        Marshall Green duta besar AS di Jakarta beberapa bulan 
sebelum G/30S telah datang di Jakarta. Ia adalah arsitek penjatuhan 
Syngman Rhee di Korea Selatan. Diduga pengangkatan Green sebagai 
duta besar AS di Indonesia adalah untuk maksud menjatuhkan Soekarno 
dan menghancurkan PKI yang anti feodalisme, kolonialime, dan 
imperalisme.
        Rencana Barat Menghancurkan PKI sejak PKI berdiri tahun 1920-
an karena ciri utama perjuangan PKI adalah anti kolonialisme. Sejak 
pemberontakan PKI melawan Belanda tahun 1926 sampai menjelang 
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh PKI 
dikejar-kejar oleh pemerintah Belanda kemudian oleh pemerintah 
Jepang. Kemudian berturut-turut dilanjutkan dengan: (1) instruksi 
rahasia Amerika pada waktu pemerintah Hatta dengan menggunakan 
divisi Siliwangi untuk menghancurkan pelaku  peristiwa Madiun 1948, 
(2) rasionalisasi tentara yang lahir dari laskar rakyat yang banyak 
didominasi oleh orang-orang yang bersimpati dengan PKI, (3) larangan 
mogok dan razzia Agustus yang dilakukan oleh pemerintah Natsir dan 
Sukiman tahun 1950-1951, (4) penindasan berdarah kaum tani di 
Tanjung Morawa dan tempat-tempat lainnya sekitar tahun 1952-1953, 
(5) pemberontakan bersenjata PRRI dan Permesta sejak tahun 1956-1961 
yang sepenuhnya dibantu senjata oleh Amerika, (6) pemeriksaaan 
Aidit, Nyoto, dan Sakirman sehubungan dengan pemikiran kritisnya 
tentang Demokrasi Terpimpin; semuanya itu gagal sampai dengan tahun 
1965. 
        Pada tahun 1965 bagi kaum imperalis melihat gejala di 
Indonesia dari tiga dimensi yaitu: (1) PKI makin besar, hal ini 
makin membahayakan pengaruh kaum imperalis terhadap Indonesia dan 
menyulitkan mereka menanam modal di Indonesia, berarti kaum 
imperalis makin sulit melakukan dominasi ekonomi dan politik di 
Indonesia, (2) kekuasaan Angkatan Darat makin kuat, merupakan 
kekuatan bagi kaum imperalis untuk menguasai kembali Indonesia 
secara ekonomi dan politik, karena sebagaian jenderal Angkatan Darat 
menjadi sahabat baik Amerika dan Inggris, dan (3)  seriusnya 
sakitnya Bung Karno, menjadi perhatian utama kaum imperalis untuk 
dijadikan langkah awal menguasai Indonesia kembali pada saat Bung 
Karno meninggal dunia. Ketiga gejala tersebut, diduga kaum imperalis 
menyiapkan strategi untuk menempatkan Angkatan Darat menjadi 
penguasa politik di Indonesia, dengan menyingkirkan jenderal-
jenderal pendukung Soekarno dan menghancurkan PKI, karena garis 
politik PKI sejalan dengan garis politik Bung Karno yang anti 
feodalisme, kolonialisme, dan imperalisme.
        Hal yang menguntungkan kaum imperalis adalah bahwa pada 
tahun 1960-1963, PKI telah dijinakkan oleh Bung Karno. Itu berarti 
garis politik komunis dengan aksi dan revolusi bersenjatanya untuk 
membangun pemerintahan demokrasi rakyat telah hilang. PKI tidak lagi 
menjadi partai yang revolusioner, tetapi menjadi partai yang 
evolusioner berbasis pada program parlementer; PKI yakin bahwa ia 
dapat berkuasa melalui jalan parlementer. Hal itu dapat dilihat 
sejak 1963, PKI tidak mempunyai program revolusi bersenjata seperti 
di China, Kuba, Vietnam, Laos, dan Kamboja.
        Pada tahun 1964, aksi sepihak PKI makin meluas di di 
pedesaan, menuntut dibelakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 
yang intinya tanah untuk petani, bukan untuk tuan tanah,  dan 
menuntuk diberlakukannya Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH), 
yang intinya petani penggarap harus diuntungkan. Aksi ini hanya 
merupakan aksi ekonomi, bukan aksi politik bersenjata. Aksi ini 
melahirkan konflik sosial antar pengikut PKI dengan pengikut Partai 
lainnya, karena sebagian pemilik tanah luas adalah menjadi anggota 
partai lain seperti PNI, NU, dsb. Aksi sepihak itu merupakan 
tindakan PKI membuka front pertentangan dengan rakyat pengikut 
partai lain.
        Setelah pemilu 1955, Soekarno menemukan jatidirinya yaitu 
anti kolonialisme baru (imperlasime) dan bekerja sama dengan PKI  
untuk mengganyang (menghancrukan) Malaysia. Oleh Soekarno, Malaysia 
adalah boneka Inggris dan Amerika untuk mengepung Indonesia. 
Pendapat ini didukung oleh PKI. Dalam hal ini PKI kurang tepat 
sasarannya. Mestinya sasaran PKI adalah anti imperalisme di 
Indonesia, bukan anti Malaysia. Malaysia sebagai boneka Inggris dan 
Amerika adalah masalah yang abtrak, yang kongkrit adalah penghisapan 
dan penindasan kaum imperalis di Indonesia melalui penanaman modal 
asing. Keadaan yang demikian, Inggris dan Amerika makin marah 
terhadap PKI.
        Konflik Bung Karno dengan Angkatan Darat adalah 
masalah  "Angkatan Kelima"  yaitu buruh dan tani harus 
dipersenjatai; ini mungkin gagasan PKI yang ingin meniru Revolusi 
Tiongkok, di mana kaum tani bersenjata dibantu kaum buruh bersenjata 
melawan tuan tanah. Di samping itu konflik Soekarno dengan Angkatan 
Darat adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Nasution 
dan  Gatot Subroto ingin merebut kekuasaan. Konflik Soekarno dengan 
Angkatan Darat yang paling gawat adalah bahwa sebagian Jenderal-
Jenderal Angkatan Darat (Dewan Djenderal) tidak setuju dengan 
program revolusi Indonesia yang belum selesai dan adanya berita 
bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kup tanggal 5 Oktober 1965. 
        Berita kup Dewan Jenderal itu diperoleh dari dokumen Sir 
Andrew Gilchrist Duta Besar Inggris di Indonesia; ia  mengatakan 
kepada temannya Amerika, bahwa operasi militer telah dispersiapkan 
dengan our local army friends. Soekarno marah dan PKI terjebak 
dengan berita tersebut. Dokumen Gilchrist itu sengaja 
disebarluaskan. Dokumen kup Dewan Jenderal sengaja dibocorkan, yang 
terdiri dari Nasution, Yani, Harjono, Suparpto, S. Parman, Sutojo, 
Sukendro, Sumarno Ibu Sutowo, Rusli. Anggotanya 40 orang di mana 
Soeharto masuk di dalamnya, aktif 25 orang, 7 orang diantaranya 
adalah pimpinan puncak.  Mungkin dokumen itu sengaja dibuat oleh  
Gilchrist untuk memancing Bung Karno marah dan mengadakan tindakan 
pembersihan di tubuh Angkatan Darat yaitu Jenderal Yani dkk., di 
mana sebenarnya mereka itu adalah pendukung setia Bung Karno. Bung 
Karno memerintahkan Letnan Kolonel Untung dari kesatuan Cakarabirawa 
pengawal presiden, untuk membereskannya.
        Perintah Bung Karno kepada Untung tersebut disambut baik 
oleh sebagian pimpinan PKI yaitu Aidit dan Syam Kamaruzaman. Kedua 
tokok PKI itu yakin bahwa Bung Karno dengan kekuatan pasukan 
Cakrabirawa dapat menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, maka 
Untung bergerak mendahuluinya dengan mengadakan gerakan penangkapan 
para Jenderal pada tanggal 30 Septerber 1965, yang dikenal peristiwa 
G/30S.
        Konflik intern Angkatan Darat sebenarnya dimulai dari 
Nasution kontra Yani. Yani menggantikan Nasution sebagai Panglima 
Angkatan Darat; Yani setuju Soekarno bahw Nasution sebagai Panglima 
Angkatan Bersenjata hanya tugas administratif saja, Yani mengganti 
orang-orang Nasution di Kodam-Kodam. Yani setuju pembubaran panitia 
Rituling Apratur Negara yang dipimpin oleh Nasution. Soeharto dan 
Basuki Rachmad,  dkk menjadi mediator konflik Nasution-Yani. Diduga, 
Soeharto memanfaatkan konflik Nasution lawan Yani, Yani lawan 
Soekarno, dan konflik Yani lawan PKI. Pada trahun 1965 Yani dan 
Nasution bersatu melawan Soekarno dan PKI, karena merasa bahwa 
Soekarno selalu mengikuti politik PKI, atau mungkin karena Bung 
Karno memberi ruang gerak yang leluasa bagi PKI untuk mengadakan 
propaganda anti feodalisme, kolonialisme dan imperlisme.
         Hakikatnya dalam kubu Angkatan Darat terdapat empat 
kelompok, yaitu: Kubu Nasution dkk, Yani dkk, Soeharto dkk.(terutama 
trio Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo), dan kubu Jenderal Mursjid 
dkk calon pengganti Yani tanggal 1Oktober 1965. Dari empat kelompok 
tersebut, Inggris dan Amerika diduga bersekutu dengan kubu Soeharto, 
karena Soeharto tidak anti Amerika. Amerika kurang percaya kepada 
Nasution, karena Nasution gagal kup 17 Oktober 1952. Amerika kurang 
percaya kepada Yani, karena Yani telah menghancurkan PRRI dan 
Permesta yang didukung senjata Amerika. Amerika tidak percaya kepada 
Mursyid, karena Mursyin pengikut Bung Karno yang sangat loyal, 
patiot, dan nasionalis anti imperalisme. Berdasarkan informasi di 
atas, diduga Inggris dan Amerika dengan CIA nya membantu Soeharto 
untuk naik ke panggung kekuasaannya. Tujuannya adalah penguasaan 
sumber-sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya raya. Jadi 
tujuannya adalah penguasaan ekonomi, yaitu masuknya modal asing atau 
Multi National Corporation mendominasi ekonomi Indonesia. 
Kenyataanya, sejak Soeharto berkuasa sampai saat ini, modal asing 
menguasai ekonomi Indonesia. 

9. Strategi Soeharto Untuk Berkuasa
        Soeharto berpura-pura menjadi anggota Dewan Jenderal untuk 
memantau persiapan yang sedang dilakukan; Yoga (Trio Soeharto) 
memberi info kepada S. Parman (atasannya Yoga) bahwa akan ada 
penculikan-penculikan. Tentu saja tindakan Yoga itu diketahui oleh 
Soeharto.  S. Parman tidak percaya atas kebenaran info Yoga 
tersebut. Tujuan info info itu adalah  untuk mengetahui apakah Yani 
tahu atau tidak tentang akan adanya gerakan 30 September. Ternyata 
Yani belum tahu, berdasar ketidakpercayaan S. Parman tentang info 
tersebut. Diduga Soeharto menyimpulkan bahwa rencana Untung dkk 
melakukan  penculikan 30 September belum diketahui oleh lawan Yani 
dkk). Keadan sekitar peristiwa 30 September menguntungkan Soerharto; 
kalau Untung gagal membunuh Yani dkk, Soeharto menjadi pahlawan, 
karena ia dengan kawan-kawannya telah memberitahu S. Parman 
sebelumnya; dan  jika Untung berhasil menangkap Yani dkk, Untung dkk 
harus dilenyapkan. Ternyata yang menjadi kenyataan adalah Untung dkk 
berhasil menangkap dan membunuh Yani dkk, kemudian Untung 
dilenyapkan oleh Soeharto dkk. Soeharto dkk naik ke panggung 
kekuasaan Republik Indonesia.
        Peristiwa G/30S yang hampir mirip pernah dilakukan 
sebelumnya oleh Soeharto pada peristiwa penolakan pengangkatan 
Panglima Kodam Diponegoro, dan pada tahun 1946, yang dikenal dengan 
peristiwa 3 Juli 1946. Soeharto mampu menggusur Kolonel Bambang 
Supeno yang akan dilantik menjadi Panglima Kodam Diponegoro, dengan 
cara menyuruh Yoga dkk mengadakan rapat gelap di Kopeng Salatiga 
Jawa Tengah yang hasilnya adalah menolak Bambang Supeno menjadi 
Panglima Kodam Diponegoro. Akhirnya Soekarno membatalkan 
pengangkatan tersebut dan menggantinya dengan Letkol Soeharto.
        Soeharto mampu menggagalkan kup 3 Juli 1946, yang dilakukan 
oleh Tan Malaka dari Partai Murba bersama militer di Jawa Tengah 
termasuk Soeharto. Pada tanggal 27 Juni 1946 Perdana Menteri Syahrir 
dkk diculik oleh Soedarsono komandan Divisi III, Sutarto Komandan 
Militer, dan Abdul Kadir Yusuf Komandan Batalyon di Surakarta. 
Tanggal 1 Juli 14 orang sipil pendukung komplotan penculik ditangkap 
dan dijebloskan di penjara Wirogunan Yogya. Sudarsono, Abdul Kadir 
Yusuf, Sucipto Kepala Intelejen AD, berkumpul di markas Soeharto 
Komandan Resimen III di Wijoro.  Pada tanggal 2 Juli 1946 mereka 
menggerakkan dua batalyon dari Resimen I dan Resimen III untuk 
membebaskan kawan-kawannya yang dipenjara di Wirogunan dan berhasil, 
dan berhasil menguasasi stasion radio, kantor telpon. Dari 
Wirogunan, kawan-kawan yang dipenjara dibawa ke markas Soeharto 
untuk dilindungi. Malamnya mereka mempersiapkan kup untuk 
membubarkan pemerintah Syahrir dan Amir Syarifudin, tetapi dapat 
digagalkan. Pelaku-pelakunya diadili, dan Soeharto berbalik arah 
bahwa keberadaan kawan-kawan di markasnya itu adalah dalam rangka 
mengamankannya atau menawannya. Soeharto tampil sebagai pahlawan.  
        Untung dan Latief yang gagah berani adalah bekas anak buah 
Soeharto. Supardjo dan Soeharto adalah sama-sama menjadi anggota 
dewan jenderal, Soeharto Panglima Kostrad, Supardjo wakil Panglima 
Kostrad dan merangkap Panglima KOLAGA (Komando Mandala Siaga). 
Untung, Latief, Supardjo, adalah pimpinan kolektif G/30S yang 
mempunyai hubungan baik secara pribadi dengan Soeharto. 
        Dalam kondisi yang demikian itu, Soeharto memiliki empat 
jalur yaitu : (1)  jalur Dewan Jenderal di mana ia sebagai salah 
satu anggotanya; dalam jalur ini Soeharto dapat memantau rencana 
Dewan Jenderal mengadakan kup, (2) jalur  Sujono, dan Dul Arief 
sebagai pelaksana G/30S, (3) jalur Latief, Untung dan Soeparjo, 
yaitu pimpinan kolektif G/3S, dan (4) jalur luar negeri dukungan 
Inggris dan Amerika yang ingin melenyapkan Bung Karno. Keempat jalur 
tersebut berhasil dikelola oleh Soeharto dkk untuk memenangkan 
pertandingan merebut kekuasaan politik dari Bung Karno. Kemudian 
Soeharto melaksanakan kekuasaan politik yang didukung oleh Angkatan 
Darat, Inggris, dan Amerika. Modal asing mengalir masuk ke Indonesia 
dengan dilindungi oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). 
Politik Ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri)  Soekarno 
runtuh diganti oleh politik ekonomi liberal kapitalisme; berdaulat 
di bidang politik hancur, diganti oleh politik yang dihegemoni oleh 
imperlisme; kepribadian dalam kebudayaan hancur, diganti oleh 
kebudayaan Barat individualistik dan liberalistik.



10. Renungan Filsafat
        Tidak ada kata terlambat dalam kamus politik. Yang ada 
adalah bahwa kegagalan adalah awal dari kemenangan. Bangsa Indonesia 
telah gagal membangun dirinya yaitu gagal berdikari dalam bidang 
ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan gagal berkepribadian 
dalam bidang kebudayaan. Kegagalan itu harus menjadi bahan pelajaran 
untuk menuju sukses dengan cara melakukan pendidikan politik bagi 
rakyat melalui kegiatan partai politik, kegiatan mahasiswa, dan 
kegiatan kaum cendekiawan. Ketiga elemen masyarakat itu harus 
bersatu padu mendidik rakyat agar rakyat sadar politik, kemudian 
mampu membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan, 
dan mampu membebaskan diri dari cengkeraman imperalisme (penjajahan 
dalam bentuk baru).
        Bagi PKI, kehancurannya itu disebabkan karena salahnya 
sendiri, karena penyakit subyektivisme dalam bidang ideologi, 
avonturisme dalam bidang politik, dan legalisme-liberalisme dalam 
bidang organisasi. Ketiga jenis kesalahan itu yang membawa 
kehancuran PKI.   Semua organisasi politik yang menderita tiga 
penyakit itu pasti akan hancur. Organisasi politik yang mampu 
bertahan hidup adalah organisasi yang obyektif (memihak kepada 
kepentingan mayoritas rakyat) di bidang ideologi, garis perjuangan 
jelas dan konsisten membela kepentingan sebagian besar rakyat di 
bidang politik, dan harus ada kristalisasi kader dan disiplin tinggi 
di bidang organisasi.

Jakarta, 28 Februari 2001