[Nusantara] "Ambon" : Partai Intelektual, Mengapa Tidak?

Ra Penak edipur@hotmail.com
Mon Sep 2 09:43:25 2002


"Ambon" : Partai Intelektual, Mengapa Tidak?
30 Aug 2002 22:49:58 +0200

Partai Intelektual, Mengapa Tidak?
Oleh Kasdin Sihotang

Jumat, 30 Agustus 2002
Pesta rakyat (baca: pemilihan umum) masih dua tahun lagi. Tetapi
gonjang-ganjing pendirian partai untuk menyongsong kegiatan politik itu
sudah mulai marak. Partai-partai barupun mulai digagas bahkan sudah ada
yang
dideklarasikan. Sebagaimana diketahui khalayak ramai ada dua partai
baru
yang baru-baru ini dideklarasikan. Kedua partai itu adalah Partai
Nasional
Bung Karno (PNBK), pimpinan Eros Jarot dan Partai Demokrasi Kebangsaan
(PDK).
Yang menarik bahwa partai yang terakhir ini didirikan oleh orang-orang
yang
bisanya bicara kritis dan vokal terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah
dan
menjadi komentator serta penceramah dalam berbagai seminar-seminar dan
diskusi bertajuk politik. Dua tokoh itu adalah Dr Andi Malarangeng dan
Prof
Dr Ryaas Rasyid, mantan Menteri Otonomi Daerah di kabinet pemerintahan
Abdurrahman Wahid.
Dasar Pendirian


Tentu menarik untuk mencermati kehadiran dua tokoh publik ini dalam
kancah
politik. Pertanyaan kita, mengapa kedua tokoh publik itu berani
meninggalkan
posisi publiknya sebagai komunitas intelek dan masuk dalam dunia
praktis?
Ada apa yang melandasi kedua tokoh ini sehingga berani menyeberang
"sungai"
kehidupan mereka sehari-hari, bahkan berniat meninggalkan posisinya
sebagai
pegawai negeri demi politik?
Sebagaimana terungkap dalam salah satu wawancara yang dilakukan oleh
MetroTV
belum lama ini, menurut Andi Malarangeng, pendirian partainya merupakan
tanda kekecewaan terhadap perilaku-perilaku elite politik yang
berkecimpung
dalam partai-partai yang sudah ada. Yang dilihat oleh Andi bahwa
partai-partai yang ada sekarang sesungguhnya tidak lagi bersifat
netral,
melainkan berorientasi bagi kepentingan seperti kedudukan, jabatan dan
kekuasaan serta keuntungan kelompok semata.
Mereka tidak lagi berkepentingan untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat.
Disinggung pula bahwa banyak partai-partai sekarang lebih mengandalkan
tokoh
primordialisme daripada mengandalkan rasionalitas dalam perjuangannya.
Yang
menarik bahwa deklarator PDK itu, Prof Dr Ryaas Rasyid memberikan
komentar
sebagai alasan pendirian partai, yakni dia bosan menjadi pengamat
karena
pemerintah Indonesia tidak pernah memperhatikan gagasan-gagasan mereka.
Penulis sepaham dengan argumentasi mendasar dari kedua intelektual di
atas
dalam rangka menanggapi kondisi bangsa ini. Tidak ada salahnya apa yang
dikatakan oleh kedua pakar politik tersebut bahwa memang para elit
politik
di partai sekarang justru kurang memperhatikan kepentingan rakyat
sesungguhnya. Mereka "bagaikan kacang lupa akan kulitnya".
Sesungguhnya elite-elite partai sekarang lebih condong berpikir
partikularistik daripada universal dalam arti kepentingan rakyat secara
menyeluruh. Mereka pula lebih banyak mempertontonkan kebohongan
daripada
kebenaran yang sesungguhnya. Ketika mereka belum duduk di kursi yang
empuk
itu, mereka justru sarat dengan janji-janji muluk. Dalam kaitan dengan
itu
cara yang ditempuh dua intelektual ini tentunya perlu didukung,
khususnya
siapa saja yang mencintai bangsa ini agar jangan sampai terjerumus pada
bahaya sektarianisme dan budaya partikularistik serta partisan.
Yang menarik juga bahwa latar belakang pendirian partai baru (PDK) ini
tidak
berdasarkan kharisma tertentu atau latar belakang kultur budaya
tertentu,
melainkan lebih-lebih mengandalkan rasionalitas dan kebangsaan.
Tentunya ini
pula merupakan suatu fenomena baru dan dapat mewarnai sistem
perpolitikan
kita yang hanya selalu mengandalkan public figure.
Gagasan Weber


Sebenarnya kelompok Ryaas Rasyid dan Andi Malarangeng ingin mewujudkan
apa
yang pernah digagaskan oleh sosiolog terkenal, yakni Max Weber yang
salah
satunya dilupakan di Indonesia. Max Weber memotret ada tiga jenis
legitimasi
terhadap kekuasaan. Legitimasi yang pertama adalah kharisma. Di sini
kekuasaan atau otoritas didasarkan pada kharisma pribadi seseorang.
Seseorang dipilih menjadi pemimpin karena memiliki kepribadian atau
personality yang dominan. Dengan demikian pendirian kelompok itu
tergantung
pada sejauh mana kharisma itu meresapi komunitasnya. Di Indonesia
tentunya
hal ini bukan hal yang langka. Pada jaman Bung Karno jelas fenomena ini
menjadi realitas yang tidak terbantahkan. Sekarang dalam diri Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga tradisi itu diteruskan.
Megawati
dianggap sebagai figur kharismatis yang justru menjadi pijakan partai
ini.
Legitimasi kekuasaan kedua adalah tradisi. Di sini kekuasaan didasarkan
pada
tradisi. Seorang raja memerintah menurut tradisi keluarganya yang
memerintah, karena dia dipilih oleh dewa-dewa. Dengan kata lain
tokoh-tokoh
yang memiliki kekuatan mistis atau gaip menjadi akar komunitas itu.
Karakter
ini tentunya di dunia perpolitikan kurang mendapat perhatian.
Legitimasi yang ketiga adalah legal-rasional. Di sini kekuasaan
bersumber
dari rasionalitas dengan mengandalkan hukum sebagai titik pijak. Itu
berarti
seseorang dipilih menjadi pemimpin, misalnya berdasarkan
peraturan-peraturan
yang berlaku dan pertimbangan-pertimbangan rasionalitas. Oleh karena
itu
Weber menyebutnya kekuasaan rasional-legal.
Ryaas Rasyid nampaknya ingin memperlihatkan eksistensi kekuasaan yang
ketiga
ini, yang hemat saya, sekali lagi harus didukung. Dukungan tentunya
bukan
karena dasar keberpihakan atau kepentingan, melainkan lebih-lebih
karena
landasan rasionalitas itu sendiri. Dengan kata lain, sudah waktunya
kita
berkeinginan untuk membangun system politik yang rasional yang
memikirkan
nasib rakyat secara menyeluruh dan mengutamakan pertimbangan kedamaian
dan
argumentasi yang dapat diterima oleh siapa saja secara rasional. Dalam
hal
ini tentunya kaum intelektual berperan penting. Bahkan di sinilah
tanggung
jawab moral kaum intelektual itu.
Catatan Kritis


Kendati demikian, tentunya perlu pula memberikan catatan kritis
terhadap
gejala kegetolan intelek untuk mendirikan partai ini. Dan catatan
kritis
penulis ini hanyalah sebagai warming, atau lebih tepat sebagai reminder
bagi
Prof Dr Ryaas Rasyid dan Andi Malarangeng, cs. Catatan kritis saya
lebih
mendasarkan pada apa yang pernah digagaskan oleh Edward Said dan Julien
Benda.
Edward Said dikenal sebagai orang yang menempatkan bagaimana peranan
intelektual itu dan ciri-cirinya seperti apa. Said melihat bahwa
intelektual
itu mempunyai tugas yang luhur, karena dia sebenarnya berpegang teguh
pada
kebenaran. Bagi Said seroang intelektual itu memang tidak dilarang
terlibat
di dalam politik, tetapi juga ia tidak boleh menjebloskan diri ke dunia
politik, melainkan harus memiliki daya kritis terhadap bidang itu.
Dengan
kata lain, seorang intelektual harus mampu menjaga jarak terhadap
politik.
Jadi, dalam kesibukannya dalam politik harus pula memperlihatkan daya
kritisnya dan berpegang pada nilai-nilai. Kalau gagasan ini tentunya
melekat
dalam para anggota partai PDK mungkin tidak menjadi persoalan, sebab
yang
menjadi ukuran di sini bukan uang, kedudukan, kekuasaan, melainkan
nilai-nilai.
Tetapi juga dalam sejarah bukanlah hal yang mustahil bahwa seorang
intelek
justru tidak mampu menjaga jarak dengan kekuasaan, melainkan justru
terjerumus di dalamnya. Dan kecenderungan ini sudah lama terjadi dalam
sejarah. Julien Benda sendiri salah seorang yang mengkhawatirkan bahwa
kaum
intelektual yang terlibat dalam perpolitikan tidak jarang
memperlihatkan
sikap penghianat. Artinya, intelektual politisi lebih sering
menghianati
nilai-nilai yang dipegangnya daripada memperlihatkan kesetiaan pada
nilai-nilai itu. Ini bukan hal yang aneh, mengingat "roh memang kuat
tetapi
daging itu lemah".
Apakah peringatan Julien Benda itu mustahil? Ryaas Rasyid dan Andi
Malarangeng tentu perlu pula menyadari bahwa kemungkinan penghiantan
ini
sangatlah nyata. Bagaimanapun, ketika intelektual terlibat, apalagi
sebagai
pelopor, dalam pendirian partai politik, ia tidak pernah lepas dari
kepentingan sebagaimana digagaskan oleh Karl Marx dan filsuf
utilitaristik,
John Stuart Mill dan Jeremy Bentham. Masalahnya tentunya terletak pada
bagaimana memilih kepentingan-kepentingan yang ada itu dan menjaga
jarak
dengan kepentingan itu. Ini merupakan tantangan besar bagi Ryaas Rasyid
dan
Andi Malarangeng di masa depan.
Singkatnya, membudayakan suatu iklim politik dengan landasan
rasionalitas,
sekali lagi meminjam Max Weber, patut didukung. Tetapi perlu pula
mengingat
kekhawatiran Julien Benda bahwa kaum intelektual juga memiliki potensi
mem-perlihatkan penghianatan daripada kesetiaan pada nilai-nilai yang
dipegangnya sebagai intelektual. Adalah tantangan bagi Prof. Ryaas dan
Bung
Andi untuk masalah ini. ***
(Kasdin Sihotang, dosen etika dan staf Pusat Pengembangan Etika Unika
Atma
Jaya, Jakarta, mahasiswa S2 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta).



_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com