[Nusantara] FPI dan Nahi Munkar

gigihnusantaraid gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Oct 29 11:06:30 2002


FPI dan Nahi Munkar
Oleh : Anton Tabah

Hari-hari ini masyarakat dan media massa banyak menggunjingkan 
perilaku
kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan swipping dan 
tindakan
kekerasan ke berbagai sarang publik seperti panti pijat, diskotek,
tempat-tempat biliar dan lain-lain yang dianggap sebagai tempat-
tempat
maksiat. Tidak hanya sweepping, mereka juga menganiaya beberapa 
orang yang
ditemukan di tempat-tempat tersebut bahkan menghancurkan bangunan-
bangunan
dan isinya. Karena itu banyak ulama, tokoh masyarakat sampai Wapres 
Hamzah
Haz mengecamnya dan menilai sebagai kontra produktif yang malah akan
menghancurkan Islam.

Kecaman kalangan ulama dan tokoh masyarakat Indonesia terhadap 
kebringasan
FPI yang terus berlanjut sejak awal era reformasi itu dapat kita 
maklumi.
Apalagi jika menyaksikan tayangan berbagai stasiun televisi sejak 
tanggal 4
Oktober '02 sungguh menyedihkan. Masa FPI dengan beringas merusak
sarana-sarana publik dan memukuli beberapa orang yang sudah tak 
berdaya.
Kita juga bisa memahami statemen, bahkan perilaku FPI justru malah 
akan
menghancurkan Islam. Betapa tidak. Dari tayangan itu banyak orang 
yang
notabene sebagai Muslim yang taat saja langsung berkomentar cara-
cara FPI
bukan hanya contoh perbuatan main hakim sendiri yang sangat 
memalukan tetapi
juga contoh perbuatan yang sangat tidak simpatik yang justru merusak 
Islam
dari dalam Islam sendiri. Apakah seperti itu cara-cara Islam? Apakah 
Islam
membolehkan anarkhis dan memaksakan kehendak?

Dari berbagai rangkuman tanggapan di atas sangatlah bijaksana jika 
kita coba
analisis secara jernih dan cermat masalah perilaku FPI tersebut baik 
dari
kacamata hukum Islam, hukum negara dan bagaimana kita semestinya 
mentaati
sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di alam kerangka sistem
demokrasi yang telah kita sepakati karena roh demokrasi adalah 
kepatuhan
semua pihak dan semua komponen bangsa terhadap hukum dan sistem 
negara yang
kita bangun.

Difinisi berdemokrasi dari para pakar sedunia adalah kepatuhan 
setiap warga
negara para rambu-rambu hukum negara dan kemampuan mengendalikan diri
bermutu tinggi dari setiap warga negara demi terwujudnya ketertiban 
dan
keteraturan. Dari difinisi itu ada dua kalimat kunci kepatuhan pada
rambu-rambu hukum negara dan mutu pengendalian diri namun menuju sa 
tu muara
yang sama yaitu terwujudnya keteraturan dan ketertiban umum.

Dari sini akhirnya bisa mudah kita pahami mengapa para ahli hukum 
memberi
batas-batas pemahaman hukum dengan 3 asas yaitu asas monopoli paksa
(zwangzmonopol), asas persetujuan hukum (popul), dan asas 
persekutuan hukum
(rechsgement schaap). Para ahli hukum menerjemahkan dalam satu 
persepsi.
Asas monopoli paksa hanya boleh dilakukan oleh institusi negara 
(polisi)
yang dibentuk oleh negara berdasarkan UU. Asas persetujuan hukum 
berarti
hukum melalui wakil-wakil rakyat dan pemerintah (legeslas 
delegatif). Asas
persekutuan hukum adalah bahwa hukum itu benar-benar aspirasi rakyat 
dengan
proses sosialisasi yang jelas sehingga unsure sosiologis, filosofis 
dan
yuridis terpenuhi.

Jika pemahaman hukum membutuhkan kearifan dengan mempedomani kaidah 
dan
asas-asas secara ketat pada rambu-rambu yang baku. Demikian pula 
memahami
dalil-dalil dalam agama sangat membutuhkan kearifan secara simultan 
mematuhi
rambu-rambu Kitab Suci. Dalam Islam rambu-rambu itu adalah Alquran 
dan
Sunnah (Hadits) juga harus secara simultan tidak sepotong-sepotong.

Kita tahu ada sebuah ajaran yang masyhur dalam Kitab Suci yang 
menyuruh umat
untuk menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Mengajak ke kebajikan 
dan
mencegah kemunkaran (kejahatan). Puluhan firman Tuhan tentang hal 
ini ada di
Kitab Suci. Dan diterjemahkan oleh Nabi Muhammad dengan salah satu 
sabdanya
adalah Siapapun yang tahu ada kemunkaran maka ubahlah dengan
kekuasaan/kekuatan (biyadih). Jika tak mampu, ubahlah dengan 
lisan/tulisan
(bilisanih). Dan jika juga tak mampu, ubahlah dengan doa (bikolbih). 
Saya
kira saudara-saudara kita dari FPI juga termotifasi oleh sabda ini.

Tetapi Kitab Suci juga mengajarkan tentang hidup bermasyarakat, 
berbangsa
dan bernegara dengan konsepnya yang membumi (global) yaitu: hablum 
minallah
wa hablum minannas. Dengan diperkuat firman-Nya dalam surat Taghobun 
ayat 16
yang menyatakan patuhlah pada Allah sebatas kemampuanmu (Fattaqullaha
mastatho'tum). Sehingga Islam akan benar-benar menjadi rahmatan 
lil'alamin.
Kita tidak bisa bayangkan jika tidak ada dalil itu, alangkah beratnya
menjalankan agama Islam itu di tengah-tengah peradaban modern yang 
sangat
dinamis. Pastilah peperangan dan kekacauan akan terjadi sepanjang 
masa.
Ajaran Islam sangat komplit menyeluruh, tepat di segala zaman karena 
Islam
bukan hanya sekadar agama terakhir tetapi sebuah peradaban baru yang
rasional.

(George Sarten, New York, 1986). Sebab itu pula banyak negara yang 
mengklaim
secara konstitusi sebagai negara tetapi parsial-parsial disesuaikan 
alam
demokrasi negara yang bersangkutan. Kita tahu di negara-negara 
Jazirah Arab
sekalipun hanya Mekah dan Madinah yang menerapkan hukum Islam persis 
yang
ada dalam Kitab Suci Qur'an dan Hadits. Ambil contoh negara Islam 
terdekat
kita, Malaysia dan Brunei Darussalam, misalnya, disana pencuri tak 
serta
merta dipotong tangan tetapi kurungan penjara dan hukum cambuk. 
Demikian
pula tentang hukum Qishos (pembalasan) yang membunuh harus dibunuh 
tidak
dilaksanakan tetapi dengan hukum penjara dan denda.

Di negara-negara yang mengklaim sebagai negara islam masih saja 
mentolerir
dengan melokalisir kemaksiatan' dengan cara-cara sangat ketat dan 
terbatas.
Apalagi negara kita, Indonesia yang secara politik konstitusionalnya
bukanlah negara Islam tetapi negara hukum yang demokrasi. Maka hal-
hal
seperti itu pasatilah sangat sulit untuk dibasmi.

Dalam beberapa hal, ada kebijaksanaan khusus dan pengaturan terbatas,
misalnya pembatasan tentang minuman keras dengan persen maximal kadar
alkoholnya yang diatur UU. Demikian pula masalah prostitusi sudah 
secara
jelas diatur dalam KUHP dan sesuai norma-norma demokrasi.
UU adalah hukum positif yang harus dipatuhi dan dijadikan koridor 
oleh
kepolisian (satu-satunya institusi negara yang berwenang melakukan 
upaya
paksa) untuk bertindak. Hanya saja yang perlu dicermati ke depan, 
KUHP kita
saat ini adalah peninggalan Belanda (1918) yang terkesan sekuler 
tidak
religius. Inilah yang perlu direvisi segera.

Sweepping dan Upaya Paksa
Mengapa upaya paksa hanya boleh dilakukan oleh lembaga negara yaitu
kepolisian sesuai dengan kaidah asas monopoli paksa (zwangs 
monopoli)? Itu
demi ketertiban umum. Dan upaya paksa hanya oleh institusi 
kepolisian ini
juga dilakukan di Mekah dan Madinah yang nyata-nyata memberlakukan 
hukum
Islam secara murni dan utuh (Kaafah).

Kita tak bisa bayangkan jika setiap orang atau kelompok diperbolehkan
melakukan upaya paksa pasti sebuah negara akan chaos dan kacau 
balau. Upaya
paksa ini juga dikaitkan dengan sabda Nabi di atas adalah 
Yughoyirubiyadih).
Dengan kesepakatan secara global dalam peradaban baru, upaya 
tersebut hanya
boleh dilakukan oleh sebuah institusi negara yaitu kepolisian. 
Kenapa tidak
boleh ada lebih dari satu institusi negara yang berwenang melakukan 
upaya
paksa? Supaya ada ketertiban dan kepastian hukum yang mudah 
dikontrol dan
diawasi. Jika pelaku upaya paksa lebih dari satu institusi negara 
maka bukan
saja kepastian hukum sulit dikontrol tetapi juga kepastian hukum akan
menjadi sangat sulit karena terjadinya overlapping kewenangan.

Dari sini dalil tentang nahi munkar di atas semakin terpahami. Oleh 
karena
itu, bilamana kita tahu adanya kemunkaran hanya diperbolehkan 
menggunakan
dua kewenangan berikutnya mengubah dengan lisan/tulisan atau dengan 
hati
kita (berdoa). Kewenangan seperti ini juga diterapkan Nabi Muhammad 
SAW,
dalam hal ini Nabi memberi nasehat atau peringatan, bukan untuk 
memaksa,
Ingatkan mereka karena engkau hanya sebatas mengingatkan, sama 
sekali tak
ada hakmu atau memaksa, bagi yang durhaka, Allahlah yang akan
memperhitungkan dengan balasan yang setimpal, karena Akulah Yang akan
memperhitungkan (Qur'an Surat Ghosyiah, ayat 21 sampai 26).

Sweeping apalagi dengan pengrusakan secara jelas adalah upaya paksa. 
Hal itu
sudah menyalahi hukum dunia maupun kaidah agama Islam yang semestinya
rahmatan lil'alamin. Yang perlu kita sikapi adalah mengontrol 
kinerja aparat
hukum dari polisi, jaksa, hakim dan aparat pemerintah termasuk 
pemerintah
daerah dan pusat. Jika kinerja mereka kurang maksimal apalagi 
berkolusi dan
berkolaborasi dengan kejahatan, maka harus terus kita kontrol kalau 
perlu
merekalah yang kita demo karena di tangan mereka mestinya hukum dan 
UU ini
harus tegak. Bukan mengeksekusi langsung pada perorangan, masyarakat 
atau
komunitas tertentu yang kita anggap telah melanggar UU.

Penulis, Staf Pengajar UGM Yogyakarta



---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-16
--- End forwarded message ---