[Nusantara] Agama dan Otentisitas Islam
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:04:31 2002
Agama dan Otentisitas Islam
Oleh : Azyumardi Azra
Munculnya berbagai gerakan Islam yang cukup menonjol dalam beberapa
tahun
terakhir pasca-jatuhnya Soeharto yang dipimpin warga 'keturunan Arab'
menarik dicermati. Kenyataan ini bisa dilihat dari kepemimpinan
puncak
kelompok seperti Lasykar Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI),
Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Ikhwan al-Muslimun Indonesia
(JAMI),
dan
lain-lain. Pemimpin utama LJ adalah Ja'far Umar Thalib; FPI adalah
habib
Rizieq Shihab, MMI adalah Abu Bakar Ba'asyir, JAMI adalah Al-Habshi.
Kelompok-kelompok seperti ini menjadi menonjol terutama karena
pemahaman
keagamaan yang cenderung literal dan aksi-aksi mereka yang cenderung
radila.
LJ misalnya terkait dengan "jihad" di Maluku dan Ambon; FPI dengan
razia dan
perusakan kafe, diskotik, klub-malam, tempat-tempat perjudian dan
lokasi-lokasi maksiat lainnya. Sedangkan pimpinan MMI Abu Bakar
Baasyir
bahkan disebut banyak kalangan asing (seperti majalah Time),
pemerintah
AS,
Lee Kuan Yew, dan lain-lain sebagai pimpinan organisasi Jamaah
Islamiyah
(JI) yang memiliki jaringan di Asia Tenggara (khususnya Singapura dan
Malaysia), dan selanjutnya dianggap berkaitan (allegendly linked)
dengan
jaringan Al-Qaidah.
Fenomena kemunculan kelompok-kelompok ini sangat terlihat pada masa
pasca-Soeharto. Visibilitas itu semakin terlihat karena liputan
media
massa,
khususnya tv, sehingga menimbulkan luasnya pengaruh gerakan mereka.
LJ
misalnya pernah menyelenggarakan Tabligh Akbar di Stadion Utama
Senayan
untuk menunjukkan solidaritas terhadap kaum Muslimin di Maluku.
Mereka menghimbau agar kaum Muslimin melakukan jihad menghadapi
golongan
Kristen di Maluku. Kelompok-kelompok ini juga menghimbau penerapan
syari'ah
Islam oleh negara untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi
Indonesia.
Selain itu, kelompok-kelompok seperti ini menolak kepemimpinan
perempuan
dengan alasan gender; bahwa Islam tidak membenarkan perempuan menjadi
pemimpin.
Mengamati pemahaman Islam, wacana dan praksis yang mereka
kembangkan,
maka
secara singkat kelompok-kelompok ini dapat dikategorikan sebagai
kelompok
"salafi radikal", yang berorientasi kepada penegakan dan pengamalan
"Islam
yang murni", "Islam otentik" yang dipraktekkan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya. Mereka disebut sebagai "salafi radikal" karena mereka
cenderung
menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan,
daripada
dengan pendekatan dan cara-cara damai dan persuasif.
Kemenonjolan warga keturunan Arab dalam kepemimpinan kelompok-
kelompok
seperti ini pada segi tertentu tidak mengherankan. Hal ini karena
secara
historis dan sosiologis, terdapat warga keturunan Arab yang
memandang
bahwa
diri mereka -- sebagai keturunan Arab -- memiliki tugas suci u ntuk
"memurnikan Islam Indonesia" dan membawanya menjadi "Islam murni",
"Islam
otentik" sebagaimana dipahami dan dipraktekkan di tanah Arab. Islam
Indonesia dipandang sebagai "Islam tidak murni" yang telah tercampur
dengan
kepercayaan dan praktek keagamaan lokal.
Kajian-kajian komparatif tentang Islam Timur Tengah dengan Islam
Indonesia
yang dilakukan para ahli seperti Prof. Nikki Keddie (UCLA) dan Dr
Mona
Abaza
(American University, Kairo) menunjukkan, terdapatnya pandangan di
kalangan
orang-orang Arab baik di Timur Tengah maupun di Indonesia sendiri,
bahwa
Islam Timur Tengah "lebih baik", "lebih otentik", "lebih murni"
dibandingkan
dengan Islam Indonesia. Penelitian dan kajian mereka juga
membuktikan,
bahwa
sebenarnya pemahaman dan praktek Islam yang tidak murni juga
terdapat
di
Timur Tengah; penyimpangan terhadap norma-norma Islam juga dapat
ditemukan
di mana-mana di Timur Tengah.
Penampilan warga keturunan dalam kelompok-kelompok yang disebutkan
di
atas
dalam segi-segi tertentu akan dan dapat menimbulkan kesan, bahwa
seluruh
warga keturunan Arab memiliki pemahaman dan praksis Islam seperti
itu.
Persepsi seperti ini adalah keliru, karena sesungguhnya warga
keturunan
Arab
tidaklah monolitik, sebaliknya mereka plural; mereka beragam bahkan
tidak
hanya dalam pandangan dan praksis keagamaan, teapi juga dalam
stratifikasi
sosial, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap dan interaksi mereka
dengan
kaum Muslim pribumi Islam.
Karena itu, jika dilakukan klasifikasi sikap keagamaan yang terdapat
di
kalangan warga keturunan Arab, maka dapat ditemukan tiga kelompok
besar:
pertama, kelompok moderat, yang pemahaman dan praktek keagamaannya
sama
atau
sebagian besarnya sama dengan mainstream mayoritas Muslim Indonesia,
sebagaimana lazim terlihat dalam organisasi-organisasi besar seperti
NU,
Muhammadiyah.
Dari kalangan warga keturunan Arab, kelompok ini diwakili misalnya
oleh
organisasi Jami'at Khair dan al-Irsyad, dan kelompok-kelompok atau
individu-individu keturunan Arab lainnya. Kedua, kelompok "sekuler",
yang
tidak memiliki perhatian dan kepedulian khusus kepada hal-hal yang
berbau
Islam. Mereka ini tidak terbentuk menjadi kelompok yang solid, dan
sebaliknya lebih merupakan individu-individu independen yang
cenderung
tidak
terkait -- apalagi aktif -- dalam gerakan Islam maupun wacana Islam.
Ketiga,
kelompok "salafi radika" yang kemudian menjadi pemimpin
kelompok-kelompok
yang disebutkan di awal.
Keragaman warga keturunan Arab di Indonesia juga berkaitan dengan
asal
daerah mereka di Timur Tengah. Di Indonesia terdapat warga keturunan
Arab
yang berasal dari Mesir, Arab Saudi, Iraq, dan Yaman. Belum pernah
dilakukan
penelitian tentang asal muasal daerah ini, tetapi bisa dipastikan
bahwa
mayoritas warga keturunan Arab di Indonesia berasal dari kawasan
Hadhramaut,
Yaman Selatan.
Imigrasi orang-orang Hadhramaut ke Indonesia dalam jumlah besar dan
massif
terjadi terutama sejak abad 19, dan kemudian mereka membentuk
enklave-enklave di berbagai kota di Indonesia; Petamburan dan Kwitang
(Batavia), Pekalongan, Surakarta, Surabaya, Pontianak, Palembang, dan
lain-lain. enklave-enklave ini sebagiannya masih bertahan,
sebagiannya
lagi,
karena urbanisasi, telah bercampur dengan warga-warga lainnya.
Secara sosiologis, warga keturunan Hadhramaut di Indonesia mewarisi
stratifikasi sosial yang rumit sebagaimana terdapat di tanah leluhur
mereka.
Secara garis besar stratifikasi sosial itu adalah sebagai berikut:
Pertama,
golongan sayyid (perempuannya, syarifah), yakni mereka yang merupakan
keturunan Nabi Muhammad. Kelompok sayyid ini dapat dibagi pula
menjadi
dua:
sayyid relijius yang berorientasi pada Islam, yang kemudian umumnya
menggunakan gelar habib (atau haba'ib).
Kedua, sayyid yang tidak secara khusus berorientasi Islam, jika
tidak
dapat
disebut "sekuler". Kaum sayyid pada dasarnya hanya melakukan
perkawinan
di
antara mereka sendiri dengan alasan kafa'ah (sederajat). Kedua,
kelompok
qaba'il, yang merupakan kepala-kepala atau kalangan pemuka kabilah,
suku,
atau klan. Ketiga, kelompok masyayikh atau syekh-syekh, ulama yang
merupakan
ahli-ahli agama, yang tidak merupakan sayyid. Mereka bisa juga
datang
dari
kalangan qaba'il. Keempat, kelompok "muwallad", yakni golongan
"peranakan",
yang darahnya tidak lagi murni Hadrami, sudah tercampur melalui
perkawinan
dengan etnis lain.
Kontes dan pertarungan pengaruh terjadi di antara berbagai kelompok
ini. Di
Indonesia, misalnya, hal ini dapat dilihat dari terjadinya konflik
di
antara
kelompok sayyid dan non-sayyid dalam organisasi Jami'at Khair pada
awal
abad
20, yang berakhir dengan keluarnya kelompok non-sayyid dari Jami'at
Khayr
untuk selanjutnya mendirikan organisasi baru, al-Irsyad. Pertarungan
dan
persaingan ini nampaknya terus berlanjut membuat organisasi warga
keturunan
Arab cenderung rentan terhadap perpecahan, seperti bisa dilihat dalam
al-Irsyad belum lama ini.
Kontes, persaingan, dan perebutan pengaruh sebenarnya juga terjadi
di
antara
kepemimpinan warga keturunan Arab dengan kepemimpinan Muslim
pribumi,
meski
ini lebih terselubung, tidak terkuak secara jelas ke permukaan.
Dengan
berbagai pretensi yang mereka miliki, sebagaimana diisyaratkan di
atas,
terdapat kecenderungan dan gejala di kalangan kepemimpinan warga
keturunan
Arab dengan orientasi "salafi radikal" untuk tidak terlalu
mempercayai
kepemimpinan Muslim pribumi.
Bagi mereka terdapat kesan, bahwa kepemimpinan terakhir ini terlalu
"kompromistis" dan "akomodatif" baik terhadap kepemimpinan politik
Indonesia
maupun situasi sosial-budaya Indonesia yang menghadapi berbagai
"penyakit"
berat. Pandangan yang cenderung sama juga kelihatannya berlaku
terhadap
organisasi-organisasi keturunan Arab yang telah mapan, seperti
Jami'at
Khair
dan al-Irsyad.
Berdasarkan alasan inilah maka kepemimpinan warga keturunan Arab
dengan
orientasi "salafi radikal" tadi, cenderung mendirikan kelompoknya
sendiri-sendiri, sehingga mereka percaya bisa lebih efektif dalam
usaha
mewujudkan agenda-agenda mereka. Karena tema-tema wacana dan praksis
yang
mereka angkat cukup kontekstual dengan situasi sosial-budaya dan
politik
Indonesia, maupun dengan situasi politik internasional -- khususnya
dalam
kaitan dengan AS -- maka kelompok-kelompok dan gerakan mereka dengan
segera
mendapatkan keanggotaan yang tidak terbatas pada warga keturunan
Arab,
tetapi juga mencakup Muslim pribumi.
Meningkatnya pencarian "otentisitas Islam" di kalangan masyarakat
Indonesia
umumnya dalam dua dasawarsa terakhir ini membuat kelompok-kelompok
"salafi
radikal" tadi menjadi alternatif menarik bagi sebagian orang yang
tengah
mencari "Islam otentik" tersebut.
Menghadapi gejala sosio-relijius ini, sudah pada tempatnya
organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah dan NU merumuskan
pemikiran
dan program alternatif. Kehausan dan pencarian "Islam otentik"
nampaknya
akan terus berlanjut, dan waktunya Muhammadiyah, NU dan
organisasi-organisasi mainstream lainnya bersikap lebih pro-aktif
untuk
mengantisipasi perkembangan seperti ini. Wallahu a'lam bish shawab.
Gurubesar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta