[Nusantara] ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:04:21 2002
ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
DITINJAU DARI SUDUT FILSAFAT
Oleh: Dr. Darsono Prawironegoro
Sarjana Filsafat dari Universitas Indonesia
1. Pendahuluan
Filsafat adalah berpikir mendalam mencari sebab-sebab yang
paling dalam atas suatu kejadian, peristiwa, atau suatu keberadaan.
Ia selalu mencari saling hubungan, mempertanyakan, dan meragukan
setiap kejadian, peristiwa, dan suatu keberadaan, sehingga ia selalu
berusaha memberi jawaban dan menjelaskannya secara rasional.
Filsafat menjelaskan tentang: (1) hubungan sebab dengan akibat, (2)
hubungan bentuk dengan isi, (3) hubungan gejala dengan hakikat, (4)
hubungan kebetulan dengan keharusan, dan (5) hubungan kekhususan
dengan keumuman, atau logika induktif dengan logika deduktif. Di
dunia ini yang memiliki kebebasan adalah hanya berpikir, karena
berpikir tidak memiliki dampak apa-apa dalam kehidupan praktis, asal
pikiran itu tidak dipublikasikan dan tidak ditindaklanjuti dengan
perbuatan. Hanya perbuatan saja yang bisa mengubah dunia ini;
pikiran tanpa perbuatan tidak ada artinya apa-apa, atau ide tanpa
aksi hanyalah suatu utopia. Dalam filsafat otak adalah "dewa" karena
otak mampu berpikir membimbing dan mengarahkan manusia untuk
bertindak rasional untuk mencapai tujuannya.
Dalam hidup ini, manusia mempunyai tujuan hidup berdasar
status sosialnya: (1) jika ia berstatus sosial rakyat jelata, maka
tujuan hidupnya adalah mencari atau menciptakan kerja untuk memenuhi
kebutuhan makan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan;
(2) jika ia berstatus sosial pengusaha atau pedagang, maka tujuan
hidupnya adalah mencari laba, (3) jika ia berstatus sosial
rohaniawan, maka tujuan hidupnya adalah mencari kebaikan di dunia
dan di akhirat, (4) jika ia berstatus sosial ilmuwan, maka tujuan
hidupnya adalah mencari kebenaran ilmu, dan (5) jika ia berstatus
sosial politikus, maka tujuan hidupnya adalah mencari kemenangan dan
kekuasaan.
Peristiwa 30 September 1965 (G/30S) adalah peristiwanya
orang-orang yang berstatus sosial politik, jadi tujuannya adalah
kemenangan dan kekuasaan. Ada pihak yang kalah, ada pihak yang
menang, dan ada pihak yang dikorbankan. Yang menang dan kalah adalah
pihak yang berstatus sosial politik, dan pihak yang dikorbankan
adalah rakyat jelata, karena rakyat jelata adalah pihak yang dikuasi
oleh penguasa politik.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G/30S/1965) merupakan
peristiwa yang memakan korban ribuan orang, terutama adalah rakyat
jelata, orang-orang desa-kota yang tidak berdosa, artinya tidak
mengerti tentang gerakan pada tanggal 30 September 1965. Rezim
Soeharto (orde baru) menuduh bahwa gerakan tersebut dilakukan oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI), maka orang-orang yang dituduh
anggota PKI atau simpatisannya ditangkap untuk dipenjara dan
dibunuh. Banyak orang-orang desa-kota rakyat jelata yang menjadi
korban, bukan karena mereka itu anggota PKI atau simpatisan PKI
melainkan karena "dendam" pribadi atau "dendam sosial" yang
diakibatkan oleh konflik pribadi atau konflik sosial.
Setelah Soeharto turun tahta pada tahun 23 Maret 1998,
banyak kaum cendekiawan yang mengadakan analisis tentang peristiwa
tersebut di atas. Saya Darsono Prawironegoro yang pada waktu
kejadian berumur 17 tahun, ingin memberi sumbangan pemikiran tentang
kejadian tersebut berdasarkan analisis kritis secara filsafat,
melalui penelitian kepustakaan.
2. Hubungan Soeharto dan Latief
Soeharto pada waktu itu adalah seorang Mayor Jenderal,
komandan KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), di bawah Menteri
Panglima Angkatan Darat yang dijabat Letnan Jenderal Achmad Yani.
Latief pada waktu itu adalah seorang Kolonel Angkatan Darat pimpinan
gerakan 30 September 1965. Hubungan Soeharto dengan Latief dapat
diklasifikan dua macam yaitu: (1) hubungan pribadi, yaitu bahwa
Latief adalah teman akrab Soeharto karena sejak tahun 1945 bersama-
sama berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia; pada Serangan Umum
tanggal satu Maret 1947, Latief adalah anak buah Soeharto; pada
waktu Soeharto pindah ke Jakarta, Latief menyediakan perumahan bagi
beliau; hubungan sahabat ini terjalin erat sampai peristiwa
tersebut, (2) hubungan kedinasan militer, yaitu bahwa Latief seorang
Kolonel Angkatan Darat dan Soeharto seorang Mayor Jenderal Angkatan
Darat; sama-sama perwira Angkatan Darat.
Pada tangal 28 September 1965, Latief datang ke rumah
Soeharto di Jalan Agus Salim Jakarta, dengan maksud menanyakan
informasi tentang adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup
terhadap Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1965. Soeharto
mengatakan bahwa ia telah menerima informasi dari Soebagio
Yogyakarta tentang hal itu sehari sebelumnya. Soeharto menanggapi
bahwa akan diadakan penyelidikan. Hubungan pribadi yang sangat baik
itu, Latif berkesimpulan bahwa Soeharta adalah orang yang loyal
terhadap Bung Karno dan Bung Karno mempercayai Soeharto, yaitu
dengan mengangkat sebagai Panglima Mandala dan Panglima Konstrad.
Pada tanggal 30 September 1965, jam 21.00 WIB, atau jam 9
malam, Latief datang ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto
Jakarta, memberitahu kepada Soeharto bahwa pada dini hari tanggal 1
Oktober 1965 akan diadakan operasi atau gerakan menggagalkan rencana
kudeta Dewan Jenderal terhadap Presiden Soekarno. Pada waktu itu
Soeharta sedang menunggu anaknya (Tomy Soeharta) yang sedang sakit
di rumah sakit tersebut. Alasan Latief datang menemui Soeharto
adalah meminta bantuan militer, dan tindakan ini sudah disetujui
oleh Brigadir Jenderal Soepardjo dan Letnan Kolonel Untung (keduanya
adalah anggota pimpinan Gerakan 30 September 1965). Menurut Latief,
jika G/30S/1965 berhasil, Soeharto diharapkan menjadi pembantu setia
Bung Karno, tetapi situasi berubah cepat, Soeharto tidak setia
kepada Bung Karno dan tidak mendukung G/30S, melainkan melawan dan
menghancurkannya. Tindakan Latief ini didasarkan pada instuisi
persahabatan, bahwa ia dipercaya oleh Soeharto sahabat karibnya.
Secara politik, sebagai pimpinan gerakan, tindakan Latief tersebut
adalah merupakan "pengkianatan", karena ia mencampuradukkan urusan
pribadi dengan urusan politik. Sebagai pimpinan gerakan, seharusnya
Latief tidak melakukan hal itu; itu menunjukkan bahwa mental politik
Latief tidak mewakili kepentingan kelasnya.
Menurut Soengkowo, mantan Perwira Polisi Militer, salah
seorang pelaku G/30S/1965, menjelaskan bahwa pada waktu Latief
diadili di Mahmilub selalu melibatkan Soeharto, bahwa Soeharto
mengetahui gerakan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung
Soeharto terlibat di dalamnya. Apa yang disampaikan Latief itu
adalah suatu siasat bahwa ia adalah bukan orangnya Soeharto dan
supaya tidak dinilai negatif (atau supaya tidak dikutuk) oleh kawan-
kawannya di G/30S/1965. Pada waktu Soengkowo dan Untung di tahan di
Rumah Tahanan Salemba Blok N, Soekowo bertanya kepada Untung,
mengapa Soeharto tidak ikut ditangkap?. Untung menjelaskan bahwa
dalam Sentral Komando atau Senko terjadi perbedaan pendapat tentang
Soeharto; ada yang berpendapat bahwa Soeharto adalah pro-G/30S/1965
dan loyal kepada Bung Karno, dan ada yang berpendapat bahwa Soeharto
adalah kontra gerakan G/30S/1965. Yang berpendapat bahwa Soeharto
adalah loyal terhadap Bung Karno dan pro dengan G/30S/1965 adalah
Latief dan Syam Kamaruzaman (pimpinan Biro Khusus PKI), sedangkan
yang berpendapat bahwa Soeharto adalah kontra G/30S/1965 adalah saya
sendiri (Untung) dan Mayor Udara Soeyono; agar supaya gerakan
sukses, menurut Untung, ia dan Soeyono mengalah tidak menangkap
Soeharto, walaupun Soeharto juga anggota Dewan Jenderal. Ternyata
Soeharto adalah Jenderal yang melawan Bung Karno, ia merebut
kekuasaan Bung Karno melaui Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar). Berdasarkan kenyataan yang demikian ini, Latief harus
bertanggungjawab kepada kawan-kawannya korban rezim Soeharto, karena
seandainya Latief tidak memberitahu Soeharto pada tanggal 30
September 1965 jam 9 malam di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot
Soebroto, kemungkinan kondisi Republik Indonesia tidak seperti
sekarang ini, yaitu : (1) rakyat tidak berdosa yang berjumlah kira-
kira 2 juta orang dibunuh oleh rezim Soeharto, (2) terjadi
kebrobokan moral sebagian birokrat dan rakyat, (3) Indonesia
terperangkap utang luar negeri US$ 140 milyar atau Rp 1.400 trilyun
jika kurs Rp 10.000 per US$1 saat ini, tergantung pada
Internationale Monetary Fund atau IMF dan negara-negara G-7 Kanada,
AS, Jepang, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggri, dan (4) Indonesia
dijajah kembali oleh bangsa-bangsa asing, kita menjadi kulinya
bangsa-bangsa..
3. Ketrampilan Soeharto
Kita harus mengakui bahwa Soeharto adalah Jenderal yang
memiliki luar biasa dalam mengatur strategi militer dan politik.
Pada tahun 1948 ia pernah diperintahkan oleh Bapak Jenderal Besar
Soedirman untuk meneliti dan menyelesaikan Peristiwa Madiun dan
berhasil dengan baik, PKI dapat dihancurkan. Pada Peristiwa 3 Juli
1946, ia mampu menyerahkan pelaku-pelaku kup kepada pemerintah, ia
tampil sebagai pahlawan. Dan dalam peristiwa 30 September 1965, ia
keluar sebagai pemenang dan sekaligus bekuasa sampai dengan 1998.
Itu menunjukkan bahwa Soeharto memiliki keberanian dan ketrampilan
yang luar biasa.
Pada tanggal 30 September 1965, Soeharto menerima informasi
dari Latief bahwa Latief dan kawan-kawanya akan menangkap Achmad
Yani dan kawan-kawannya (Dewan Jenderal). Seharusnya Soeharto
bertindak untuk menyelamatkan Yani dan kawan-kawannya, karena Yani
adalah Panglima Angkatan Darat, dan kawan-kawannya adalah satu
kesatuan Angkatan Darat. Latief dan kawan-kawannya pada malam itu
juga bisa ditangkap dan praktis malam itu juga gerakan 30 September
1965 dapat digagalkan, mengingat bahwa saat itu Soeharto sebagai
Panglima Kostrad yang memiliki pasukan siap tempur. Soeharto
nampaknya menghendaki Yani dan kawan-kawannya terbunuh, mungkin ini
disebabkan oleh persaingan dikalangan Jenderal Angkatan Darat,
mungkin "dendam", mungkin menghendaki jabatan Panglima Angkatan
Darat, karena ada konsesus bahwa jika Panglima Angkatan Darat
berhalangan, maka langsung diganti oleh Panglima Kostrad. Soeharto
membiarkan G/30S/1965 beraksi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965
dengan membunuh Yani dan kawan-kawannya, atau mungkin ia merestui
gerakan tersebut, karena itu merupakan jalan untuk menjadikan
dirinya orang nomor satu di Angkatan Darat.
Dalam situasi yang gawat itu, Soeharto berdiri di atas "dua
perahu", kaki kiri berdiri pada barisan G/30S, sehingga G/30S tidak
memusuhinya, dan kaki kanan berdiri di barisan Dewan Jenderal, jika
Yani dkk tidak bisa dibunuh oleh G/30S, maka ia bersama Yani dkk
akan menghancurkan G/30S.. Melihat G/30S telah membunuh Yani dan
kawan-kawannya (Dewan Jenderal), Soeharto cepat mengambil langkah
yaitu menumpas G/30S. Hal itu dilakukan karena basis kekuatan Bung
Karno adalah Yani dkk, G/30S, dan PKI. Agar dapat membunuh PKI maka
G/30S dikaitkan dengan PKI menjadi G/30S/PKI. Setelah G/30S
dihancurkan, Soeharto menghancurkan PKI. Dengan demikian kekuatan
Bung Karno sudah punah. Jalan menuju ke RI Satu sudah terbuka lebar.
Proses selanjutnya adalah merekaya secara hukum agar bisa menjadi
presiden secara konstitusional.
Pada tanggal satu Oktober 1965, jam 6 pagi, Soeharto pergi
ke Kostrad setelah menerima informasi dari tetangganya Mashuri (yang
kemudian diangkat menjadi Menteri Penerangan dalam kabinetnya). Ia
mengendarai sendiri mobil Toyotanya tanpa pengawal. Ini menunjukkan
bahwa ia memang Jenderal yang gagah berani, atau mungkin ia sudah
bekerja sama dengan G/30S/1965, sehingga ia tidak takut dengan
pasukan G/30S/1965 yang telah mengepung daerah itu.
4. Keputusan Yang "Hebat"
Pagi hari tanggal satu Oktober 1965, Presiden Soekarno
mengangkat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pejabat
sementara (caretaker) Panglima Angkatan Darat. Namun pada pagi hari
itu juga, tanggal satu Oktober 1965 Soeharto mengambil keputusan
yang "Maha Hebat" yaitu mengangkat dirinya sebagai Panglima Angkatan
Darat tanpa persetujuan Bung Karno Presiden Republik Indonesia.
Jabatan panglima suatu angkatan perang adalah hak prerogatif
presiden, karena jabatan tersebut adalah jabatan politik.
Pada siang hari tanggal satu Oktober 1965, Bambang
Widjanarko ajudan presiden diperintahkan oleh Presiden Soekarno
untuk menemui Pranoto Reksosamudro di Kostrad, agar Pranoto
menghadap Presiden di Halim Perdanakusumah. Widjanarko tidak
berhasil bertemu Pranoto, ia bertemu Soeharto, dan Soeharto memberi
petunjuk kepada Presiden Soekarno sebagai berikut: (1) Mayjen
Pranoto Reksosamudro dan Mayjen Umar Wirahadikusumah tidak dapat
menghadap Presiden Soekarno di Halim agar tidak menambah korban;
artinya Soeharto tidak rela kedua Jenderal itu dibunuh di Halim oleh
G/30S/1965 seperti Yani dan kawan-kawannya; petunjuk tersebut
mengandung arti bahwa dibunuhnya Yani dan kawan-kawan subuh dinihari
satu Oktober 1965 adalah atas perintah Soekarno, (2) Mayjen Soeharto
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat berdasar perintah harian
Panglima Angkatan Darat yang menyebutkan bahwa jika Panglima
Angkatan Darat berhalangan, maka Panglima Kostrad akan menggantinya;
ini menunjukkan bahwa Soeharto menempatkan perintah harian Panglima
Angkatan Darat lebih tinggi daripada Hak Prerogatif Presiden, (3)
Perintah harian Presiden Soekarno diharapkan disampaikan kepada
Mayjen Soeharto, ini berarti Soeharto mendikte Presiden Soekarno,
(4) Presiden Soekarno harus meninggalkan Halim, karena pasukan
Kostrad akan membersihkan G/30S/1965 di Halim.
Berdasarkan petunjuk Soeharto kepada Presiden Soekarno di
atas, menunjukkan bahwa pada tanggal Satu Oktober 1965, Soeharto
secara nyata telah menguasai Republik Indonesia. Secara hukum akan
diproses lebih lanjut. Inilah tesis sulit disangkal secara ilmiah
bahwa "keadaan menentukan kesadaran", artinya kuasai dulu keadaan
sosial, baru kemudian dibentuk kesadaran sosial. Mengubah keadaan
sosial harus menggunakan tindakan dan keberanian. Di
sini "kehebatan" Soeharto, berani bertindak mengubah keadaan atau
berani mengambil alih kekuasaan politik Soekarno.
5. Teknik Soeharto Berkuasa
Frans Seda mantan anggota kabinet Bung Karno (Tempo, 15
Maret 1986) menjelaskan bahwa teknik Soeharto berkuasa adalah
membuat panik sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka
yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Soeharto menggerakkan
mahasiwa untuk berdemontrasi ke Istana Merdeka yang dikawal oleh
pasukan khusus tanpa seragam. Soeharto sendiri tidak hadir dalam
sidang tersebut dengan alasan sakit. Sidang kacau, Bung Karno
meninggalkan sidang untuk menuju ke Istana Bogor, kemudian sidang
bubar dengan penuh kepanikan.
Sarwo Eddie (Tempo, 15 Maret 1986) menjelaskan bahwa
pasukan RPKAD tanpa tanda pengenal kesatuan dan membawa senjata
mengawal mahasiswa berdemontrasi. Kemal Idris (Tempo, 15 Maret 1986)
menjelaskan bahwa pasukan "liar" itu berada di sekitar Istana
Merdeka beberapa hari sebelum tanggal 11 Maret 1966. Itu menunjukkan
bahwa Soeharto adalah seorang ahli strategi yang baik, ia
menggunakan mahasiswa dan tentara untuk merebut kekuasaan politik;
ia memahami bahwa hanya kekuatan tentara saja tidak cukup kuat untuk
merebut kekuasaan.
Setelah Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka menuju ke
Istana Bogor, Soeharto memerintahkan tiga Jenderal yaitu Jenderal
Andi Yusuf, Jenderal Basuki Rachmad, dan Jenderal Amir Mahmud ke
Istana Bogor untuk menghadap Bung Karno, tujuannya adalah agar Bung
Karno memberi surat perintah untuk pengamanan. Bung karno memberikan
surat perintah pengamanan pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikenal
dengan sebutan "Supersemar". Dengan surat pengamanan tersebut,
Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966. Surat perintah
pengamanan itu ditafsirkan oleh Soeharto sebagi "Pelimpahan
Kekuasaan". Dengan dibubarkannya PKI maka kekuatan politik pendukung
Bung Karno relatif sudah habis. Setelah tanggal 12 Maret 1966,
hakikatnya Bung Karno adalah "Sebatang Kara" dalam kehidupan
politik, hal ini adalah akibat kurang tepatnya Bung Karno mengambil
keputusan pada tanggal Satu Oktober 1965. Jika pada tanggal tersebut
Bung Karno mengambil keputusan menghadapkan G/30S dengan pasukan
Soeharto, keadaannya mungkin tidak seperti sekarang ini.
Secara hukum, Bung Karno setelah 11 Maret 1966 masih
menjabat presiden, tetapi tanpa pasukan, karena sebagian besar
angkatan perang telah dikuasai Soeharto. Pada tanggal 17 Agustus
1966, dalam pidato kenegaraan, Bung Karno mengatakan bahwa surat
perintah 11 Maret 1966 itu bukan pelimpahan kekuasaan. Surat
perintah itu hanyalah suatu perintah pengamanan, yaitu perintah
pengamanan jalannya pemerintahan, pengamanan keselamatan Bung Karno,
dan pengamanan ajaran Bung Karno. Hanafi menjelaskan bahwa Bung
Karno tidak mengakui pembubaran PKI dengan menggunakan "Supersemar".
Bung Karno pada tanggal 13 Maret 1966 memerintahkan Leimena Wakil
Perdana Menteri dan Brigadir Jenderal KKO Hartono mendatangi
Soeharto ke rumahnya dengan membawa surat yang isisnya mengkoreksi
tindakan Soeharto membubarkan PKI. Setelah membaca surat Bung Karno,
Soeharto mengatakan bahwa: "Sampaikan Kepada Bapak Presiden, semua
yang saya lakukan atas tanggung jawab saya sendiri". Ucapan
Soeharto yang demikian itu dapat ditafsirkan sebagai kudeta, artinya
ia telah melawan Bung Karno yang pada waktu itu secara hukum masih
sebagai Presiden Republik Indonesia. Seharusnya Bung Karno setelah
mendapat laporan dari Leimena dan Hartono harus mengambil sikap
yaitu menonaktifkan Soeharto sebagi Panglima Angkatan Darat. Dalam
hal ini nampaknya Bung Karno bimbang ragu mengambil sikap, sehingga
mengorbankan dirinya sendiri. Sikap bimbang ragu adalah awal dari
kehancuran diri.
Wiratmo Sukito menjelaskan bahwa setelah Bung Karno
mendengar jawaban Soeharto, pada tanggal 16 Maret 1966 melalui Wakil
Perdana Menteri Chairul Saleh dan Wakil Perdana Menteri Ruslan Abdul
Gani mengeluarkan pengumuman bahwa pembubaran PKI adalah tidak syah.
Berdasarkan penjelasan tersebut secara hukum pembubaran PKI yang
dilakukan oleh Soeharto adalah batal demi hukum, karena keputusan
Presiden lebih tinggi daripada keputusan pemegang Supersemar. Namun
perlu diingat bahwa dalam kondisi sosial yang gawat, hukum relatif
tidak berlaku, yang berlaku adalah kekuatan senjata. Saat itu
kekuatan senjata berada di tangan Soeharto. Dalam hal ini Soeharto
lebih berani mengambil risiko daripada Bung Karno. Barang siapa yang
berani mengambil risiko tinggi, akan memperoleh hasil tinggi pula.
Keberanian Soeharto itu diwujudkan lebih lanjut dalam
tindakannya yaitu menangkap dan memenjarakan 15 menteri termasuk
Soebandrio Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang sangat
termasyur itu. Kemudian menangkap dan memenjarakan 136 anggota
DPRGR/MPRS, diganti oleh orang-orang dari Kesatuan Aksi Mahasiswa
(KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Soeharto
dengan kekuatan senjata dapat melakukan hal itu semuanya, walaupun
ia bukan seorang presiden; ia mampu mendirikan DPRGR/MPRS baru yang
diisi oleh orang-orangnya dan diketuai oleh Nasution, yang nantinya
akan mengesahkan dia secara hukum sebagai Presiden Republik
Indonesia Kedua. Dengan demikian proses kekuasaan harus dimulai dari
proses kekuatan senjata baru kemudian proses kekuatan hukum.
Kekuatan senjata merupakan materi dan hukum merupakan ide, materi
menentukan ide, atau keadaan menentukan kesadaran.
Nampaknya Soeharto memiliki pengalaman dan pengetahuan yang
memadai bahwa kekuasaan politik harus dibangun dari kekuatan
senjata. Pengalaman dan pengetahuan itu diperoleh dari ketika
Soeharto menjadi Tentara Belanda, Tentara Jepang, dan Tentara
Republik Indonesia, di mana Belanda dan Jepang dapat menguasai
Nusantara dengan kekuatan senjata, dan Indonesia Merdeka juga dengan
kekuatan senjata (Revoulsi 17 Agustus 1945). Sekali senjata diangkat
jangan dilepaskan agar tujuan politik dapat tercapai, pemikiran ini
diyakini Soeharto sebagai kebenaran universal dalam merebut
kekuasaan, tetapi tidak diyakini oleh G/30S/1965 sehingga mereka
mudah dikalahkan oleh Soeharto. Di samping itu sejarah membuktikan
bahwa ketrampilan berpikir (kepandaian) Soekarno yang tinggi
dikalahkan oleh keberanian bertindak Soeharto. Pandai tidak berani
tidak menghasilkan sesuatu, tetapi berani walaupun kurang pandai
bisa menghasilkan sesuatu. Orang yang pandai dan berani pada umumnya
sukses mencapai sesuatu yang direncanakan. Pengalaman Soeharto
merebut kekuasaan Soekarno dapat dijadikan diskusi filsafat dan
diskusi keilmuan lebih lanjut.
5. Peranan Nasution
Sumbangan besar Nasution terhadap Soeharto ialah membawa
Supersemar ke dalam Sidang Umum MPRS pada tangal 21 Juni 1966 tanpa
sepengetahuan Presiden Soekarno. Dalam sidang itu dikeluarkan
Ketetapan MPRS No. IX 1966 tentang Supersemar. Dengan demikian sulit
bagi Presiden Soekarno untuk mencabut kembali Supersemar. Kemudian
MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan Ketetapan MPRS No XXV 1966
tanggal 5 Juli 1966 tentang PKI sebagai partai terlarang dan
melarang menyebarkan Marxisme-Leninisme atau Komunisme di Indonesia.
Ketetapan MPRS No. XXV 1966 itu hakikatnya adalah
bertentangan dengan UUD 1945 dan Panca Sila. Dalam UUD 1945 pasal 27
dan 28 menyebutkan bahwa semua warga negara hak sama di depan hukum
(pasal 27), semua warga negara mempunyai kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, bebas mengeluarkan pikiran secara tertulis dan lesan
tanpa mempersoalkan paham politik atau ideologi yang dianutnya
(pasal 28). Dalam Panca Sila, seperti yang diucapkan oleh Bung Karno
dalam lahirnya Panca Sila bahwa Negara Republik Indonesia ini
didirikan bukan buat satu golongan, tetapi semua buat semua. Undang-
undang, hukum, ketetapan, peraturan, dan sejenisnya sebagai ide atau
bangunan atas suatu masyarakat sangat tergantung pada alat pelaksana
ide yaitu kekuasaan politik. Berlakunya Undang-undang dan sejenisnya
sangat tergantung pada kekuasaan politik. Penguasa politik hanya
peduli pada undang-undang dan sejenisnya yang menguntungkan dirinya.
Soeharto nampaknya mengetahui dan memahami benar pemikiran tersebut,
maka ia membuat undang-undang, hukum, dan sejenisnya untuk
melindungi kepentingan politiknya.
Tap MPRS No. IX/1966 dan Tap MPRS No.XXV/1966 adalah langkah
awal secara hukum untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno. Untuk
mempercepat dalam mengambil alih kekuasaan Soekarno, Soeharto-
Nasution mendesak DPRGR mengusulkan Sidang Umum Istimewa MPRS dengan
alasan bahwa Presiden Soekarno melanggar GBHN karena tidak bersedia
membubarkan PKI. GBHN yang berlaku pada waktu itu adalah GBHN
Manipol yang berbasis pada NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis),
membubarkan PKI berarti bertentangan dengan GBHN Manipol.
Usul DPRGR untuk mengelar Sidang Istimewa tersebut disetujui
oleh MPRS Soeharto-Nasution, dan diselenggarakan SI MPRS pada
tanggal 7 Maret 1967 sampai dengan 12 Maret 1967. Soeharto-Nasution
menyadari bahwa MPRS hasil Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959
tidak dapat mengganti presiden. Menurut pidato kenegaraan Presiden
Soekarno 10 November 1960, MPRS tidak berwenang merubah UUD 1945,
dan memililh presiden dan wakil presiden. Tetapi Nasution kurang
menaruh perhatian tentang hal itu, ia mengatakan bahwa MPRS sekarang
ini adalah hasil pemilihan umum masa lalu, jadi syah untuk merubah
UUD 1945, dan mengangkat presiden dan wakil presiden, dan merupakan
satu-satunya kekuasaan negara yang tidak terbatas. Berdasarkan
pemikiran yang demikian ini MPRS Soeharto-Nasution mengeluarkan
Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967 tentang pencabutan kekuasaan
pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, dan Ketetapan MPRS No.
XXXVI/1967 tentang melarang Ajaran Soekarno.
Dengan dua Tap MPRS Soeharto-Nasution tersebut, Bung Karno
menghakhiri kekuasaannya. Soeharto berhasil merebut kekuasaan secara
hukum berdasar Supersemar dan Tap MPRS. Soeharto berhutang budi
besar kepada Nasution, sebab peranan Nasution sebagai ketua MPRS
sangat besar dalam melahirkan Tap MPRS No. XXXIII dan XXXVI/1967.
6. PKI Tidak Terlibat Gerakan 30 September 1965
Latief adalah pelaku kunci G/30S menjelaskan di depan
wartawan Tempo tanggal 16 April 2000 bahwa ide menghadapkan para
Jenderal (Yani dkk) adalah dari inisiatif kami (Latief, Untung,
Soepardjo, dan Soeyono), bukan ide dari PKI; tidak benar kami
diperintah PKI; jika ada informasi bahwa kami diperintah PKI itu
adalah informasi yang dibuat Soeharto untuk menutupi tindakannya.
Pendapat Latief itu dapat diterima oleh akal sehat, karena program
Partai Komunis untuk berkuasa pada umumnya adalah revolusi seperti
yang dilakukan di Rusia, China, Cuba, dll., bukan melalui kup.
Khusus di Indonesia, program PKI adalah mencapai demokrasi rakyat
melalui jalan demokratis dan parlementer seperti yang ditetapkan
pada Kongres Nasionak Ke V tahun 1954. Di samping itu kecil sekali
kemungkinannya PKI kup terhadap Presiden Soekarno, karena Presiden
Soekarno menjamin hak hidup PKI dengan konsep NASAKOM.
Di sisi lain, Brijen Soepardjo pada tanggal Satu Oktober
siang 1965 setelah melakukan gerakan melapor kepada Presiden
Soekarno, dan pada waktu itu juga Presiden Soekarno memerintahkan
Soepardjo untuk menghentikan G/30S. Itu menunjukkan bahwa PKI
sebagai organisasi tidak terlibat G/30S. Jika PKI secara organisasi
terlibat, maka: (1) Soepardjo seharusnya melapor kepada Aidit
sebagai Ketua Comite Central PKI, (2) Nyoto dan Lukman sebagai
anggota politbiro CC PKI tentu ditangkap sejak menghadiri sidang
kabinet 6 Oktober 1965, (3) PKI mengerahkan anggota dan massanya
untuk melawan pemerintahan Soekarno. Kenyataannya pada waktu itu
justru Soepardjo melapor kepada Presiden Soekarno, Nyoto dan Lukman
tidak ditangkap pada waktu menghadiri sidang kabinet tanggal 6
Oktober 1965, dan PKI tidak menggerakkan anggota dan massanya untuk
melawan pemerintahan Soekarno.
Aidit dan Syam Kamaruzaman secara pribadi mungkin terlibat
G/30S, karena kedua orang itu mempunyai hubungan erat dengan para
militer yang terlibat dalam G/30S. Syam sebagai biro khusus yang
mempunyai tugas membina tentara hanya bertanggung jawab kepada Aidit
pimpinan polit biro CC PKI. Mungkin di antara tentara yang terlibat
G/30S itu ada yang dibina oleh Syam. Tetapi itu tidak berarti bahwa
PKI sebagai organisasi terlibat G/30S. Soeharto melibatkan PKI
sebagai organisasi dengan G/30S hakikatnya adalah untuk
menghancurkan PKI karena PKI merupakan kekuatan politik pendukung
Bung Karno. Seperti dijelaskan di atas kekuatan Bung Karno adalah
Jenderal Achmad Yani dkk dari Angkatan Darat, para pelaku Gerakan 30
September 1965, dan PKI.
Presiden Soekarno tidak pernah berpikir dan merasa
dikhianati PKI. Itu dapat dilihat dari pernyataan beliau pada
tanggal 21 Oktober 1965 bahwa Gestoknya (Gerakan Satu Oktober 1965)
harus kita hantam, tetapi komunismenya tidak, karena ajaran komunis
itu adalah hasil obyektif dalam masyarakat Indonesia, seperti halnya
nasionalisme, dan agama. Itu menunjukkan bahwa Bung Karno
menempatkan dirinya sebagai negarawan besar, berpandangan obyektif,
berpikir jernih, dan mengutamakan persatuan bangsa. Beliau
mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh bahwa paham atau isme
itu tidak bisa dibunuh, walaupun orangnya dibunuh.
7. Ketakutan Soeharto
Salah satu ketakutan Soeharto dalam hidupnya adalah kalau
rakyat Indonesia mengetahui apa yang dibicarakan dengan Latief pada
tanggal 30 September 1965 pada jam 9 malam di rumah sakit Angkatan
Darat Gatot Soebroto Jakarta. Sampai sekarang ini pembicaraan kedua
insan tersebut masih diliputi kabut rahasia. Seperti dijelaskan di
atas bahwa dalam pertemuan itu, Latief memberi tahu Soeharto bahwa
nanti subuh dini hari akan dilakukan gerakan militer terhadap
Jenderal Achmad Yani dkk. Soeharto sebagai bawahan Yani seharusnya
menangkap Latief pada waktu itu, tetapi tidak dilakukan. Itu
menunjukkan bahwa kemungkinan Soeharto menghendaki Yani dkk
mengakhiri hidupnya.
Untuk menutupi kabut rahasia pertemuan di atas, Soeharto
membuat berbagai pernyataan antara lain sebagai berikut:
1. Kepada Arnold Brackman, Soeharto mengatakan bahwa pada
tanggal 30 September 1965 malam hari banyak kawan-kawannya yang
menjenguk anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit Gatot Soebroto
Jakarta, termasuk Kolonel Latief.
2. Kepada majalah Der Spegel dari Jerman Barat, Juni 1970,
Soeharto menjawab pertanyaan wartawan mengapa Jenderal Soeharto
tidak termasuk sasaran G/30S?. Soeharto menjawab bahwa bahwa Latief
datang ke rumah sakti Gatot Soebroto kira-kira jam 11 malam untuk
membunuh saya, tetapi niatnya dibatalkan karena di tempat umum.
3. Dalam otobiografinya sendiri, Soeharto mengatakan bahwa ia
hanya melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto; ia
melihat dari tempat ia menjaga anaknya yang sedang dirawat di rumah
sakit itu.
Dari tiga pernyataan tersebut, jelas terdapat perbedaan yang
mendasar, yaitu yang pertama, Latief datang ke rumah sakit Gatot
Soebroto untuk menjenguk anaknya, kedua, Latief datang ke rumah
sakit Gatot Soebroto untuk membunuhnya, dan yang ketiga, ia hanya
melihat Latief di koridor rumah sakit Gatot Soebroto. Ketiga
pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Soeharto ketakutan terhadap
dirinya sendiri tentang pertemuan "penting" dengan Latief pada
tanggal 30 September 1965 jam 9 malam.
Dalam pertemuan Soeharto-Latief tersebut dapat diduga:
1. Latief adalah anak buah Soeharto dalam G/30S/1965; jika
benar, maka Soeharto adalah "Pimpinan Tertinggi" G/30S/1965,
kemudian untuk menghilangkan jejaknya, Soeharto menyapu bersih
gerakan tersebut dengan pasukan khususnya.
2. Latief adalah sahabat sehidup-semati Soeharto; ia datang ke
rumah sakit Gatot Soebroto jam 9 malam tanggal 30 September 1965,
lima jam sebelum gerakan dimulai untuk memberitahu bahwa akan ada
gerakan membersihkan Jenderal Achmad Yani dkk, harap hati-hati, dan
bantulah kami; jika ini benar, maka Latief secara sadar atau tidak
sadar ia adalah "pengkianat" gerakan tersebut, karena memberitahukan
gerakan yang akan dilakukan kepada orang yang bukan pimpinannya.
Diduga yang mendekati kebenaran adalah pendugaan yang kedua
(Latief memberi tahu Soeharto tentang G/30S). Dengan demikian
hakikatnya tidak ada persahabatan yang sejati, yang ada adalah
persahabatan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama kita
bersahabat, jika kepentingannya berbeda, kita mengambil jalan yang
berbeda; atau tidak ada front persatuan universal, yang ada adalah
front persatuan berdasar kepentingan; jika kepentingannya sama maka
kita berada dalam satu front persatuan, jika kepentingannya berbeda
maka kita berjalan sendiri-sendiri.
8. Peranan Imperalisme
Pada tanggal 12 Agustus 1941 terjadilah suatu perjajian yang
maha penting karena dilakukan oleh dua tokoh terkenal di dunia yaitu
F.D. Roosevelt Presiden Amerika Serikat dan Winston Churchill
Perdana Menteri Inggris. Perjanjian itu dnamakan Perjanjian Atlantic
atau Atlantic Charter. Isi pokoknya ialah Sebuah Hari Depan Yang
Lebih Baik Bagi Dunia. Isi selengkapnya adalah:
1. Mereka tidak berupaya melakukan perluasan wilayah
2. Mereka tidak ingin melihat adanya perubahan wilayah yang
tidak diinginkan oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan
3. Mereka menghormati hak setiap bangsa untuk berdaulat
4. Semua negara bebas berdagang dan memperoleh bahan mentah
5. Kerjasama ekonom bagi semua bangsa
6. Hidup damai, bebas ketakutan
7. Bebas mengarungi samudera tanpa rintangan
8. Tidak diperkenankan memaksakan kehendak dengan kekuatan
senjata
Yang terpenting dalam perjanjian itu adalah bebas berlayar
tanpa rintangan, bebas berdagang, bebas memperoleh bahan mentah.
Amerika Serikat dan Inggris memiliki armada laut yang hebat, mereka
mudah menguasai dunia secara ekonomi, sosial, dan politik.
Hakikatnya perjanjian Atantik itu adalah membagi dunia
menjadi "milik" Amerika Serikat dan Inggris, itu diisyaratkan pada
perjanjian nomor 7.
Bangsa-bangsa lain harus "tunduk" (harus bersedia bekerja
sama) kepada kedua negara tersebut, khususnya di bidang ekonomi.
Nampaknya mereka sadar bahwa bentuk penjajahan dengan kekuatan
militer yaitu kolonialisme harus diganti dengan kekuatan ekonomi
yaitu imperalisme (neo-kolonialisme), itu diisyaratkan pada
perjanjian nomor 4, 5, dan 8. Dalam perjanjian nomor 6, bangsa-
bangsa di dunia harus membuat pakta pertahanan terutama dengan
Amerika Serikat dan Inggris, agar mereka bebas dari ketakutan perang
dan dapat hidup damai. Dapat dipastikan bahwa dalam pakta pertahanan
itu akan dihegemoni (dipimpin) dan didominasi (dikuasai atau
didekte) oleh pihak yang memiliki peralatan senjata yang kuat; dalam
hal ini adalah Inggris dan Amerika Serikat. Perjanjian nomor 1,2,
dan 3 mengisyaratkan bahwa tidak layak lagi melakukan kolonialisme
dengan kekuatan militer, mereka sadar bahwa itu hanya akan
mengakibatkan perang antar mereka seperti Perang Dunia Pertama dan
Kedua.
Sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Amerika Serikat dan
Inggris bersekutu untuk membuat badan keuangan dunia yang disebut
IMF (International Monetary Fund). Lembaga Keuangan Internasional
yang dibentuk itu antara lain:
· IMF, dibentuk di Bretton Woods, New Hampshire, Juli 1944
oleh kaum kapitalis internasional tujuannya: kerjasama moneter
internasional, stabilisasis kurs, menyediakan dana pinjaman untuk
memperbaiki neraca pembayaran, meningkatkan mobilitas dana antar
negara, mewujudkan perdaganan bebas.
· Bank Dunia (International Bank for Recontruction and
Development), 1944, tujuan: memberi pinjaman untuk pembangunan
ekonomi negara-negara anggota
· IFC (International Finance Corporation), tujuannya membantu
perusahaan swasta , terutama kaum Multi National Corporation atau
Trans National Corporation yaitu perusahaan-perusahaan raksasa yang
beroperasi di luar batas negaranya atau beroperasi di negara orang
lain
· IDA (International Development Association), tujuannya
membantu pembangunan ekonomi negara-negara yang kalah perang dan
negara-negara yang baru merdeka
· BIS (Bank for International Settlement), tujuannya membantu
negara tau perusahaan yang dilanda krisis keuangan
· RDA (Regional Development Agencies), tujuannya membantu
pembangunan ekonomi regional (Asia, Afrika, Amerika Latin).
Hakikatnya semua lembaga keuangan internatioanl yang dibentuk oleh
Amerika dan Inggris itu adalah sebagai alat negara kapitalis dan
MNC untuk menguasai ekonomi, sosial, politik, dan budaya Negara
Sedang Berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia. Bung Karno
pernah mengatakan bahwa menolak bantuan asing jika dikaitkan dengan
kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian Indonesia.
Nampaknya Bung Karno memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi
tentang taktik dan strategi negara-negara bekas kolonialis untuk
menguasai kembali negara-negara bekas jajahannya dengan model
bantuan keuangan dan ekonomi. Inilah yang lazim disebut Imperalisme,
yaitu suatu penjajahan bentuk baru dengan kekuatan modal, ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, lahirlah bangsa-bangsa
merdeka, termasuk bangsa Indonesia. Dalam kehidupan yang merdeka,
Presiden Soekarno ingin hidup ekonomi secara mandiri, artinya tidak
mau bergantung kepada modal asing, berdaullat dalam bidang politik,
dan berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia. Kebijakan Bung Karno
dalam bidang ekonomi khsusunya yang menyangkut perusahaan-perusahaan
asing adalah bahwa perusahaan-perusahaan asing yang ada di
Indonesia dijadikan milik negara yaitu menjadi Badan Usaha Miliki
Negara Republik Indonesia (BUMN RI). Itu artinya Bung Karno melawan
Atlantic Charter atau melawan Inggris dan Amerika atau melawan
imperalisme. Karena BUMN itu pada umumnya adalah bekas milik Inggris
dan Amerika. Berdasarkan tesis ini, maka Inggris dan Amerika harus
menyingkirkan Soekarno dari kekuasaannya.
Inggris dan Amerika mengetahui dan memahami bahwa kekuatan
Bung Karno adalah Jenderal Achmad Yani dkk dan PKI. Oleh sebab itu
untuk menggulingkan Bung Karno harus terlebih dahulu menghancurkan
Jenderal Yani dkk dan PKI. Metode yang digunakan ialah menciptakan
konflik di tubuh Angkatan Darat antara Jenderal Yani dan Jenderal
yang lainnya dan melibatkan pimpinan PKI dalam konflik tersebut.
Marshall Green duta besar AS di Jakarta beberapa bulan
sebelum G/30S telah datang di Jakarta. Ia adalah arsitek penjatuhan
Syngman Rhee di Korea Selatan. Diduga pengangkatan Green sebagai
duta besar AS di Indonesia adalah untuk maksud menjatuhkan Soekarno
dan menghancurkan PKI yang anti feodalisme, kolonialime, dan
imperalisme.
Rencana Barat Menghancurkan PKI sejak PKI berdiri tahun 1920-
an karena ciri utama perjuangan PKI adalah anti kolonialisme. Sejak
pemberontakan PKI melawan Belanda tahun 1926 sampai menjelang
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh PKI
dikejar-kejar oleh pemerintah Belanda kemudian oleh pemerintah
Jepang. Kemudian berturut-turut dilanjutkan dengan: (1) instruksi
rahasia Amerika pada waktu pemerintah Hatta dengan menggunakan
divisi Siliwangi untuk menghancurkan pelaku peristiwa Madiun 1948,
(2) rasionalisasi tentara yang lahir dari laskar rakyat yang banyak
didominasi oleh orang-orang yang bersimpati dengan PKI, (3) larangan
mogok dan razzia Agustus yang dilakukan oleh pemerintah Natsir dan
Sukiman tahun 1950-1951, (4) penindasan berdarah kaum tani di
Tanjung Morawa dan tempat-tempat lainnya sekitar tahun 1952-1953,
(5) pemberontakan bersenjata PRRI dan Permesta sejak tahun 1956-1961
yang sepenuhnya dibantu senjata oleh Amerika, (6) pemeriksaaan
Aidit, Nyoto, dan Sakirman sehubungan dengan pemikiran kritisnya
tentang Demokrasi Terpimpin; semuanya itu gagal sampai dengan tahun
1965.
Pada tahun 1965 bagi kaum imperalis melihat gejala di
Indonesia dari tiga dimensi yaitu: (1) PKI makin besar, hal ini
makin membahayakan pengaruh kaum imperalis terhadap Indonesia dan
menyulitkan mereka menanam modal di Indonesia, berarti kaum
imperalis makin sulit melakukan dominasi ekonomi dan politik di
Indonesia, (2) kekuasaan Angkatan Darat makin kuat, merupakan
kekuatan bagi kaum imperalis untuk menguasai kembali Indonesia
secara ekonomi dan politik, karena sebagaian jenderal Angkatan Darat
menjadi sahabat baik Amerika dan Inggris, dan (3) seriusnya
sakitnya Bung Karno, menjadi perhatian utama kaum imperalis untuk
dijadikan langkah awal menguasai Indonesia kembali pada saat Bung
Karno meninggal dunia. Ketiga gejala tersebut, diduga kaum imperalis
menyiapkan strategi untuk menempatkan Angkatan Darat menjadi
penguasa politik di Indonesia, dengan menyingkirkan jenderal-
jenderal pendukung Soekarno dan menghancurkan PKI, karena garis
politik PKI sejalan dengan garis politik Bung Karno yang anti
feodalisme, kolonialisme, dan imperalisme.
Hal yang menguntungkan kaum imperalis adalah bahwa pada
tahun 1960-1963, PKI telah dijinakkan oleh Bung Karno. Itu berarti
garis politik komunis dengan aksi dan revolusi bersenjatanya untuk
membangun pemerintahan demokrasi rakyat telah hilang. PKI tidak lagi
menjadi partai yang revolusioner, tetapi menjadi partai yang
evolusioner berbasis pada program parlementer; PKI yakin bahwa ia
dapat berkuasa melalui jalan parlementer. Hal itu dapat dilihat
sejak 1963, PKI tidak mempunyai program revolusi bersenjata seperti
di China, Kuba, Vietnam, Laos, dan Kamboja.
Pada tahun 1964, aksi sepihak PKI makin meluas di di
pedesaan, menuntut dibelakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
yang intinya tanah untuk petani, bukan untuk tuan tanah, dan
menuntuk diberlakukannya Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH),
yang intinya petani penggarap harus diuntungkan. Aksi ini hanya
merupakan aksi ekonomi, bukan aksi politik bersenjata. Aksi ini
melahirkan konflik sosial antar pengikut PKI dengan pengikut Partai
lainnya, karena sebagian pemilik tanah luas adalah menjadi anggota
partai lain seperti PNI, NU, dsb. Aksi sepihak itu merupakan
tindakan PKI membuka front pertentangan dengan rakyat pengikut
partai lain.
Setelah pemilu 1955, Soekarno menemukan jatidirinya yaitu
anti kolonialisme baru (imperlasime) dan bekerja sama dengan PKI
untuk mengganyang (menghancrukan) Malaysia. Oleh Soekarno, Malaysia
adalah boneka Inggris dan Amerika untuk mengepung Indonesia.
Pendapat ini didukung oleh PKI. Dalam hal ini PKI kurang tepat
sasarannya. Mestinya sasaran PKI adalah anti imperalisme di
Indonesia, bukan anti Malaysia. Malaysia sebagai boneka Inggris dan
Amerika adalah masalah yang abtrak, yang kongkrit adalah penghisapan
dan penindasan kaum imperalis di Indonesia melalui penanaman modal
asing. Keadaan yang demikian, Inggris dan Amerika makin marah
terhadap PKI.
Konflik Bung Karno dengan Angkatan Darat adalah
masalah "Angkatan Kelima" yaitu buruh dan tani harus
dipersenjatai; ini mungkin gagasan PKI yang ingin meniru Revolusi
Tiongkok, di mana kaum tani bersenjata dibantu kaum buruh bersenjata
melawan tuan tanah. Di samping itu konflik Soekarno dengan Angkatan
Darat adalah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Nasution
dan Gatot Subroto ingin merebut kekuasaan. Konflik Soekarno dengan
Angkatan Darat yang paling gawat adalah bahwa sebagian Jenderal-
Jenderal Angkatan Darat (Dewan Djenderal) tidak setuju dengan
program revolusi Indonesia yang belum selesai dan adanya berita
bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kup tanggal 5 Oktober 1965.
Berita kup Dewan Jenderal itu diperoleh dari dokumen Sir
Andrew Gilchrist Duta Besar Inggris di Indonesia; ia mengatakan
kepada temannya Amerika, bahwa operasi militer telah dispersiapkan
dengan our local army friends. Soekarno marah dan PKI terjebak
dengan berita tersebut. Dokumen Gilchrist itu sengaja
disebarluaskan. Dokumen kup Dewan Jenderal sengaja dibocorkan, yang
terdiri dari Nasution, Yani, Harjono, Suparpto, S. Parman, Sutojo,
Sukendro, Sumarno Ibu Sutowo, Rusli. Anggotanya 40 orang di mana
Soeharto masuk di dalamnya, aktif 25 orang, 7 orang diantaranya
adalah pimpinan puncak. Mungkin dokumen itu sengaja dibuat oleh
Gilchrist untuk memancing Bung Karno marah dan mengadakan tindakan
pembersihan di tubuh Angkatan Darat yaitu Jenderal Yani dkk., di
mana sebenarnya mereka itu adalah pendukung setia Bung Karno. Bung
Karno memerintahkan Letnan Kolonel Untung dari kesatuan Cakarabirawa
pengawal presiden, untuk membereskannya.
Perintah Bung Karno kepada Untung tersebut disambut baik
oleh sebagian pimpinan PKI yaitu Aidit dan Syam Kamaruzaman. Kedua
tokok PKI itu yakin bahwa Bung Karno dengan kekuatan pasukan
Cakrabirawa dapat menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, maka
Untung bergerak mendahuluinya dengan mengadakan gerakan penangkapan
para Jenderal pada tanggal 30 Septerber 1965, yang dikenal peristiwa
G/30S.
Konflik intern Angkatan Darat sebenarnya dimulai dari
Nasution kontra Yani. Yani menggantikan Nasution sebagai Panglima
Angkatan Darat; Yani setuju Soekarno bahw Nasution sebagai Panglima
Angkatan Bersenjata hanya tugas administratif saja, Yani mengganti
orang-orang Nasution di Kodam-Kodam. Yani setuju pembubaran panitia
Rituling Apratur Negara yang dipimpin oleh Nasution. Soeharto dan
Basuki Rachmad, dkk menjadi mediator konflik Nasution-Yani. Diduga,
Soeharto memanfaatkan konflik Nasution lawan Yani, Yani lawan
Soekarno, dan konflik Yani lawan PKI. Pada trahun 1965 Yani dan
Nasution bersatu melawan Soekarno dan PKI, karena merasa bahwa
Soekarno selalu mengikuti politik PKI, atau mungkin karena Bung
Karno memberi ruang gerak yang leluasa bagi PKI untuk mengadakan
propaganda anti feodalisme, kolonialisme dan imperlisme.
Hakikatnya dalam kubu Angkatan Darat terdapat empat
kelompok, yaitu: Kubu Nasution dkk, Yani dkk, Soeharto dkk.(terutama
trio Soeharto-Yoga Sugama-Ali Murtopo), dan kubu Jenderal Mursjid
dkk calon pengganti Yani tanggal 1Oktober 1965. Dari empat kelompok
tersebut, Inggris dan Amerika diduga bersekutu dengan kubu Soeharto,
karena Soeharto tidak anti Amerika. Amerika kurang percaya kepada
Nasution, karena Nasution gagal kup 17 Oktober 1952. Amerika kurang
percaya kepada Yani, karena Yani telah menghancurkan PRRI dan
Permesta yang didukung senjata Amerika. Amerika tidak percaya kepada
Mursyid, karena Mursyin pengikut Bung Karno yang sangat loyal,
patiot, dan nasionalis anti imperalisme. Berdasarkan informasi di
atas, diduga Inggris dan Amerika dengan CIA nya membantu Soeharto
untuk naik ke panggung kekuasaannya. Tujuannya adalah penguasaan
sumber-sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya raya. Jadi
tujuannya adalah penguasaan ekonomi, yaitu masuknya modal asing atau
Multi National Corporation mendominasi ekonomi Indonesia.
Kenyataanya, sejak Soeharto berkuasa sampai saat ini, modal asing
menguasai ekonomi Indonesia.
9. Strategi Soeharto Untuk Berkuasa
Soeharto berpura-pura menjadi anggota Dewan Jenderal untuk
memantau persiapan yang sedang dilakukan; Yoga (Trio Soeharto)
memberi info kepada S. Parman (atasannya Yoga) bahwa akan ada
penculikan-penculikan. Tentu saja tindakan Yoga itu diketahui oleh
Soeharto. S. Parman tidak percaya atas kebenaran info Yoga
tersebut. Tujuan info info itu adalah untuk mengetahui apakah Yani
tahu atau tidak tentang akan adanya gerakan 30 September. Ternyata
Yani belum tahu, berdasar ketidakpercayaan S. Parman tentang info
tersebut. Diduga Soeharto menyimpulkan bahwa rencana Untung dkk
melakukan penculikan 30 September belum diketahui oleh lawan Yani
dkk). Keadan sekitar peristiwa 30 September menguntungkan Soerharto;
kalau Untung gagal membunuh Yani dkk, Soeharto menjadi pahlawan,
karena ia dengan kawan-kawannya telah memberitahu S. Parman
sebelumnya; dan jika Untung berhasil menangkap Yani dkk, Untung dkk
harus dilenyapkan. Ternyata yang menjadi kenyataan adalah Untung dkk
berhasil menangkap dan membunuh Yani dkk, kemudian Untung
dilenyapkan oleh Soeharto dkk. Soeharto dkk naik ke panggung
kekuasaan Republik Indonesia.
Peristiwa G/30S yang hampir mirip pernah dilakukan
sebelumnya oleh Soeharto pada peristiwa penolakan pengangkatan
Panglima Kodam Diponegoro, dan pada tahun 1946, yang dikenal dengan
peristiwa 3 Juli 1946. Soeharto mampu menggusur Kolonel Bambang
Supeno yang akan dilantik menjadi Panglima Kodam Diponegoro, dengan
cara menyuruh Yoga dkk mengadakan rapat gelap di Kopeng Salatiga
Jawa Tengah yang hasilnya adalah menolak Bambang Supeno menjadi
Panglima Kodam Diponegoro. Akhirnya Soekarno membatalkan
pengangkatan tersebut dan menggantinya dengan Letkol Soeharto.
Soeharto mampu menggagalkan kup 3 Juli 1946, yang dilakukan
oleh Tan Malaka dari Partai Murba bersama militer di Jawa Tengah
termasuk Soeharto. Pada tanggal 27 Juni 1946 Perdana Menteri Syahrir
dkk diculik oleh Soedarsono komandan Divisi III, Sutarto Komandan
Militer, dan Abdul Kadir Yusuf Komandan Batalyon di Surakarta.
Tanggal 1 Juli 14 orang sipil pendukung komplotan penculik ditangkap
dan dijebloskan di penjara Wirogunan Yogya. Sudarsono, Abdul Kadir
Yusuf, Sucipto Kepala Intelejen AD, berkumpul di markas Soeharto
Komandan Resimen III di Wijoro. Pada tanggal 2 Juli 1946 mereka
menggerakkan dua batalyon dari Resimen I dan Resimen III untuk
membebaskan kawan-kawannya yang dipenjara di Wirogunan dan berhasil,
dan berhasil menguasasi stasion radio, kantor telpon. Dari
Wirogunan, kawan-kawan yang dipenjara dibawa ke markas Soeharto
untuk dilindungi. Malamnya mereka mempersiapkan kup untuk
membubarkan pemerintah Syahrir dan Amir Syarifudin, tetapi dapat
digagalkan. Pelaku-pelakunya diadili, dan Soeharto berbalik arah
bahwa keberadaan kawan-kawan di markasnya itu adalah dalam rangka
mengamankannya atau menawannya. Soeharto tampil sebagai pahlawan.
Untung dan Latief yang gagah berani adalah bekas anak buah
Soeharto. Supardjo dan Soeharto adalah sama-sama menjadi anggota
dewan jenderal, Soeharto Panglima Kostrad, Supardjo wakil Panglima
Kostrad dan merangkap Panglima KOLAGA (Komando Mandala Siaga).
Untung, Latief, Supardjo, adalah pimpinan kolektif G/30S yang
mempunyai hubungan baik secara pribadi dengan Soeharto.
Dalam kondisi yang demikian itu, Soeharto memiliki empat
jalur yaitu : (1) jalur Dewan Jenderal di mana ia sebagai salah
satu anggotanya; dalam jalur ini Soeharto dapat memantau rencana
Dewan Jenderal mengadakan kup, (2) jalur Sujono, dan Dul Arief
sebagai pelaksana G/30S, (3) jalur Latief, Untung dan Soeparjo,
yaitu pimpinan kolektif G/3S, dan (4) jalur luar negeri dukungan
Inggris dan Amerika yang ingin melenyapkan Bung Karno. Keempat jalur
tersebut berhasil dikelola oleh Soeharto dkk untuk memenangkan
pertandingan merebut kekuasaan politik dari Bung Karno. Kemudian
Soeharto melaksanakan kekuasaan politik yang didukung oleh Angkatan
Darat, Inggris, dan Amerika. Modal asing mengalir masuk ke Indonesia
dengan dilindungi oleh Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA).
Politik Ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) Soekarno
runtuh diganti oleh politik ekonomi liberal kapitalisme; berdaulat
di bidang politik hancur, diganti oleh politik yang dihegemoni oleh
imperlisme; kepribadian dalam kebudayaan hancur, diganti oleh
kebudayaan Barat individualistik dan liberalistik.
10. Renungan Filsafat
Tidak ada kata terlambat dalam kamus politik. Yang ada
adalah bahwa kegagalan adalah awal dari kemenangan. Bangsa Indonesia
telah gagal membangun dirinya yaitu gagal berdikari dalam bidang
ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan gagal berkepribadian
dalam bidang kebudayaan. Kegagalan itu harus menjadi bahan pelajaran
untuk menuju sukses dengan cara melakukan pendidikan politik bagi
rakyat melalui kegiatan partai politik, kegiatan mahasiswa, dan
kegiatan kaum cendekiawan. Ketiga elemen masyarakat itu harus
bersatu padu mendidik rakyat agar rakyat sadar politik, kemudian
mampu membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan,
dan mampu membebaskan diri dari cengkeraman imperalisme (penjajahan
dalam bentuk baru).
Bagi PKI, kehancurannya itu disebabkan karena salahnya
sendiri, karena penyakit subyektivisme dalam bidang ideologi,
avonturisme dalam bidang politik, dan legalisme-liberalisme dalam
bidang organisasi. Ketiga jenis kesalahan itu yang membawa
kehancuran PKI. Semua organisasi politik yang menderita tiga
penyakit itu pasti akan hancur. Organisasi politik yang mampu
bertahan hidup adalah organisasi yang obyektif (memihak kepada
kepentingan mayoritas rakyat) di bidang ideologi, garis perjuangan
jelas dan konsisten membela kepentingan sebagian besar rakyat di
bidang politik, dan harus ada kristalisasi kader dan disiplin tinggi
di bidang organisasi.
Jakarta, 28 Februari 2001