[Nusantara] Jamaah Islamiyah dan Tragedi 12 Oktober

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:05:05 2002


Jamaah Islamiyah dan Tragedi 12 Oktober
Oleh Riza Sihbudi

JIKA nama kelompok Al Qaedah pimpinan Usamah bin Ladin mendadak 
begitu
populer di seantero dunia setelah terjadi Tragedi 11 September 2001, 
maka
nama kelompok Jamaah Islamiyah (JI) menjadi populer setelah Tragedi 
12
Oktober 2002 di Legian, Bali.

Al Qaedah dan Bin Ladin, oleh Pemerintah AS dituding sebagai ''dalang
utama'' serangan terhadap simbol-simbol kedigdayaan negara 
superpower 
itu,
dan karena itu kini dianggap sebagai musuh utama AS. Sedangkan JI 
dituduh
oleh Pemerintah Australia - yang warganya menjadi korban terbanyak 
di 
Bali -
sebagai ''dalang utama'' pengeboman di kawasan Legian. Oleh berbagai 
media
massa Barat, JI dianggap sebagai ''cabang'' Al Qaedah di Asia 
Tenggara,
khususnya Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Hanya sehari setelah terjadi Tragedi 12 Oktober, penguasa Australia 
sudah
dapat memastikan bahwa pelaku utamanya adalah kelompok JI. Padahal, 
aparat
keamanan yang bekerja keras di lapangan masih belum menemukan 
bukti-bukti
otentik. Ironisnya, hal serupa dinyatakan pula oleh Menhan Matori 
Abdul
Djalil, yang dalam tiga kesempatan terpisah mengaku sangat yakin 
bahwa
pelaku pengeboman Legian adalah jaringan Al Qaedah. Padahal, Menko 
Polkam SB
Yudhoyono berkali-kali menegaskan belum menemukan bukti keterlibatan 
Al
Qaedah dan JI dalam Tragedi 12 Oktober.

Dalam sidangnya pada 26 Oktober lalu, Dewan Keamanan PBB secara resmi
memasukkan JI sebagai kelompok teroris yang ke-88. Sebab itu, PBB
memerintahkan kepada semua anggotanya untuk: (1) membekukan

Dalam sidangnya pada 26 Oktober lalu, Dewan Keamanan PBB secara resmi
memasukkan JI sebagai kelompok teroris yang ke-88. Sebab itu, PBB
memerintahkan kepada semua anggotanya untuk: (1) membekukan seluruh 
aset JI;
(2) tidak memberikan fasilitas apa pun kepada JI; dan (3) mencegah JI
melakukan transaksi persenjataan.

Resolusi DK PBB No 1267 itu didukung sepenuhnya oleh semua negara
anggotanya. Deplu RI pun termasuk yang mengusulkan kepada PBB agar JI
dimasukkan ke dalam daftar kelompok-kelompok teroris internasional, 
kendati
Menko Polkam membantahnya. ''Indonesia tidak melakukan langkah 
inisiatif
untuk mendorong negara-negara atau pihak-pihak lain untuk 
mendeklarasikan JI
sebagai teroris internasional,'' kata Yudhoyono, 24 Oktober lalu.

Silang pendapat di kalangan petinggi (Menko Polkam, Menhan, Menlu) 
itu
sebenarnya mencerminkan adanya keraguan di tubuh pemerintahan RI soal
keberadaan dan peranan JI, khususnya dalam kasus Tragedi 12 Oktober, 
selain
tentu saja mencerminkan tidak adanya koordinasi dan profesionalisme 
di
kabinet Megawati Soekarnoputri. Yang tampak jelas justru adanya 
kepanikan
pemerintah kita dalam menghadapi gencarnya tekanan pihak asing, 
khususnya
AS-Australia-Singapura. Ironisnya, pada saat situasi dalam tubuh
pemerintahannya diliputi kepanikan, sang presiden justru melanglang 
buana.
Barangkali dia merasa sudah cukup hanya dengan menerbitkan Perpu
Antiterorisme dan dua inpres susulannya.

Silang pendapat soal JI sebenarnya juga tidak hanya muncul di 
kalangan
pemerintahan, tetapi juga di kalangan masyarakat (termasuk ormas, 
pers, 
dan
para pengamat). Sejumlah tokoh Islam, misalnya, secara tegas 
menyatakan
bahwa JI sama sekali tidak dikenal di kalangan mainstream 
gerakan-gerakan
Islam ''radikal'' di Indonesia. Senada dengan itu, Majelis Ulama 
Indonesia
(MUI) menegaskan, nama JI tidak ada dalam daftar organisasi/kelompok 
Islam
yang diakui keberadaannya di republik ini.

Namun, sebagian media massa dan para pengamat kita meyakini adanya 
jaringan
JI di Indonesia. Menurut mereka, Abu Bakar Ba'asyir adalah bagian 
dari
jaringan JI. Padahal, Resolusi 1267 DK PBB itu hanya memunculkan nama
Abdullah Sungkar (alm) sebagai pimpinan JI, sedangkan nama Ba'asyir 
sama
sekali tidak disebut-sebut.


* * *

Selama pelaku sesungguhnya dari Tragedi Bali belum ditemukan, maka
kontroversi soal JI tampaknya akan terus berlanjut. Skenario
AS-Australia-Singapura sudah jelas terbaca. Bagi mereka, pelaku 
peledakan
Legian adalah orang/kelompok muslim, entah itu JI atau Al Qaedah. 
Skenario
ini didukung sepenuhnya oleh Dephan dan - kemungkinan besar - Deplu, 
BIN,
dan Polri serta sejumlah media massa dan para pengamat, yang secara 
langsung
atau tidak langsung berorientasi atau berafiliasi pada 
kekuatan-kekuatan
politik sekuler dan pro-AS.

Tujuan mereka pun jelas, yaitu menghambat atau kalau bisa melemahkan 
posisi
gerakan-gerakan Islam Indonesia yang belakangan makin vokal dalam
menyuarakan sikap mereka, baik dalam konteks penerapan ajaran Islam 
maupun
penentangan mereka terhadap konspirasi AS-Israel di tingkat global.

Mereka sama sekali menafikan kemungkinan adanya pelaku/aktor lain 
dalam
kasus pengeboman Legian. Seorang wartawan majalah Time menceritakan
pengalamannya yang menarik. Ketika dia menemukan indikasi 
keterlibatan 
aktor
lain dalam kasus Bali, atasannya tidak mau menerima, karena sang bos 
hanya
mau orang/kelompok muslimlah yang harus dijadikan sebagai tertuduh 
utama.
Sebab itu, opini harus diarahkan ke kelompok muslim.

Memang, ada perkembangan yang sangat tidak sehat dari arus informasi 
dewasa
ini, yaitu muncul kecenderungan kuat untuk menjadikan opini sebagai 
barang
''bukti material''. Artinya, seorang Abu Bakar Ba'asyir yang belum 
tentu
bersalah, bisa dijadikan sebagai terdakwa hanya karena gencarnya 
informasi
dan opini yang sistematis dan terus-menerus yang menyudutkannya. 
Padahal,
Tragedi 12 Oktober sesungguhnya menyimpan banyak kemungkinan.

Keterlibatan jaringan intelijen asing yang profesional (CIA, Mossad, 
M16),
misalnya, seharusnya tidak diabaikan begitu saja. Begitu pula 
kemungkinan
terlibatnya elemen-elemen (''oknum'') tertentu di tubuh aparat 
intelijen,
kepolisian, dan militer kita, serta jaringan sisa-sisa Orde Baru 
yang 
masih
kuat. Atau bisa juga, seperti disinyalir beberapa kalangan, 
pelaku/aktor
utama peledakan bom Bali adalah mereka yang bergelut di dunia hitam, 
seperti
para mafia narkoba.

Menjadikan Jamaah Islamiyah (yang dalam bahasa kita berarti ''umat 
Islam'')
sebagai satu-satunya tertuduh dalam kasus Bali, pada hakikatnya sama 
saja
dengan tindakan menzalimi mayoritas bangsa ini. Atau, jangan-jangan 
kita
memang sedang kembali ke era 1980-an, ketika rezim Soeharto melakukan
penindasan terhadap gerakan-gerakan Islam, dan (kemudian) juga 
terhadap
siapa pun yang memperjuangkan demokrasi serta hak-hak asasi manusia.
Wallahu'alam.

- Riza Sihbudi, Wakil Ketua Umum PP Asosiasi Ilmu Politik Indonesia 
(AIPI).
(16t)