[Nusantara] "Ambon" <sea@: Nasib TKI dan Ilusi Pembangunan(isme)
Ra Penak
edipur@hotmail.com
Fri Sep 6 03:15:05 2002
"Ambon" <sea@: Nasib TKI dan Ilusi Pembangunan(isme)
3 Sep 2002 21:30:29 +0200
Nasib TKI dan Ilusi Pembangunan(isme)
Oleh Padang Wicaksono
atusan ribu manusia Indonesia dengan tatapan kosong dan wajah penuh
pasrah
sedang berjuang untuk mengadu nasib di tanah rantau. Jauh dari pangkuan
ayah-bunda tercinta maupun sanak saudara di kampung halaman. Jika dapat
memilih tentu tak ada di antara mereka yang sudi meninggalkan kampung
halaman tercinta. Namun karena belenggu kemiskinan, demi sesuap nasi
dan
sebungkah harapan di hari esok, mereka rela pergi jauh ke negeri
seberang
meski kadang-kadang maut datang menjemputnya.
Persoalan eksodus tenaga kerja secara besar-besaran yang terpelanting
dari
kawasan pedesaan menuju perkotaan atau bahkan melintasi batas negara
sebagai
akibat dari tergerusnya sektor pertanian merupakan problem klasik yang
sering dialami negara-negara berkembang (developing countries),
termasuk
Indonesia. Kebijakan industrialisasi yang terlalu ambisius tanpa
memperhatikan keterkaitan dengan sektor pertanian dan partisipasi
masyarakat
lokal dapat dianggap sebagai salah satu penyebab utama.
Kata Kunci
Berakhirnya Perang Dunia II telah melahirkan dua superpower baru, yakni
Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling berebut pengaruh untuk
menancapkan dominasi atas belahan bumi lainnya, terutama negara-negara
yang
baru merdeka. Kini, Uni Soviet sebagai kiblat komunis-sosialis telah
lama
runtuh sementara negara-negara sekutunya seperti Cina, Kuba, dan
Vietnam,
meski secara resmi masih berideologi yang sama, telah mengintrodusir
sistem
ekonomi pasar sekalipun secara malu-malu.
Pasca-Perang Dunia II juga ditandai dengan era dekolonisasi
negara-negara di
Asia dan Afrika. Negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika
tersebut
berharap cemas untuk dapat melepaskan diri dari kemiskinan dan
keterbelakangan. Di tengah kecemasan tersebut, pada Point Four
Inaugurated
Speech 20 Januari 1949, Presiden Harry S. Truman menawarkan sebuah
gagasan
tentang pentingnya pembangunan guna melepaskan diri dari belenggu
kemiskinan
dan kegelapan. Dalam perkembangan selanjutnya, kosa kata development
berikut
kembarannya modernization telah menjadi sihir yang memukau para elite
politik dan cen- dekiawan negara-negara berkembang (baca The Third
World).
Pada tataran konseptual, Walt Whitman Rostow, profesor Sejarah Ekonomi
dari
Massachusetts Institute of Technology, dalam rangkaian kuliahnya di
Cambridge University pada 1958 memaparkan pemikirannya yang terkenal
mengenai tahap-tahap pembangunan atau dikenal dengan The Stages of
Economic
Growth (Rostow, 1960). Rostow melihat The Third World sebagai
masyarakat
tradisional/primitif dengan menggunakan standar The First World (Eropa,
Amerika Utara, dan Jepang). Oleh karena tradisional/primitif identik
dengan
kemiskinan dan keterbelakangan maka
pembangunan/industrialisasi/modernisasi
mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan The Third World atas
The
First World.
Pada tataran operasional, gagasan tentang
pembangunanisme/industrialisasi/modernisasi didukung oleh dua lembaga
paling
berpengaruh di muka bumi ini, yakni Dana Moneter Internasional (IMF)
dan
saudara kembarnya Bank Dunia (World Bank). Dalam perkembangan
selanjutnya
makna pembangunan telah direduksi menjadi pertumbuhan ekonomi (economic
growth) semata (Esteva, 1992: hal. 12). Lebih konkretnya, makna
pembangunan
telah disederhanakan menjadi pertumbuhan pendapatan per kapita pada
negara-negara berkembang (underdeveloped).
Dalam suasana kelangkaan kapital dan ambisi untuk mengejar
ketertinggalan
ekonomi dari negara-negara industri maju, elite negara-negara
berkembang
mengambil jalan pintas dengan menggantungkan diri pada utang luar
negeri
guna membiayai proyek industrialisasi. Seperti sudah sering kita baca
dalam
berbagai literatur resmi maupun pemberitaan media massa, negara-negara
berkembang termasuk Indonesia telah terjebak pada ketergantungan utang
luar
negeri yang semakin kronis sementara pembangunan/industriali-sasi yang
tengah dijalankan ternyata tidak mampu mengangkat harkat dan martabat
rakyatnya dari lembah kemiskinan dan kesengsaraan.
Dalam suasana serba kalut tersebut, di tahun 1980 IMF dan Bank Dunia
menawarkan solusi untuk mengatasi jebakan utang yang terkenal dengan
istilah
Structural Adjustment Programs (SAPs). Pada intinya, SAPs ini digunakan
untuk merestrukturisasi perekonomian negara-negara berkembang dengan
harapan
mampu membayar kembali utang luar negerinya.
Komponen SAPs terdiri dari: pemotongan pengeluaran pemerintah khususnya
pada
bidang-bidang yang terkait dengan subsidi dan jaminan sosial atas
masyarakat
kelas bawah; liberalisasi pasar domestik dengan jalan membuka pintu
lebar-lebar bagi investasi asing; privatisasi BUMN; mengutamakan ekspor
bahan mentah/ baku guna memenuhi kebutuhan negara-negara industri maju
ketimbang mendukung kebijakan pertanian yang berpijak pada permintaan
domestik; devaluasi mata uang lokal untuk merangsang ekspor.
Kenyataannya, Program Penyesuaian Struktural ini tidak mampu
menyelesaikan
masalah oleh karena masyarakat kelas bawah yang tidak mempunyai posisi
tawar-menawar yang kuat sering dikorbankan oleh elite politik beserta
kalangan pemilik modal untuk mempertahankan proses akumulasi kapital
demi
tercapainya jargon pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pelajaran dari krisis mata uang yang melanda Asia dan Indonesia pada
tahun
1997 telah membukakan mata kita semua bahwa utang luar negeri tersebut
telah
digunakan untuk membiayai proyek industrialisasi yang pada hakikatnya
wasteful dan spekulatif seperti produksi barang-barang mewah dan real
estate. Di sisi lain, kegagalan proyek industrialisasi substitusi impor
yang
padat modal dan pesimisme akan keberhasilan proyek industrialisasi
promosi
ekspor telah menyadarkan kita bahwa selama ini kebijakan di sektor
pertanian
yang dapat menjadi penggerak industrialisasi dan sektor-sektor ekonomi
yang
lain telah lama diabaikan padahal sebagian besar masyarakat kita
menggantungkan hidupnya pada sektor yang satu ini.
TKI Sebagai Korban
Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia,
pembangunan/industrialisasi tidak mengalami tahapan-tahapan sebagaimana
yang
telah dialami oleh negara-negara industri maju. Dalam kasus
industrialisasi
negara-negara maju, sektor pertanian menjadi fondasi bagi berkembangnya
sektor industri sehingga antara keduanya terjalin keterkaitan yang erat
di
mana dalam perkembangan selanjutnya, proses industrialisasi dan
akumulasi
kapital yang dialami oleh negara-negara industri terkemuka (Amerika
Utara,
Eropa, dan Jepang) membawa dampak yang positif berupa partisipasi
masyarakat
luas (Robison, 1979). Sementara proses yang sama tidak terjadi pada
negeri
kita.
Di sisi lain, watak sebagian besar para pengambil kebijakan di negeri
kita
yang sangat pragmatis dan oportunis sering mengambil jalan pintas
dengan
cara mengorbankan lahan-lahan hutan yang produktif dan daerah pertanian
yang
subur untuk ditukar dengan berdirinya pabrik-pabrik besar dan
rumah-rumah
mewah ataupun pusat perbelanjaan. Akibat kebijakan pragmatis seperti
ini,
jutaan rakyat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian telah
terpelanting dari pedesaan dan sebagai kompensasinya mereka melakukan
eksodus besar-besaran ke kota dengan harapan mencari pekerjaan yang
lebih
baik.
Sementara akibat program industrialisasi yang tidak sempurna, sektor
industri ini ternyata tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga
jutaan orang terpelanting lagi ke sektor informal. Dalam situasi yang
serba
sulit seperti ini, lapangan kerja di luar negeri menjadi alternatif
utama.
Namun dengan kondisi pendidikan yang rendah dan pengalaman yang minim
pada
akhirnya TKI hanya mampu mengisi ruang-ruang yang pada hakikatnya
sangat
marginal seperti pembantu rumah tangga, buruh perkebunan, dan buruh
pabrik.
Ironisnya, di era dekolonisasi ini para TKI telah diperlakukan sebagai
barang komoditas yang tak berbeda jauh dengan status budak, baik oleh
para
agen tenaga kerja yang nota bene adalah bangsa sendiri maupun oleh
kepentingan para pemilik modal negara tujuan yang hanya ingin
meminimalisir
biaya produksi dengan jalan mencari buruh murah namun berupaya memburu
profit sebesar mungkin.
Dalam suatu kesempatan, penulis pernah bertemu dengan para TKW yang
sedang
mengadu nasib di Jepang. Sungguh memilukan kehidupan mereka oleh karena
tenaga mereka diperlakukan sebagai budak yang harus bekerja siang dan
malam
sementara gaji yang diperoleh tidak seimbang dengan keringat yang
bercucuran. Sementara tidak ada perlindungan apapun atas nasib mereka.
Nasib
mereka hanya tergantung dari kebaikan majikan atau pemilik pabrik dan
tak
jarang di antara mereka yang sangat rentan terhadap pelecehan seksual.
Boleh jadi tulisan ini pun tidak akan dibaca oleh para pengambil
keputusan
negeri ini, namun penulis senantiasa berharap akan kehidupan yang lebih
baik
di hari esok untuk bangsa kita. Melihat penderitaan yang dialami oleh
ratusan ribu atau mungkin jutaan anak bangsa yang sedang mengais rezeki
di
negeri orang maka tak berlebihan bila penulis menganggap bahwa proses
pembangunan selama ini tak lebih dari sebuah ilusi belaka!
Penulis sedang studi pada Department of Economic Science Graduate
School of
Economics Saitama University Japan.
_________________________________________________________________
Join the world’s largest e-mail service with MSN Hotmail.
http://www.hotmail.com