[Nusantara] Bahasa Indonesia Tak Lagi Pemersatu

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:05:36 2002


Bahasa Indonesia Tak Lagi Pemersatu
Oleh Sukirno

Senin, 28 Oktober 2002
Sesuai dengan perkembangan dan dinamikanya, penggunaan bahasa 
Indonesia
selalu terbuka untuk dikritik dan diperbaiki dari masa ke masa. Dalam
menjunjung tinggi bahasa nasional, maka disiplin dalam berbahasa 
Indonesia
menempati posisi penting karena bahasa menunjukkan identitas bangsa, 
selain
adanya komitmen untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai 
bahasa
persatuan dan bahasa negara. Dalam diskusi "Penggunaan Bahasa 
Indonesia 
pada
Media Cetak dan Elektronik" di Jakarta, Rabu (9/10), diungkapkan 
bahwa
penggunaan bahasa Indonesia oleh media massa dalam era reformasi 
sudah
menjurus kebablasan. Euforia reformasi yang lepas kendali tampaknya 
juga
telah merugikan perkembangan bahasa Indonesia hingga kini.

Marah Sakti (Ketua Persatuan Wartawan Indonesia DKI Jakarta), yang 
berbicara
dalam sesi pertama menilai pers cenderung menggunakan istilah asing, 
kendati
istilah yang bersangkutan sudah ada padanannya dalam bahasa 
Indonesia. 
Untuk
menjelaskan proses gol, misalnya, wartawan olahraga tak jarang 
menggunakan
kata assist, padahal jauh lebih komunikatif kalau menggunakan kata 
"umpan".
Media elektronik tak kalah serunya. Metro TV disebutkan telah 
menggunakan
kata Headlines untuk salah satu program beritanya. Bahkan, TVRI pun 
sebagai
televisi pemerintah yang bermisi membangun persatuan dan kesatuan 
bangsa
ikut-ikutan membuat program berjudul Head to Head.

Penggunaan istilah reformasi yang berasal dari bahasa Inggris, 
reformation,
jika kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, di situ jelas diartikan 
sebagai
perubahan radikal terhadap tatanan dalam setiap aspek/bidang 
kehidupan, 
yang
di negara kita tak boleh berbau Orde Baru. Dengan demikian, jika 
perubahan
itu dilakukan setengah hati atau sebagai "jargon politik" semata, itu
artinya bukan reformasi. Melihat kenyataan bahwa perubahan yang 
berlangsung
pascarezim Soeharto (empat tahun) tak terjadi secara signifikan, 
terutama di
bidang hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), 
maka
sebagian kalangan atau ahli menilai bahwa reformasi di negeri ini 
telah 
mati
suri untuk tidak mengatakan tak ada reformasi, sehingga dalam setahun
terakhir sering kita dengar banyak pihak yang menghendaki kembali
dilakukannya revolusi.

Kendala Mental


Karena kita tidak menghendaki adanya kebekuan dalam berbahasa 
Indonesia,
maka bahasa persatuan ini perlu ditumbuh-kembangkan secara dinamis. 
Namun
baik disadari atau tidak disadari, seringkali sikap mental (mental 
attitude)
kita kurang mendukung bagi usaha pengembangan bahasa tersebut, 
sehingga
dalam forum-forum resmi pun kita mudah tergelincir ke dalam 
penggunaan
bahasa Indonesia secara tidak baik dan tidak benar. Didorong sikap 
mental
"bagaimana enaknya saja", dalam berbahasa Indonesia di forum tersebut
sebagian orang masih berfikir untuk mencari praktisnya saja, hanya 
karena
kalimat yang disampaikan bisa dipahami oleh lawan bicara mereka. 
Padahal,
kaidah berfikir ilmiah tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk 
bersikap
sembarangan dalam berkomunikasi lisan maupun dalam bentuk tulisan, 
apalagi
di samping "bahasa menunjukkan bangsa", konsistensi penggunaan bahasa
Indonesia secara baik dan benar memberikan dampak positif sebagai 
perekat
kesatuan dan persatuan bangsa.

Sikap mental "bagaimana enaknya saja" dalam berbahasa, merupakan 
hambatan
psikologis bagi peng- gunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar 
seperti
yang dibakukan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), sebab
masing-masing orang akan berbahasa Indonesia sesuka hatinya sendiri.
Ketidaktertiban dalam berbahasa ini mengakibatkan penggunaan bahasa
Indonesia kehilangan fungsinya sebagai bahasa pemersatu bangsa. 
Itulah
sebabnya, kita semua butuh adanya reformasi kebahasaan, khususnya 
dalam
mengimplementasikan penggunaan bahasa Indonesia yang bukan hanya 
secara 
baik
dan benar, tetapi juga perlu adanya ketepatan dalam menggunakan 
logika
berbahasa.

Yang nampaknya remeh, tetapi masih banyak dilakukan orang terpelajar,
misalnya memakai kata "dirubah" dan "merubah". Padahal, menurut 
Kamus 
Besar
Bahasa Indonesia, tak dibenarkan untuk menggunakan kata "dirubah", 
melainkan
harus dengan kata "diubah", karena asal katanya adalah "ubah" yang
mendapatkan awalan "di". Begitu pun kita salah untuk menggunakan kata
"merubah", karena asal katanya adalah "ubah" yang mendapatkan awalan 
"me".
Awalan "me" ini setiap kali bertemu dengan kata yang dimulai huruf 
hidup
akan berubah menjadi "meng", sehingga kata "ubah" 
menjadi "mengubah", 
"abai"
menjadi "mengabaikan", "iman" menjadi "mengimani", "indah" menjadi
"mengindahkan", dan lain sebagainya.

Namun logika berbahasa dari para mahasiswa dan pendidik perguruan 
tinggi di
Indonesia, menurut pakar bahasa Dr Soenjono Darmowidjojo, umumnya 
justru
masih rendah. Maka segala macam ungkapan serta istilah dipakai dengan
ceroboh, misalnya "mengejar ketinggalan". Banyak pengarahan yang 
menghendaki
agar kita mengejar ketinggalan, meskipun yang dimaksudkan sebenarnya
mengejar target atau tingkat pencapaian tertentu. Padahal logikanya, 
jika
ketinggalan yang dikejar dan kita berhasil mengejar ketinggalan, maka
berarti yang kita peroleh adalah ketinggalan itu sendiri. Sedangkan 
yang
kita kejar itu seharusnya kemakmuran, kesejahteraan, kejayaan, atau
kemuliaan. Istilah lain misalnya "mengentaskan kemiskinan". 
Mengentaskan
berasal dari kata "entas". Misalnya, seseorang yang tenggelam di 
sungai
diangkat ke daratan, dengan kata lain, dia dientaskan. Maka yang 
benar
tentunya bukan "mengentaskan kemiskinan", melainkan memerangi atau
"memberantas kemiskinan".

Reposisi Bahasa


Jika pejabat kita bangga atau merasa hebat dengan memakai bahasa 
asing 
yang
sudah ada padanan katanya dan tak peduli kosakata Indonesia, 
bukankah 
sama
saja dengan "menginjak" bahasa sendiri? Sehubungan masalah prinsip 
harga
diri sebagai bangsa ini, maka perlu dilakukan pendekatan hukum 
terhadap
kecenderungan adanya "pelecehan" bahasa Indonesia, yakni dengan
mengimplementasikan prinsip bela bahasa dalam sebuah Undang-Undang 
Bela
Negara. Dan, untuk lebih mengukuhkan posisi kekuatan (power 
position) 
bahasa
dalam struktur birokrasi politik, perlu juga diusulkan agar P3B 
diubah
statusnya menjadi lembaga nondepartemen dalam rangka meredam 
intervensi
kekuasaan terhadap kemandirian bahasa.

Bukankah untuk mengukuhkan kekuasaan (status quo), rezim Orde Baru
memperalat bahasa Indonesia sampai mengalami gejala "pemasungan 
bahasa"?
Akibatnya, daya nalar untuk berpikir sistematis dan konstruktif 
menjadi
lemah dan kreativitas pun sangat berkurang. Kita masih ingat istilah
"kesalahan prosedur" untuk mengungkapkan terjadinya pelanggaran hukum
sehingga status hukum pelaku telah direduksi. Atau harga minyak tidak
dinaikkan tetapi hanya disesuaikan, dan lain sebagainya. Bahkan, para
penguasa juga menciptakan dan menggunakan kosakata yang terdiri atas
berbagai simbol politik, sebagai bagian dari "rekayasa" politik 
bahasa 
gaya
mereka, untuk menekan dan membatasi kebebasan menyatakan pikiran dan
perasaan secara kritis yang, meskipun sudah memasuki era reformasi, 
tetapi
masih berlangsung hingga sekarang.

Padahal, menurut Dadang S Anshori, politik bahasa berkaitan erat 
dengan 
tiga
hal pokok : kode bahasa (corpus), status bahasa (status) dan 
penguasaan
bahasa (equasition) yang diejawantahkan dalam pendidikan bahasa 
(learning
language). Ini berarti ketiga aktivitas politik bahasa harus lepas 
dari
intervensi kekuasaan, baik secara ide maupun secara praktis. Politik 
bahasa
harus melihat fenomena penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan 
konsensus
sosial, sehingga bahasa tak lepas dari ikatan-ikatan sosial.

Dengan demikian, bahasa juga perlu didekati sebagaimana fenomena 
sosial
lainnya, seperti aspek kekuasaan dan kepentingan terhadap bahasa. 
Dalam
konteks ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), bahasa memang tidak 
terbebas
dari nilai-nilai yang hidup di sekitarnya. Bahasa harus mampu 
merekonstruksi
secara sosial, bukan sebaliknya. Menurut Ignas Kleden, kekeliruan 
berfikir
manusia disebabkan kekacauan berbahasa, dan jika manusia berfikir 
dengan
cara semacam itu, maka terjadilah kerusakan bahasa yang pada 
gilirannya 
juga
menimbulkan kesenjangan dalam berkomunikasi. Dalam posisi demikian, 
masalah
bahasa tidak cukup didekati dengan teori bahasa semata.

Sejauh ini, masih terdapat asumsi bahwa penggunaan bahasa Indonesia 
secara
baik dan benar cukup hanya mengacu kepada "fatwa" P3B. Namun 
otosentrisitas
bahasa bisa melahirkan kebenaran bahasa dalam makna yang tunggal. 
Agar 
kita
secara luwes dapat mendefinisikan hakikat bahasa dan tidak terjebak 
pada
makna tunggal dalam berbahasa, maka pendefinisian secara 
sosiolinguistik
terhadap berbagai istilah: bahasa baku, bahasa ilmu, bahasa politik, 
dan
lain-lain, memang perlu untuk menciptakan komunikasi yang efektif 
sesuai
dengan dinamika bahasa itu sendiri.

Kita lihat bahwa penggunaan bahasa di kalangan politisi atau 
pemimpin 
kadang
mengakibatkan kerancuan berfikir dalam masyarakat yang sebenarnya 
tak 
perlu
terjadi. Di sini diperlukan pendekatan "bahasa politik" yang baku 
dengan
bahasa realitas dan harus disosialisasikan melalui lembaga formal. 
Untuk
itu, pendidikan bahasa di sekolah hingga perguruan tinggi hendaknya 
dimulai
dengan apresiasi bahasa alamiah yang hidup dalam masyarakat, bukan 
dengan
cara "mencekoki" dengan konsep-konsep bahasa "politis", sehingga 
para 
murid
atau mahasiswa memiliki toleransi yang tinggi terhadap realitas 
bahasa.

Bahasa Indonesia yang resmi, apalagi pemakaiannya secara tepat, 
nyaris 
tak
pernah dijumpai dalam percakapan kehidupan sehari-hari, termasuk 
dalam
kegiatan pembelajaran. Di satu sisi, penggunaan bahasa Indonesia 
secara 
baik
dan benar hanya terdapat dalam buku-buku teks atau tatabahasa baku 
bahasa
Indonesia yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Tetapi di sisi lain 
bahasa
formal tidak pernah berinteraksi dengan bahasa alamiah. Faktor 
tersebut
tampaknya merupakan penyebab mengapa pengajaran bahasa Indonesia di
sekolah - SD sampai SLTA - umumnya selama ini terkesan membosankan 
anak
didik. Salah satu solusinya adalah mengedepankan pendekatan sastra 
agar 
anak
didik tidak hanya memahami tatabahasa atau penggunaan bahasa secara 
formal,
tetapi tak kurang pentingnya adalah agar mereka memiliki kreativitas 
untuk
merangkai kalimat yang mudah dipahami, merangsang minat baca, 
sekaligus
mengandung nilai estetika. ***

(Penulis adalah staf pengajar pada Lembaga Pendidikan "Titian Ilmu",
Jakarta).