[Nusantara] Penyadaran Pentingnya Nasionalisme
gigihnusantaraid
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:05:45 2002
Penyadaran Pentingnya Nasionalisme
Syafruddin Azhar, Pemerhati sosial-budaya; Editor IB van Hoeve
Jakarta
SETIAP 28 Oktober, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Sebuah
momentum
nasional yang mengingatkan semangat persatuan dan kesatuan di
kalangan
generasi muda sebagai manifestasi solidaritas berbangsa. Makna
perjuangan
dan pergerakan pemuda itu --seperti yang tergabung dalam Jong Java
dan
atau
Jong Islamitten Bond-- bahwa ada tantangan riil untuk mewujudkan
cita-cita
memerdekakan diri menjadi sebuah bangsa yang mandiri dan
bermartabat.
Untuk
itu diperlukan penyadaran pentingnya nasionalisme.
Generasi muda 1928 memainkan peran sejalan dengan tantangan riil yang
dihadapi lingkungan masyarakatnya pada masa itu. Yakni, perlunya
kaum
muda
bersatu untuk mewujudkan gerakan yang lebih konkret untuk merebut
kemerdekaan bangsa. Generasi muda pada masa itu perlu bersumpah untuk
mewujudkan tali persatuan guna memperteguh integrasi nasional
sebagai
syarat
mutlak mewujudkan cita-cita bangsa. Sumpah Pemuda yang merupakan
'resolusi'
kongres pemuda kedua pada 1928 itu adalah tekad bersama semua unsur
pemuda
di Nusantara untuk bersatu tanah air, bersatu bangsa, dan bersatu
bahasa:
Indonesia.
Betapa pun perbedaan corak nasionalisme di antara mereka (pemuda)
tampak
begitu tajam, pada akhirnya titik temu pun dapat dihasilkan. Apa pun
kecenderungan ideologi yang mendasari dua corak nasionalisme --yang
menurut
Deliar Noer (1982) disebutnya sebagai 'nasionalis Islam' dan
'nasionalis
netral agama', yang terakhir sering disebut kalangan ilmuwan sebagai
'nasionalisme sekuler'-- mereka merasa dipersatukan dalam satu
cita-cita
bersama yang mulia, yaitu Indonesia merdeka.
Makna 'kemerdekaan' tidaklah mutlak dalam pengertian yang ekstrem.
Setiap
warga negara dibatasi hak kebebasannya dalam aturan hukum dan
perundang-undangan negara. Kita tak dapat mengekspresikan makna
kemerdekaan
itu sebebas-bebasnya tanpa norma hukum yang berlaku. Justru dengan
mengikuti
aturan kebebasan itu, kita telah memaknai 'kemerdekaan'
dan 'kebebasan'
itu
dalam pengertian yang sebenarnya. Dengan demikian, hakikat kehidupan
yang
'bebas dan merdeka' itu dapat diartikulasikan dalam kehidupan sosial
secara
ideal dan sewajarnya.
Peran generasi muda
Setiap ingatan kita tujukan pada hari yang dinilai bersejarah bagi
bangsa,
28 Oktober 1928, kita memunyai satu kesimpulan bahwa aksi massa yang
pernah
dimainkan generasi muda 1908, generasi 1928, generasi 1945, dan
generasi
1966, masing-masing periode tersebut memainkan peran aksi dan reaksi
atas
persoalan riil bangsa dan lingkungan sekitarnya di mana generasi itu
dilahirkan. Apa peran positif serupa yang perlu disumbangkan
generasi
muda
sekarang ini?
Kita barangkali sudah jenuh --bahkan muak-- melihat, mendengar, dan
membaca
di media massa tentang tawuran antarpelajar yang semakin
memprihatinkan.
Sebagian orang menilai tawuran pelajar ini dari sudut pandang
psikologi
perkembangan: kenakalan remaja yang disebabkan luapan gejolak jiwa
muda
dalam proses pencarian identitas. Sebagian lain melihat fenomena ini
sebagai
ekses dari revolusi komunikasi (informasi) dan dampak globalisasi.
Tetapi,
ketika aksi tawuran pelajar itu mengganggu ketertiban umum seperti
memacetkan lalu lintas, membajak bus kota, membawa senjata tajam,
merusak
fasilitas umum, apalagi sampai jatuh korban jiwa, maka gejala ini
sudah
memasuki wilayah hukum (kriminalitas).
Dalam pandangan psikologi perkembangan, remaja nakal dianggap wajar
sebagai
proses pencarian identitas. Akan tetapi, pendekatan psikologi ini
saja
tidak
memadai karena mengabaikan faktor sosiologis yang memungkinkan mereka
belajar darinya. Dalam kaitan ini, terdapat dua ciri utama dari
kelompok
pelajar yang sering terlibat dalam aksi tawuran dan tindak kekerasan
selama
ini.
Pertama, mereka umumnya berasal dari komunitas marjinal, baik dari
aspek
latar belakang ekonomi keluarga maupun asal sekolah mereka. Dengan
kata
lain, aksi tawuran jarang dilakukan oleh pelajar dari sekolah favorit
(sekolah elite), atau pelajar yang memiliki prestasi akademis di
sekolah
(siswa pintar), atau dari kalangan the have. Kedua, aksi tawuran
pelajar
selalu menunjukkan gejala pengelompokan massa dengan agresivitas yang
progresif. Kondisi ini boleh jadi karena faktor jiwa muda yang ingin
menunjukkan eksistensi dan identitas pribadi.
Agresivitas massa
Antonio Gramsci (1891-1937), seorang pendukung teori Marxis, menyebut
fenomena ini karena mereka terkungkung dalam suatu blok sosial
(social
block) yang menciptakan mereka tak dapat berbuat banyak kecuali
pasrah
kepada kenyataan hidup. Sikap inilah yang tampaknya selalu
bergejolak
dalam
diri pelajar. Tanpa disadari, blok sosial itu muncul bersamaan dengan
kecenderungan untuk saling menolak gaya hidup, budaya, serta
kepastian
masa
depannya.
Profesor sosiologi Oxford Inggris, Albert Henry Halsey (1980),
membuktikan
bahwa ada korelasi positif antara latar belakang keluarga,
keberhasilan
pendidikan, dan pekerjaan anak-anak mereka. Anak-anak dari kaum
berada
niscaya memperoleh pendidikan lebih terjamin sekaligus berkaitan
langsung
dengan kepastian masa depannya. Sementara, bagi anak-anak dari kaum
marjinal
sudah pasti berada di garis pinggir dengan ketidakpastian masa
depan --meminjam istilah Pierre Bourdieu (1977), pakar pendidikan
Prancis,
bahwa keberuntungan selalu berpihak kepada kelompok pemilik modal
budaya,
yakni anak-anak dari kalangan the have.
Maka, sungguh tepat jika momentum Sumpah Pemuda kali ini kita jadikan
sebagai pijakan bersama untuk mencermati peran generasi muda dan
penyadaran
pentingnya nasionalisme. Momentum Sumpah Pemuda ini kita jadikan
sebagai
langkah awal (starting point) bagi generasi muda dalam penyatuan
langkah dan
kesatuan pandangan dalam kehidupan bermasyarakat. Aksentuasinya
tentulah
pada kesamaan landasan berpijak bagi normalisasi kehidupan
bermasyarakat
yang damai sejahtera, yang melintasi batas-batas entitas etnis dan
agama.
Kesadaran ini penting bagi generasi muda sebagai suatu sistem nilai
(nasionalisme), di samping secara moral ia wajib berbuat kebajikan
dalam
setiap tindakan dan gerak hati nuraninya. Kemudian mampu memberikan
pengaruh
positif bagi lingkungan sosialnya, serta pandai melihat peluang untuk
mencapai eminensi dalam hidupnya, meraih kesuksesan bagi masa
depannya.***