[Nusantara] "Ambon" : Kematian Sunyi di Kamp Nunukan

Ra Penak edipur@hotmail.com
Mon Sep 2 09:19:28 2002


"Ambon" : Kematian Sunyi di Kamp Nunukan
30 Aug 2002 22:25:55 +0200

Media Indonesia
Sabtu, 31 Agustus 2002

Kematian Sunyi di Kamp Nunukan

RAKYAT kecil cenderung dianggap tidak memiliki kompleksitas.
Permasalahan
mereka selalu disederhanakan. Kalau mereka dilanda tragedi, tragedi itu
ditanggapi dengan enteng-enteng saja. Tetapi, orang besar dan orang
penting
selalu memiliki keabsahan kompleksitas. Kalau mereka mati, kematiannya
bisa
dianggap sebagai peristiwa kemanusiaan yang luar biasa. Mereka selalu
memiliki dalih untuk menjadi penting dan kompleks. Kepentingan mereka
dengan
gampang bisa disahkan sebagai kepentingan kolektif.
Ketimpangan dalam menakar kompleksitas masalah kemanusiaan adalah
cermin
peradaban demokrasi sebuah bangsa. Bangsa yang para pemimpinnya
cenderung
meremehkan persoalan orang kecil adalah bangsa yang tidak memiliki
peradaban
demokrasi.
Salah satu contoh peradaban yang mati adalah soal tenaga kerja ilegal
Indonesia yang diusir dari Malaysia. Eksodus manusia dengan jumlah di
atas
100.000 orang adalah tragedi kemanusiaan yang dahsyat. Tetapi, apa yang
terjadi dengan para pemimpin kita di Jakarta?
Pemulangan TKI ilegal itu dianggap sebagai lalu lintas manusia yang
biasa-biasa saja. Jakarta lebih melihatnya sebagai mobilitas normal di
era
globalisasi dengan batas negara tidak menjadi penghalang yang
mematikan.
Lebih menyedihkan lagi, eksodus itu menjadi tontonan dan pertikaian
para
pejabat.
Berita terbaru tentang meninggalnya 24 TKI di Nunukan akibat berbagai
ketidakpedulian tidak menyentak sedikit pun para pemimpin bangsa ini di
Jakarta. Mereka lebih sibuk memperebutkan harta PT Qurnia Subur Alam
Raya
karena penipuan terselubung perusahaan tersebut memperoleh dukungan
moril
luar biasa dari para pemimpin tertinggi negeri ini.
Bahkan, ada pemimpin yang berpikir analogis. Kalau bank-bank yang
kolaps
bisa direkap, mengapa PT QSAR tidak? Pikiran seperti ini sama saja
dengan
pengandaian kalau seorang maling bisa lolos dari sergapan polisi,
mengapa
kita tidak membebaskan maling-maling yang lain? Atau, kalau anak
pejabat
yang satu bisa mencuri, mengapa anak saya tidak?
Kematian 24 TKI di kamp-kamp penampungan di Nunukan adalah kematian
yang
sangat sunyi. Sunyi dari perhatian karena mereka adalah orang-orang
kecil
yang tidak boleh memiliki kompleksitas. Tragedi kemanusiaan di Nunukan
tidak
akan pernah bisa menggeser agenda politik di Jakarta yang mulai sarat
dengan
antisipasi untuk peluang 2004.
Lebih ironis lagi, kematian dan derita yang dialami para TKI dijadikan
pemicu untuk keuntungan-keuntungan politik. Para TKI yang diusir tidak
diurus lapangan kerjanya, tetapi dijadikan alasan untuk berperang
kata-kata
dengan Malaysia.
Kritik bahwa persoalan TKI diakibatkan lemahnya diplomasi Jakarta
dijawab
dengan kepergian pengurus partai tertentu ke Malaysia. Yang semakin
mencolok
dari hari ke hari adalah disfungsi dan disorganisasi. Urusan tenaga
kerja
disambar oleh kepentingan partai. Urusan hukum dirampok oleh perspektif
politik. Urusan kemanusiaan direndahkan oleh ketidakpedulian.
Coba tengok apa yang dilakukan Presiden Filipina Gloria Macapagal
Arroyo.
Presiden yang perempuan ini terbang dari Manila ke Pulau Tawi-Tawi
untuk
melihat sendiri rakyatnya yang menderita karena terusir dari Malaysia.
Bagaimana dengan TKI yang meninggal dan menderita di Nunukan? Mereka
adalah
orang kecil yang tidak memiliki hak kompleksitas. Mereka boleh mati
dalam
kesepian, tetapi tidak boleh mengganggu kenyamanan para pemimpin yang
sedang
menerawang menembus cakrawala 2004.





_________________________________________________________________
Send and receive Hotmail on your mobile device: http://mobile.msn.com