[Nusantara] "pi_liang" : DESAKU dan Semangat OTONOMI

Ra Penak edipur@hotmail.com
Mon Sep 2 09:18:31 2002


"pi_liang" : DESAKU dan Semangat OTONOMI
31 Aug 2002 09:08:02 -0000

Pak Kyai KDD Seneng ndenger wejangannya, ceritanya, pesannya,
imajinya.

Saya ajuin satu soal, Pak KDP kasih tiga jawaban. Holistis.

Apa yang KDP hebohkan, saya kira sama dengan dusun saya. Tempatnya
ditengah sawah, ada tiga kolam ikan, ada sungai besar. Waktu kecil,
saya suka sekali nyari udang, tambahan gizi, dengan tinggal membalik
batu-batu di sungai, dan nagkap pake tangan. Yang bahaya udang
jantan, suka gigit pake dua sapinya itu.

Malah, saya suka nagkap lele pake tangan, di kali, dalam jorokan-
jorokan tanah. Tangan sampai berdarah-darah, kena sengat. Tapi tetap
ada kegembiraan. Tebu, tinggal ambil. Duren, juga begitu, tinggal
nungguin duren orang.

Di kampungku yang lain, kampung Bapak, di lereng gunung merapi,
sumber kaum aristokrat, ada danau besar. penuh eceng gondok. Setiap
sore, aku pasang kail, kadang sampai 50 kail, dengan joran terbuat
dari sejenis pohon, dan benang nilonnya tak sampai 1 meter. Umpannya
cacing besar.

Besok, pagi-pagi, aku tinggal ambil. Kadang dapat belut, kadang
lele, kadang mujair.

Tak ada yang usil atas pekerjaanku itu. Kalau yang lain pengen
nangkap, silakan saja. Syaratnya, kalau aku udah tempatin kail,
jangan ditaruh disana. Siapa yang duluan, itulah wilayah kekuasaan
kailnya. Kalau esok sorenya aku keduluan yang lain, ya, aku cari
tempat lain.

E, e, semakin aku besar, semakin aku sekolah, sungai di kampung
Ibuku tak ada lagi ikannya. Konon, ikannya suka diracun pake
potasium. Konon, pelakunya orang-orang yang punya senjata, punya
kuasa. Di kampungku itu, yang punya kuasa dan senjata itu datang
dari jauh. Namanya: pemerintah. Pemerintah, karena satu kesatuan dan
persatuan, ya, tak hanya yang suka ngeracun itu. Ia dihadapi,
esoknya satu peleton datang. Susahlah awak. Kalo mau ngelwan, awak
harus datang ke jekarta, atau awak harus punya kawan yang pangkatnya
lebih tinggi.

Begitu juga di kampung bapakku. Hasil danau untuk pembangunan.
Dibikin banyak aturan, tak boleh lagi mancing. Kalau mancing, sama-
sama, pake panitia dari pemerintah. Hasilnya dibagi, kalu mo ikut
mancing, pake ongkos. Ikan belum tentu dapat, uang udah dikasih beli
karcis, selam sekian jam.

kalau coba "nuti" ikan di danau sendiri, polsek datang.
masuk "kandang situmbin" namanya.

Konon, kampung ayah dan ibuku tak kenal pemerintah. Lha wong ada
banyak jabatan tersedia, menurut adat, menurut agama, menurut
kecerdikan. Si patah penghalau ayak di jemuran padi pake galah, si
pekek pelepas bedil dalam berburu babi, si buta penghembus lesung
penumbuk beras yang banyak abunya, si bisu pengangkut buntilan-
buntilan padi... Itu yang terjadi bertahun-tahun, bergenerasi-
generasi. Niniak-mamak, cerdik-pandai, ustad, guru silat, ada
tempatnya masing-masing. Kata oarang pintar, itu namanya kultur.
Seetelah pemerintah masuk, kultur dikalahkan struktur. Karena orang-
orang yang ada di struktur kenal cuma sama duit, takut sama atasan,
masyarakat diabaikan.

Jumat di dua kampungku libur. Minggu dibagi-bagi menurut adat.
Minggu bulan ini sama-sama bersihin selokan, irigasi. Minggu bulan
menjelang puasa, sama-sama pergi ke kuburan, dibersihkan. Bulan
puasa, Ustad dan kyai yang berkuasa, ada pengajian, ada lomba baca
Qur'an. Di sekolah, guru yang kuasa. Di tempat main silat, guru
silat yang kuasa. Di tempat berburu babi, si badu yang punya anjing
banyak yang kuasa, karena desanya sebagai panitia. Kalau berburunya
pindah minggu depan, tuan rumah yang punya kuasa.

Yang sama-sama tak punya kuasa, palanta lapau (warung). Yang kecil,
yang pejabat, yang kyai, sama-saja. Bisa saling ledek. menurut
pepatah: kata di lapau kata bergalau. Di surau, kalau ngaji, yang
paling dipuji yang bisa jernih bahasanya, turun-naik iramanya,
pintar tajwidnya, tahu membawa titik dibawah, koma diatas, panjang-
pendeknya ayat. Yang lain, .... tinggal memuji penuh kagum.

Setelah pemerintahan masuk, semuanya serba diatur. Si Udin yang tak
tahu apa-apa soal kampungku, tapi karena sekolah dan punya pangkat,
mengatur semuanya. Karena orang kampungku tahu diri, udah, protesnya
di perigi.

Dengan federasi, pemerintah tak masuk wilayah yang tak dikuasainya.
Ia tinggal ngurusin soal pajak, engumuman jatuh-bangunnya kabinet,
etc-etc. Kalau semua diurus pemerintah, seperti sekarang, yang
terjadi malah salah urus semua. Masyarakat akhirnya ribut. Apa-apa,
kerahkan tentara. Si Ali yang main ketapel, lantas kena loteng
tetangga, dipanggil ke polisi. kalau si Ali mau damai, silakan
bayar. Sering malah, karena merasa bersalah, yang ngurus keluarnya
si Ali adalah tetangga yang kena lotengnya itu. Karena pengen
kelihatan punya kerja, masalah kecil dibesar-besarkan si pejabat, si
aparat. Ketenteraman hilang. Si Ali jadi takut main ketapel.
Kalaupun mau main, ia harus beli pistol-pistolan, ketapel-ketapelan.
Kreatifitas habis. Dulu kami bisa bikin truk-trukan sendiri, bisa
bikin rumah-rumahan, rajin ngambil tanah liat, bikin patung-
patungan. nenekku suka bikin tikar dari daun pandan. Kakekku kalau
mau ngerokok, tinggal ambil daun enau, tak peduli dimanapun daun itu
tumbuh.

Dengan kembalinya otonomi luas (ndak kayak sekarang, yang boong-
boongan), masyarakat bisa ngatur diri sendiri. Peran pemerintah
harus dibatasi, karena sumber kekacauan ada di pemerintah. kalau
peran pemerintah besar terus, masyarakat kerdil terus. Gimana mau
ngadapin kebo-kebo bule, kalau untuk ngurusin pertukaran jenis kebo
aja harus bayar kemana-mana?

Selamat Libur,

IJP

: Ini ndak fiksi, ndak fiktif. beneran. Di Papua juga gitu, di
kalimantan juga gitu, dimana-mana begitu. pemerintah menghancurkan
kekuatan masyarakatnya sendiri. Akibatnya, masyarakat menjadi malas,
tergantung pemerintah. mau nanam padi, tunggu dulu harga gabah naik-
apa turun sama pemerintah dan parlemen. Sedih...


_________________________________________________________________
Join the world’s largest e-mail service with MSN Hotmail. 
http://www.hotmail.com