[Nusantara] "nadirsyah_hosen" <nh97@uow....> : Buyung: Sebenarnya Tidak Perlu Ada Lagi MPR

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Mon Sep 2 11:55:08 2002


"nadirsyah_hosen" <nh97@uow....> : Buyung: Sebenarnya Tidak Perlu Ada Lagi MPR 
01 Sep 2002 11:02:21 -0000 

'Sebenarnya Tidak Perlu Ada Lagi MPR'


TIDAK semua dan sembarang orang mendapat undangan khusus dari forum 
terhormat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sebab, forum 
LIPI ini dianggap cukup bergengsi sebagai ajang pengakuan 
keilmuwanan seseorang. Nah, kali ini LIPI meminta pengacara kondang 
Adnan Buyung Nasution --setahun silam Prof Sangkor dari Bandung 
tampil dalam forum itu-- untuk menyampaikan orasi ilmiah tentang 
Konstitusi dan Demokrasi, dalam rangka memperingati ulang tahun ke-
35 LIPI, Sarwono Memorial Lecture.

Maka itu, Abang --sapaan akrab pengacara berambut putih ini-- merasa 
bangga dengan undangan itu. "Ini penghargaan besar bagi saya," 
katanya. Bayangkan, setelah tujuh tahun sebagai seorang ilmuwan yang 
melakukan riset hingga ke negeri Belanda berkaitan dengan sejarah 
dan perkembangan tata negara Indonesia, akhirnya Buyung mendapat 
pengakuan dan penghormatan dari LIPI.

Namun, seperti apa dan bagaimana pandangannya terhadap model 
konstitusi Indonesia? Wartawan Media Syarief Oeibaidillah dan Refly 
Harun mewawancarainya sebelum 'pendekar' hukum ini sibuk menerima 
sejumlah tamu yang menjadi korban penipuan PT Qisar Subur Alam Raya, 
di kantornya di Wisma Danamon Jakarta, Selasa siang, pekan lalu. 
Berikut petikannya.

Apa penilaian Anda terhadap hasil ST MPR 2002?

Memang ada hasil-hasil yang cukup mendasar, tetapi saya sendiri 
belum puas, belum memadai karena hasil yang sudah dicapai itu pun 
ternyata masih diwarnai oleh pemikiran-pemikiran rancu dari 
perspektif negara integralistiknya Supomo atau negara 
kekeluargaannya Soekarno, maupun dengan pikiran-pikiran totaliter 
yang militeristik yang dianut oleh pihak militer. Di sini ada satu 
titik temu dilihat dari sudut ideologi. Pikiran atau perspektif 
negara integralistik atau negara kekeluargaan Soekarno yang mengacu 
pada pemikiran manunggaling kawula gusti, itu cocok dengan pemikiran 
militer yang menghendaki satu komando ada aksi dan komando. Nah, ini 
semua pikiran-pikiran yang menurut saya bertolak belakang dengan 
perspektif aspirasi bangsa ini, yang menghendaki negara 
konstitusional.

Bisa Anda tegaskan lagi?

Ambil beberapa contoh paling mendasar, kalau kita sudah kembali 
kepada cita-cita negara kedaulatan rakyat di mana rakyat memegang 
kembali kedaulatan, sepenuhnya tidak lagi diserahkan mutlak kepada 
satu lembaga --MPR-- yang menjalankan kedaulatan rakyat sepenuhnya. 
Maka, kalau itu dipegang secara konsisten dan konsekuen, sebenarnya 
tidak perlu ada lagi lembaga MPR, karena presiden pun sudah langsung 
dipilih oleh rakyat. Nah, fungsi MPR lainnya, seperti mengubah 
konstitusi itu tidak perlu harus ada lembaga yang berdiri terus-
menerus, yang perlu didirikan satu saja, komisi konstitusi atau 
konstituante.

Untuk melantik presiden pun tidak perlu lagi dilakukan oleh MPR, 
cukup oleh DPR atau Mahkamah Agung. Sekarang MPR tampaknya masih 
dipertahankan dan dicari-cari atau mengada-ada. Tugas MPR melantik 
presiden untuk mengubah UUD, yah seperti itu tidak perlu diadakan 
terus-menerus oleh MPR .

Tampaknya ada kendala pada dasar pemikiran itu?

Masih ada kendala di dalam konsep pemikiran maupun perspektif 
kehidupan tata negara kita. Di satu pihak mau maju sesuai dengan 
cita-cita negara konstitusional, tapi masih dibebani oleh pikiran-
pikiran usang yang kolot dari negara integralistik itu. Jadi, mendua 
di sini.

Seperti apa konkretnya agar kita tidak perlu lembaga MPR lagi?

Ya, lembaga MPR itu menurut saya memang tidak perlu ada, dihapuskan 
saja sama sekali supaya tidak mendua .

Kapan tepatnya lembaga itu dihapuskan?

Ini bisa dilaporkan kepada sidang MPR nanti untuk disempurnakan. 
Sebab kalau ini tidak disempurnakan, lebih baik kita tinggalkan sama 
sekali UUD 1945, lebih baik Komisi Konstitusi mempersiapkan UUD baru.

Tapi secara teknis sudah ada amendemen UUD 1945 pertama hingga 
keempat, apa perlu amendemen kelima dan seterusnya?

Kalau memang kita masih pakai sistem amendemen, ini memang begitu, 
tidak bisa tidak. Jadi, habis Pemilu perlu diadakan lagi amendemen 
kelima untuk memperbaiki yang sudah ada sekarang ini.

Nanti enggak karu-karuan lagi?

Ya, sebenarnya memang kurang cantik terlalu banyak amendemen. Tapi 
memang untuk kasus Indonesia, karena UUD '45 ini sudah memunyai 
nilai historis dan nilai simbolik, tampaknya untuk sementara memang 
bagi generasi tua mau dipertahankan. Nah, kalau memang mau 
dipertahankan, jalan keluar satu-satunya hanya melalui amendemen. 
Sepeti model amendemen di Amerika, tapi amendemen jangan seperti 
sekarang. Amendemen dilakukan oleh suatu komisi konstitusi yang 
memang bisa memikirkan secara komprehensif. Secara menyeluruh, 
mendasar, dan perumusannya lebih baik. Jadi kemarin, karena 
melakukannya tergesa-gesa dan hanya melihat secara pasal demi pasal, 
tidak melihat secara menyeluruh semua aspeknya, akibatnya jadi 
tampak amendemen itu bersifat parsial.

Bukankah paradigmanya itu hal yang substansial, apa cukup mengubah 
sebuah amendemen yang sifatnya paradigmatik?

Sebetulnya itu paling ideal, karena kita mau jelas. Maka, 
paradigmanya itu juga baru. Sesuai dengan teori konstitusi, kita 
buat yang baru sama sekali. Tapi, kondisi objektif kita belum 
mencapai taraf itu. Kita masih dipenuhi pikiran-pikiran yang 
menghargai hasil-hasil revolusi. Saya optimistis, dengan paradigma 
yang baru pun kita bisa amendemen, tidak ada masalah. Coba kita 
lihat UUD 1945 yang sama, tapi dengan paradigma atau persepsi yang 
betul-betul konstitusional, demokratis. Di zaman revolusi pun bisa 
dijalankan melalui konvensi. Jadi, bukan suatu hal yang mutlak 
tertutup. Hanya saja memang memerlukan kemauan politik, komitmen 
yang kuat kepada persepsi atau paradigma yang baru, dan benar-benar 
dirumuskan dengan baik di dalam amendemen.

Apakah keberatan mempertahankan UUD 1945 itu pada tingkat simbolik 
atau yang lebih teknis lagi?

Saya melihat lebih simbolik, seperti saya simpulkan dalam disertasi 
saya, nilai-nilai historis dari simbolik inilah yang paling 
membebani. Dan orang Indonesia ini rupanya sangat mengagungkan nilai-
nilai historik dan simbolik itu. Tapi itu akan berkurang bagi yang 
tua-tua, dan yang muda-muda tidak lagi merasa terikat. Maka, saya 
optimistis ke depan itu akan ada perubahan.

Ada kesan, saat kita bicara tentang konstitusi baru, takut Pembukaan 
diotak-atik, terutama Pancasilanya. Padahal dukungan terhadap non-
Pancasila atau ideologi agama itu tidak kuat terhadap bangsa 
Indonesia?

Ya memang. Orang memakai teknik atau alasan pembukaan tidak bisa 
diubah. Tapi, itu kan dalih atau alasan yang dipergunakan untuk 
tujuan substantif, yakni untuk tidak mengubah dasar negara 
Pancasila. Sebenarnya tidak ada satu bagian pun dari konstitusi itu, 
baik pembukaan maupun batang tubuh, yang tidak bisa diubah. Secara 
teori semua bisa diubah. Sebab, konstitusi itu kan merupakan suatu 
perjanjian, antara penguasa dan rakyat moderat yang mendirikan 
negara ini. Maka, harus bisa diubah. Tapi memang benar juga ada 
nilai-nilai yang sudah, katakanlah baku dan menjadi kesepakatan atau 
konsensus nasional yang memang harus kita pelihara. Dasar negara 
Pancasila bagi saya sendiri, saya melihat merupakan nilai baku yang 
sudah disepakati dan harus dipertahankan. Karena, pengalaman empiris 
bangsa ini pada saat Sidang Majelis Konstituante tahun 1956-1959 
menunjukkan, begitu dasar negara Pancasila ini diperbincangkan 
kembali dan dibuka lagi dalam perdebatan, hasilnya percuma. Nah 
inilah yang saya katakan bangsa yang maju itu adalah bangsa yang mau 
mengambil pelajaran dari pengalaman empirisnya sendiri. Kalau 
pengalaman empiris bangsa kita menunjukkan bahwa dasar negara itu 
sudah tidak perlu dibicarakan lagi. Yah kita harus ada konsensus 
untuk itu, janganlah kita bicarakan lagi. (M-3)

Biodata:

Nama : Adnan Buyung Nasution

Lahir: Jakarta, 20 Juli 1934

Agama: Islam

Pendidikan:

- Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan Universitas Indonesia (1964)

- Studi Hukum Internasional, Universitas Melbourne, Australia (1959)

- S3 Universitas Utrecht, Belanda (1992)

Pekerjaan:

- Jaksa/Kepala Humas Kejaksaan Agung (1957/1968)

- Anggota DPRS/MPRS (1966-1968)

- Direktur/Ketua Dewan Pengurus LBH (1970-1981)

- Ketua Umum YLBHI (1981-1983)

- Advokat/Konsultan Hukum (sekarang)

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup