[Nusantara] "Ambon" : Good Governance" sebagai Gerakan Nasional

Ra Penak edipur@hotmail.com
Mon Sep 2 09:41:22 2002


"Ambon" : Good Governance" sebagai Gerakan Nasional
31 Aug 2002 12:16:29 +0200

"Good Governance" sebagai Gerakan Nasional
Oleh Prasetyo Sudrajat

Ada sebuah pertanyaan yang tampaknya sangat sulit dijawab oleh bangsa ini. 
Mungkinkah perilaku dan budaya masyarakat kita yang cenderung korup dapat 
dibenahi? Kenapa korupsi disebut sebagai budaya, karena bisa dibilang dari 
sejak lahir sampai sekarang, anak bangsa ini pasti pernah melakukan korupsi! 
Mulai dari korupsi (melalui penyuapan petugas) di dalam membuat akta 
kelahiran, korupsi waktu, korupsi kecil-kecilan yang pasti akan lupa jika 
ditanya. Karena sudah menyangkut budaya, maka untuk mengubah perilaku memang 
bukan pekerjaan mudah. Berbagai kasus yang bernuansa korupsi, kolusi, dan 
nepotisme (KKN) seakan muncul dan tenggelam begitu saja. Suara minor dari 
berbagai lapisan masyarakat pun bermunculan, bahwa pemberantasan KKN hanya 
sebatas jargon, dan boleh dibilang hanya sekadar penghias kata sambutan para 
pejabat yang sangat manis.
Terlepas dari berbagai suara minor yang berkembang di masyarakat, terutama 
berkaitan dengan penanganan KKN yang terkesan kurang serius. Isu KKN sering 
menempel pada istilah good governance (baca: kepemerintahan yang baik) dan 
selanjutnya disingkat GG yang seringkali dikumandangkan para pejabat di 
tingkat pusat maupun daerah. Tentu saja, amat kontras dengan kejadian yang 
sebenarnya. Masyarakat menyaksikan betapa parahnya penegakan hukum di negeri 
ini, sehingga sulit berharap banyak terhadap pemerintah pusat dalam waktu 
dekat menerapkan GG. Hal itu terjadi akibat masih dominannya kepentingan 
pribadi dan kelompok dalam pengambilan kebijakan. Sehingga mengakibatkan 
melemahnya kepekaan (responsiveness) pemerintah terhadap aspirasi dan 
keinginan masyarakat luas. Seperti tersendat-sendatnya pembahasan RUU 
Kebebasan Informasi yang saat ini masih tarik ulur di DPR.
Oleh karena itu, untuk melakukan perubahan secara radikal bagi pemerintah 
agar mau menerapkan prinsip-prinsip GG, harus melalui sebuah gerakan yang 
berskala nasional. Kenapa harus berbentuk gerakan, karena dengan gerakan, 
maka akan muncul pembaruan secara menyeluruh dengan melibatkan hampir semua 
daerah yang memiliki kepedulian terhadap GG.
Dalam pertemuan Local Governance Forum yang diadakan di Bali (3/6) yang lalu 
dan dihadiri ratusan Bupati/Wali Kota menghasilkan 6 kesepakatan, yaitu: 
pertama, mereka akan menjadi pelopor gerakan GG. Kedua, melakukan 
sosialisasi prinsip-prinsip GG. Ketiga, mengembangkan instrumen hukum yang 
menjamin penerapan GG. Keempat, mengembangkan kontrol sosial dan penegakan 
hukum dengan memberikan penghargaan atau sanksi dalam penerapan GG. Kelima, 
mengembangkan jaringan di antara kota pelopor GG. Keenam, memantau penerapan 
GG.
Namun yang menjadi pertanyaan pascakesepakatan tersebut adalah, apakah 
gerakan GG itu nantinya hanya sebatas gembar-gembor dan tak lebih dari 
sloganistis saja? Sudah banyak di negara ini yang bersifat gerakan hanya 
menjadi kegiatan tanpa meninggalkan sesuatu yang menunjukkan adanya 
perubahan, baik sikap maupun kultur. Misalnya saja, gerakan disiplin 
nasional, gerakan hidup hemat, gerakan anti narkoba dan sebagainya. Semua 
gerakan itu hanya berupa proyek yang tujuannya sebenarnya mulia, tetapi 
karena tidak mengakar, maka yang terjadi hanyalah pekerjaan sia-sia.
Melihat pengalaman tersebut, seharusnya setiap gagasan yang mengarah pada 
sebuah gerakan untuk memperbaiki sebuah sistem, semacam gerakan GG, 
seharusnya tidak parsial tetapi terintegrasi dalam agenda nasional, yaitu 
agenda reformasi. Selain itu, keterlibatan semua komponen masyarakat dari 
LSM, media massa, perguruan tinggi, dan tokoh-tokoh masyarakat merupakan 
suatu hal yang mutlak.
Keinginan daerah melalui Wali Kota dan Bupati serta Pimpinan DPRD untuk 
menjadi pelopor gerakan nasional GG harus dicermati dan disikapi secara arif 
oleh pemerintah pusat. Berharap pemerintah pusat melakukan sebuah gerakan 
nasional GG boleh dikatakan sangat sulit, karena memang konstelasinya sangat 
kompleks dan mengandung kepentingan politis, baik secara individu maupun 
kelompok.
Tetapi di era otonomi daerah sekarang ini terdapat perubahan yang sangat 
elementer dalam kepemerintahan. Sejak diberlakukannya UU No.22/1999 tentang 
pemerintahan daerah atau yang dikenal dengan otonomi daerah, secara otomatis 
sebagian kekuasaan yang ada di pemerintah pusat bergeser kepada pemerintah 
daerah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter, 
fiskal, agama, dan beberapa kepentingan nasional yang strategis.
Secara normatif sejak diberlakukannya otonomi daerah, maka seharusnya 
berbagai inisiatif daerah akan bermunculan. Karena, selama puluhan tahun 
telah terjadi pengekangan terhadap hak-hak daerah untuk mengurus rumah 
tangganya sendiri. Namun apa daya, ketika beberapa daerah berinisiatif 
melahirkan berbagai Peraturan Daerah (perda), maka tak urung beberapa LSM 
dan swasta pun mengeluhkan lahirnya perda-perda yang menurut mereka 
bermasalah.
Terlepas dari perda-perda tersebut bermasalah atau tidak, sebenarnya adanya 
inisiatif melahirkan perda itu merupakan suatu hal yang sangat menarik. 
Kenapa? Karena untuk mewujudkan GG, maka perlu sebuah instrumen perundangan 
yang akan mendukung pelaksanaannya secara jangka panjang. Apakah dengan 
hadirnya berbagai perda GG oleh beberapa daerah merupakan indikasi adanya 
keinginan menciptakan GG muncul dari daerah ? Bisa jadi demikian.
Hal itu setidaknya tergambar dari beberapa daerah yang sedang memprakarsai 
perda-perda yang bernuansa GG, seperti Perda Transparansi, Partisipatif, dan 
sebagainya. Yang intinya adalah untuk memberi penegasan kepada masyarakat, 
bahwa peran masyarakat saat ini berada di garis depan dalam proses 
pembangunan. Dengan munculnya inisiatif membuat perda-perda tersebut, 
setidaknya mengindikasikan adanya keinginan yang kuat dari daerah untuk 
menciptakan sebuah kepemerintahan yang menjunjung prinsip-prinsip GG.

Selain kehadiran perda-perda yang bernafaskan GG dapat menjadi pemicu 
terhadap kekuatan gerakan GG, ada kekuatan lain yang dapat menjadi mesin 
penggerak dari gerakan tersebut. Kekuatan itu adalah adanya inisiatif dari 
daerah untuk melakukan perubahan dalam sistem kepemerintahan yang lebih 
demokratis, partisipatif dan transparan.
Atau dapat juga melalui peranan asosiasi pemerintah daerah semacam APEKSI 
dan APKASI yang melakukan sinergi dengan membentuk sekretariat bersama 
dengan menggalang kekuatan di kabupaten dan kota yang memulai penerapan 
prinsip GG. Asosiasi Pemerintah Kota dan Kabupaten dapat membentuk 
sekretariat bersama dengan langkah pertama melakukan behaviorial approach 
(karena ada kesamaan minat) dengan melihat kesejajaran dalam melakukan kerja 
sama antardaerah.
Pola gerakan tersebut nantinya akan lebih bersifat penekan (pressure) 
terhadap pemerintah pusat secara umum dan yang lebih khusus adalah perubahan 
pada pemerintah daerah sebagai tujuan dari gerakan.
Untuk melakukan gerakan di daerah, maka yang harus dilakukan, pertama, 
daerah melakukan identifikasi terhadap proses kepemerintahannya yang buruk 
(bad governance), tidak partisipatif, transparansi, dan pelayanan publik 
yang buruk, sehingga menjadikan lemahnya akuntabilitas publik.
Kedua, harus ada aktor penggerak di tingkat daerah selain eksekutif, yaitu 
misalnya insan pers, penggiat LSM, atau sivitas akademika yang memiliki 
kepedulian terhadap GG. Ketiga, para aktor penggerak daerah tersebut harus 
membentuk jaringan antardaerah dengan terlebih dahulu menyamakan visi dan 
misinya tentang strategi gerakan GG. Sebagai salah satu agen perubahan 
(agent of change) terhadap tuntutan terciptanya GG oleh masyarakat, adalah 
menyatukan langkah dengan menyusun suatu tindakan nyata (action plan). 
Yaitu, membuat gerakan GG secara nasional melalui peran aktif daerah, 
seperti yang dilakukan saat pertemuan LGF di Bali (3/6/2002).
Tanpa melalui gerakan nasional dengan peran aktif daerah, maka akan sangat 
sulit kita dapat menyaksikan pemerintahan yang menerapkan prinsip good 
governance. Seperti yang pernah dikatakan Alfian (1978), bahwa politik 
masyarakat yang terlihat sehari-hari adalah hasil atau akibat dari proses 
sosialisasi politik yang dialami.
Selanjutnya hal itu merupakan cerminan dari kebudayaan politik yang berlaku. 
Perubahan itu hanya mungkin terjadi kalau proses sosialisasi politik yang 
melahirkannya berubah pula. Artinya, jika kita ingin melakukan sosialisasi 
GG, maka masyarakat sebagai pemilik utama negeri ini harus dilibatkan 
sebagai aktor penggerak sentral. Dan jika hal itu dapat dilakukan, maka 
kepercayaan timbal balik antara masyarakat dan pemerintah akan kembali 
pulih, sebab masing-masing sudah sepakat akan bersama-sama menerapkan 
prinsip GG dalam proses pembangunan.

Penulis adalah Tenaga Ahli Komunikasi Program BUILD-UNDP/UNCHS


_________________________________________________________________
MSN Photos is the easiest way to share and print your photos: 
http://photos.msn.com/support/worldwide.aspx