[Nusantara] "Indra Piliang" <indrapiliang@cs...>: Partycracy, Desentralisasi
dan Distrikisasi
Reijkman Carrountel
reijkman@europe.com
Mon Sep 2 12:36:01 2002
"Indra Piliang" <indrapiliang@cs...>: Partycracy, Desentralisasi dan Distrikisasi
2 Sep 2002 14:12:13 -0700
Partycracy, Desentralisasi dan Distrikisasi Politik
(Indra J. Piliang)
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) antara
Pemerintah yang diwakili Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang berlangsung sekarang, memperlihatkan
kuatnya dominasi kepentingan partai politik besar. Partai juga seakan
disiapkan untuk menjadi kuda Troya pimpinan partai, dan posisi pemilih
hanyalah kuda beban, kuda lumping, atau bahkan stepping stone untuk posisi di
legislatif dan eksekutif. Hal itu terlihat dari pemilihan sistem
proporsional yang diajukan dalam RUU oleh Pemerintah yang sepertinya akan
didukung penuh oleh fraksi-fraksi besar di DPR.
Argumen-argumen yang diajukan juga terkesan serampangan. “Pimpinan
partai memerlukan orang-orang pilihan, ahli-ahli di bidangnya. Dengan
sistem distrik, tidak ada jaminan orang-orang seperti itu terpilih,”
demikian antara lain yang dikatakan seorang profesor ilmu hukum. Keadaan ini
menunjukkan kembalinya paradigma lama yang banyak disebut sebagai biang
dari manipulasi atas democracy (kedaulatan rakyat). Dalam bahasa yang
pernah disebut Hilmar Farid dalam sebuah diskusi terbatas di Kompas
(26/07/2002), dengan mengutip seorang ilmuwan Italia, Mauro Calise, bahwa
demokrasi di Italia telah mengalami perubahan kearah partycracy
(kedaulatan partai). Tulisan Calise itu berjudul The Italian Partycracy: Beyond
President and Parliament yang dimuat dalam Political Science Quarterly,
Vol. 109, No. 3, hal. 441-460, tahun 1994. Istilah partycracy ini
langsung mendunia, paling tidak di negara-negara Eropa Barat dan Timur,
serta Amerika Selatan. Saking barunya, istilah ini belum saya temukan dalam
kamus bahasa Inggris.
Partycracy semacam ini, yang lebih jauh lagi mengarah kepada
partitocray, berlangsung dalam rezim parlementarisme Italia selama kurun waktu
1948 sampai 1992. Rezim particratic ini, menurut Calise, adalah “...rezim
dimana kedua cabang legislatif dan eksekutif berada dalam derajat yang
“lemah”, karena ketergantungan mereka kepada pilihan-pilihan dalam
organisasi-organisasi politik” (dalam Luca Verzichelli and Maurizio Cotta,
“Still a Central Institution?: New Patterns of Parliamentary Democracy
in Italia, 1992-2002”, Draft Makalah dalam Workshop A Renewal of
Parliaments in Europe?: MPs Behaviors and Actions Constrains, Turin, 22-27
Maret 2002).
Rezim particratic ini juga yang terjadi di Indonesia, terutama dalam
Pemilu 1955, dan akibat-akibatnya pasca Pemilu. Pemilu itu mengecewakan
Muhammad Hatta (1902-1980) karena tidak menghasilkan pimpinan-pimpinan
politik yang handal, akibat banyak anggota DPR yang sebetulnya
“ditunjuk” oleh partainya, bukan langsung dipilih rakyat. Yang dipilih rakyat
ialah partai atau kelompok dalam daftar Pemilu. Sistem daftar seperti ini
mengurangi demokrasi, kata Hatta, dan malah cenderung pada oligarki
(Deliar Noer: 1990, hal. 506). Saat itu, berdasarkan UUD 1950, Indonesia
memang menerapkan sistem parlementer.
Setelah Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan
kembali ke UUD 1945, lalu dikukuhkan oleh Rezim Soeharto berdasarkan
“amanat” Angkatan 1966, Pancasila dan UUD 1945 dijalankan secara murni dan
konsekuen. Dominasi partai kemudian dilumpuhkan sejak Pemilu 1977-1997,
dengan tampilnya kekuatan yang menyebut diri sebagai bukan partai,
yakni Golongan Karya, atas dukungan penuh birokrasi dan militer. Pemilu
1999 kembali menghadirkan kedigdayaan partai-partai politik, dan semakin
dilanggengkan dengan empat kali amandemen UUD 1945.
Dominasi partai-partai politik kian meluas dalam UUD 2002 (mengutip
Gunawan Muhammad, Tempo, 26/08 s/d 01/09/2002), termasuk dengan ketentuan
bahwa Presiden-Wakil Presiden, dan DPR, harus berasal dari satu atau
gabungan partai-partai politik. Hanya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
bukan berasal dari partai-partai politik, tetapi hak-haknya sangat
terbatas, dan jumlahnya pun sepertiga dari seluruh anggota MPR. Padahal,
legitimasi Presiden/Wapres dan DPD jauh lebih kuat, karena dipilih
langsung menurut UUD 2002. Disinilah partycracy berlangsung dalam sistem
presidensiil.
Padahal, bukti-bukti historis memperlihatkan bahwa partai tak banyak
berperan mendorong perubahan, mulai dari usaha pemerdekaan Negara
Indonesia yang berbentuk Republik ini, sampai penumbangan rezim-rezim
otoriter. Bisa dikatakan, para pembentuk Negara Indonesia adalah kalangan
ilmuwan, tokoh-tokoh daerah, jurnalis, atau apa yang didefenisikan sekarang
sebagai komponen Civil Society. Satu-satunya partai yang pernah dengan
giat menentang Belanda adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), sekalipun
PKI juga yang menjadi triumvirat Orde Lama sebagai wakil unsur Komunis,
bersama kalangan Nasionalis-Agama, serta dukungan penuh Angkatan Darat.
Tumbangnya Orde Lama dan Orde Baru terbukti dilakukan oleh komponen
gerakan mahasiswa, kelompok militer, kalangan independen diluar negara,
kaum intelektual, dan aktivis Non Government Organization (NGO).
Intinya, ketika angin perubahan berhembus kencang, partai-partai berada
dalam posisi marginal. Sebaliknya, ketika situasi stabil, partai
kembali ke tengah kehidupan masyarakat, dan kalangan yang melakukan perubahan
dipinggirkan ke posisi marginal.
***
Memang, partai sangat diperlukan dalam situasi normal. Partai adalah
replika dari suara rakyat. Partai menjadi perantara suara rakyat, makanya
wakil-wakil partai di DPR dinamakan wakil rakyat. Tetapi, itupun dengan
sejumlah syarat. Pertama, adanya kontrak sosial dengan rakyat, berupa
platform, program, dan “jualan” partai lainnya dalam pasar bebas
politik. Kedua, adanya jaminan bahwa suara wakil rakyat sesuai dengan amanat
penderitaan rakyat. Ketiga, adanya persinggungan atau irisan hubungan
rakyat dengan wakil rakyat, terutama dari segi pengetahuan atas wakilnya
itu. Keempat, adanya jadwal rutin pertemuan rakyat dengan wakil rakyat,
selama wakilnya itu ada di legislative. Kelima, adanya fase untuk
mengevaluasi kinerja wakil rakyat itu yang disebut Pemilu, untuk dipilih
atau tidak dipilih.
Syarat–syarat itu memang mudah dituliskan, tetapi sulit untuk
dijalankan. Salah satu bentuknya adalah proses masuknya suara rakyat kepada
partai yang menjadi fasilitator wakil-wakil rakyat. Dalam sistem lama,
suara rakyat masuk di kotak-kotak pemilihan, dengan cara menusuk tanda
gambar partai. Sistem inilah yang dikenal sebagai sistem proporsional.
Terserah partai, siapa dari anggota partai yang bisa mewakili, menjaga,
mengamankan, dan menyuarakan suara titipan rakyat. Dalam sistem
proporsional ini, calon-calon anggota DPR mendekat kepada figur pimpinan partai.
Istilah populisnya, seperti membeli kucing dalam karung, atau “menang
dilotre” kata Iwan Fals.
Tetapi, sistem ini terbukti rapuh. Usai pemilu, urusan rakyat tinggal
di rakyat, dan urusan partai terserah partai. Bahkan yang lebih
menyakitkan, rakyat ternyata berada dalam struktur oligopoli, monopoli, dan
hegemoni partai. Ketika wakil-wakil rakyat bersepakat untuk menaikkan
harga BBM (Bahan-Bakar-Minyak), nyaris tanpa pertimbangan apakah kenaikan
itu sesuai dengan aspirasi rakyat yang mendudukan politisi di bangkunya.
Wakil rakyat tak pernah bertanya ke rakyat, melainkan ke pimpinan
partai, untuk memutuskan kenaikan itu.
Hal itu berbeda dengan sistem distrik. Pemilih langsung menunjuk
wakilnya, dalam wilayah tertentu (Kabupaten/Kota) dan jumlah pemilih
tertentu. Karena untuk menjadi wakil rakyat di DPR harus menjadi pemenang
mayoritas di Kabupaten-Kota itu, mengingat ketetntuan satu orang anggota DPR
untuk satu Kabupaten/Kota, maka calon-calon anggota DPR itu harus
“menggarap” massa partai di Kabupaten/Kota itu. Tidak mudah, memang, tetapi
bukan tidak mungkin. Dengan cara ini, calon-calon anggota DPR mendekat
ke rakyat. Dalam rentang waktu kampanye selama satu bulan, misalnya,
calon-calon ini diinisiasi oleh rakyat, bergaul dengan rakyat, berjanji
kepada rakyat. Rakyat menjadi tidak anonim, karena ada batas jumlah
pemilih di tingkat Kabupaten/Kota. Rakyat juga bukanlah sesuatu yang hanya
digunakan untuk sekedar kertas lotre dalam memperebutkan kue kekuasaan.
Bukan hanya itu, setelah menangpun, bahkan dengan kelebihan satu suara
dari calon lain, otomatis si pemenang suara rakyat ini mewakili
kabupaten/kota itu secara keseluruhan, bukan hanya yang memilihnya.
Coba bayangkan, alangkah hidupnya demokrasi, ketika 20 orang calon
anggota DPR dari 15 partai memperebutkan satu kursi di Kabupaten A. Belum
untuk anggota DPRD I dan DPRD II yang jumlah calonnya lebih banyak,
termasuk untuk posisi anggota DPD. Andaikan terdapat 60 calon anggota
legislatif (caleg) di satu Kabupaten/Kota, butuh sebulan untuk rolling
stones campaign, apabila sehari dicadangkan untuk dua caleg. Andaikan
terdapat 60 desa/kelurahan di Kabupaten/Kota itu, masing-masing calon akan
mengunjungi dua desa untuk berkampanye dalam sehari. Apa yang dimakan
rakyat di desa itu, itu pula yang dimakan si caleg. Kalau perlu, si caleg
belajar bahasa dan budaya yang digunakan di desa itu, untuk mendekatkan
diri.
***
Begitulah, dengan besarnya kekuasaan DPR usai amandemen UUD 1945
(legislative heavy), lebih dibutuhkan kerja keras untuk mendapatkan kursi itu
dengan membujuk rakyat. Begitupun setelah ada di Senayan, anggota DPR
lebih berkonsentrasi untuk mengajukan daftar surat kontraknya – berupa
platform dan program – untuk dimenangkan menjadi sebuah keputusan,
katakanlah Undang-Undang. Selama reses, anggota DPR yang terhormat itu
kembali ke daerah pemilihannya, melaporkan apa yang sudah dilakukan,
menanyakan masalah-masalah baru, lantas kembali berjuang di gedung parlemen,
ketika masa sidang tiba.
Bandingkan keadaan itu apabila yang disetujui adalah sistem
proporsional. Berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun, Caleg akan
berkeliling di sekitar pimpinan. Kalau perlu, tidur di dekat pimpinan partai
tidur. Karena kebanyakan pimpinan partai bermarkas di Jakarta, jadilah
politisi Jakarta yang punya akses paling banyak. Kalaupun terpilih
menjadi wakil partai di parlemen, ketakutannya kepada pimpinan partai jauh
lebih besar daripada ketakutannya kepada rakyat. Sementara, rakyat hanya
bisa meraba-raba. Tak heran, dalam keadaan seperti ini, rumours menjadi
bahan cerita. Isyu menjadi berita. Simbol jadi pelita. Demokrasi,
akhirnya, menjadi bencana.
Apa artinya desentralisasi dalam level ini? Saya berani mengatakan
bahwa kendala terbesar dalam desentralisasi dan devolusi sekarang ini
terletak di tangan partai politik. Bukan ditangan rakyat, apalagi pada
sector ketersediaan sumber kekayaan alam, kemampuan sumber daya manusia,
juga daya dukung budaya. Tujuh bulan waktu hilang percuma, untuk polemik
sekitar revisi UU No. 22/1999. Tujuh bulan juga elite-elite partai di
daerah melobi elite-elite partai di pusat, bolak-balik ke Jakarta, tanpa
ada imbasnya pada perbaikan standar hidup minimum di daerah. Beberapa
daerah yang dulu menyambut desentralisasi dengan smooth, seperti
Provinsi Jambi, kini bertebaran kaum pengemis dan gelandangan. Jumlah penduduk
miskin di Jambi meningkat drastis menjadi 77.349 atau sekitar 14 persen
dari 586.626 keluarga pada tahun 2000. Jumlah tersebut meningkat
sekitar 7.665 keluarga atau 18,90 persen dari jumlah keluarga miskin tahun
2000 sekitar 68.768 keluarga (Pembaruan, 16/08/2002).
Untuk itulah, keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional
dalam Pemilu adalah kemunduran terbesar dalam konsolidasi demokrasi. Coba
bayangkan skenario berikut: Si C kebetulan terpilih menjadi Presiden
dalam Pemilu secara langsung. Kebetulan si C adalah Ketua Umum Partai
XYZ, dan kebetulan pula Partai XYZ menjadi mayoritas di DPR. Apa yang akan
terjadi setelah tiga kebetulan itu? Si C menggenggam dua kekuasaan
sekaligus: legislatif dan eksekutif, sementara legitimasinya sangat kuat
karena langsung dipilih rakyat. Karena dalam sejarah Indonesia kekuasaan
adalah sumber dari segala sumber penyakit kebangsaan, keserakahan,
kleptokrasi, apakah si C tak akan silau untuk terjebak dalam pasir hisap
yang sama akibat ecstasy kekuasaan? Sulit untuk tak mengatakan,
legislatif dan eksekutif punya pluang besar untuk berselingkuh tanpa ada jalan
untuk mengontrolnya. Apalagi kalau Presiden terpilih tak mau melepaskan
diri dari jabatan pimpinan partai politiknya. Hanya orang suci yang
bisa berlaku adil atas dua kekuasaan itu, tetapi sayangnya orang suci
jarang yang mau masuk ke partai politik, atau bahkan kita tak pernah punya
orang suci.
***
Untuk itulah, desentralisasi dan distrikisasi politik menjadi mutlak
untuk membendung partycracy. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Argumen
rakyat tak siap adalah argumen akal-akalan saja, karena terbukti rakyat
siap memilih Kepala Desa sejak sejarah Desa ada, juga dipercaya akan
mampu memilih Presiden secara langsung, serta memilih anggota DPD,
sebagaimana bunyi UUD 2002. Kenapa untuk memilih anggota DPR yang punya hak
imunitas itu rakyat tak dianggap siap? Desentralisasi politik sudah
merupakan keharusan dalam demokrasi, bahkan sudah diintrodusir Muhammad
Hatta 70 tahun silam, dengan memperhatikan demokrasi di level desa.
Begitupun sistem pemilu distrik. Dengan adanya pembagian wilayah politik di
level Kabupaten/Kota, baik untuk memilih anggota DPR maupun DPRD I/II,
otomatis para pemilih di tingkat Kabupaten/Kota sudah terbiasa memilih.
Belum lagi dengan keluarnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang sudah berjalan di bidang politik sejak diberlakukan 7 Mei 1999.
Rakyat di tingkat kabupaten/kota sudah terbiasa berpolitik, bahkan piawai,
untuk melakukan demokrasi secara langsung.
Lalu, dimana posisi partai? “Orang-orang pilihan dan ahli-ahli” yang
dibutuhkan pleh pimpinan partai mengisi institusi partai. Sekretariat
partai dan fungsi Sekretaris Jenderal partai akan memiliki peran besar.
Merekalah yang bekerja, termasuk melatih anggota DPR/D yang dipercaya
rakyat dalam Pemilu untuk bisa memasang dasi, membaca UU, mengkalkulasikan
angka-angka dalam APBN/D, memahami Program Pembangunan Nasional
(Propenas) dan Program Pembangunan Daerah (Propeda), dan tugas-tugas lainnya.
Desentralisasi dan distrikisasi politik bukan berarti memarginalkan
peran partai, malah sebaliknya, mendudukkan institusi partai pada tempat
yang terhormat. Desentralisasi dan distrikasi juga wahana untuk
mendekatkan partai ke basisnya, dan bukan menguburkannya.
Sekretariat partai itu jugalah yang menampung keluhan konstituen,
menurunkan platform menjadi program aksi, dan lain-lain. Kalangan
profesional dan akademisi, bahkan NGO, tentu tak akan keberatan untuk memajukan
agenda-agenda bersama. Sekretariat partai akan berfungsi sebagai think
tank. Kalau perlu, dan pernah dibikin, anggota DPR mempunyai kantor
pusat sekretariatnya di daerah pemilihan yang berbeda dengan kantor
partai. Distribusi fungsi sekretariat partai akan menjamur, dan bukan sabdo
pandito ratu. Inilah strategi “menjemput bola” (proaktif) yang bisa
dipikirkan, dan layak dikembangkan. Politisi tidak lagi berkonsentrasi
dengan domain politik nasional, melainkan lokal. Wakil-wakil rakyat dari
DKI akan membuat pansus banjir, begitupun dari Kalimantan yang membuat
pansus kebakaran hutan.
Bukan seperti yang terjadi sekarang, pencalonan seorang gubernur,
siapapun orangnya, dilakukan dan didukung penuh oleh Ketua Umum partai
politik. Padahal dalam bentuk paling minimalis, berkaitan dengan
desentralisasi partai politik, kebutuhan politik lokal – katakanlah suara Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) – jauh lebih penting. Begitupun dalam Pemilu,
seperti ditulis M.Orhan Tarhan dalam mengkritisi partycracy di Turki: “Of
course, in their own districts, the bosses put their own names on top of
the list. People would vote for parties, not for representatives, and
the ratio of party votes determined the ratio of candidates from various
parties to go to the parliament. Thus, PARTYCRACY was created.”
(http://www.ataturksociety.org/asa/voa/blueprint.html).
Ketika sepuluh kabupaten dilanda keracunan akibat limbah Pabrik Beta
atau Pabrik Gamma atau pabrik Alva, maka wakil-wakil rakyat dari sepuluh
kabupaten itu – sekalipun berasal dari sepuluh partai – akan
menjalankan fungsi, hak dan wewenangnya agar para pemilihnya di sepuluh kabupaten
itu tidak mati keracunan, sehingga hanya sepuluh orang anggota DPR itu
saja yang hidup. Kalau rakyat mati, siapa yang memilih wakil rakyat?
Para staf ahli di sekretariat partai, akan mengajukan data-data berkala,
sehingga anggota DPR tak sekedar ngomong doang. Begitupun kalangan
akademisi dan aktivis NGO yang berkepentingan, tak akan lagi sungkan
mengajukan rencana penyelamatan manusia, terlepas dari kepentingan “ideologi”
masing-masing. Mereka juga tak merasa hak advokasi mereka “dirampas”
oleh partai politik, seperti tersirat dalam tulisan Muhaimin Iskandar
(Menuju Partai Advokasi, Pembaruan, 28/08/02).
Nah, coba anda bayangkan kalau sebaliknya yang terjadi, kembalinya
sistem proporsional. Kalau ada banjir, keracunan limbah industri,
pembunuhan massal, penipuan ribuan tenaga kerja, kelaparan akibat gizi buruk,
pengungsian, apa yang akan terdengar? “Kami menunggu perintah Ketua Umum
Partai! Sabar saja, daftarnya banyak!” Satu orang menangani seribu
masalah dalam waktu bersamaan? Sungguh tak masuk diakal. Partycracy akan
berubah bentuk menjadi partycrazy. Maka, yang salah adalah Soekarno, yang
salah adalah Soeharto. Para pendukungnya tak ada yang salah, karena:
“Itu perintah Bapak! Siapa yang berani melawan perintah beliau?”...
Indra J. Piliang, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial
CSIS, Jakarta.
--
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup