[Nusantara] Yonky Karman : Menggugat Pasar Gelap Keadilan

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Fri Sep 6 06:29:45 2002


Yonky Karman : Menggugat Pasar Gelap Keadilan 
4 Sep 2002 23:04:35 +0200 
Menggugat Pasar Gelap Keadilan 
         
Menggugat Pasar Gelap Keadilan
Oleh Yonky Karman

Dalam evaluasi Perhimpunan Indonesia Baru terhadap kinerja Kabinet 
Megawati
(19/8, 2002), disimpulkan bahwa secara makro ada perbaikan ekonomi, 
namun
banyak hal belum dilakukan untuk memperbaiki iklim investasi. Di 
antaranya
adalah maraknya pasar gelap keadilan dan itu disebabkan absennya
kepemimpinan.
Pasar gelap adalah ungkapan untuk tempat berjual beli barang-barang 
dengan
harga yang tidak transparan tanpa patokan harga yang jelas. Pasar gelap
keadilan adalah tempat berdagang keadilan.
Penegakan hukum di Tanah Air bagai menegakkan benang basah. Penegak 
hukum
berpretensi menjunjung tinggi keadilan, namun keadilan yang 
dinanti-nanti
seperti fatamorgana. Penyebabnya adalah karena keadilan 
diperjualbelikan
oleh penegak hukum, abdi hukum. Celah-celah hukum dicari untuk 
menghukum
orang yang tidak bersalah atau membebaskan orang yang bersalah.

Pasar Gelap Keadilan
Keadilan tidak untuk diperjualbelikan, tetapi untuk diamalkan. Namun 
betapa
mirisnya mendengar ungkapan sinis masyarakat ketika berbicara tentang 
hukum
di negeri kita, "UUD," ujung-ujungnya duit.
Pencari keadilan mendapati hukum diputar balik dan ironisnya pelakunya
adalah penegak hukum. Bila gaji kecil dijadikan alasan korupsi 
peradilan,
sebenarnya itu hanya memperlihatkan betapa beraninya manusia 
memperdagangkan
hukum dan membuat keadilan di tangannya menjadi relatif.
Apa yang terjadi ketika hukum diperdagangkan dalam pasar gelap 
keadilan?
Mereka yang punya uang dan akses politik kepada penegak hukum, hanya
merekalah yang dapat memperoleh keadilan yang dikehendaki. Sementara 
itu,
warga miskin dan tanpa akses hanya bisa menggigit jari. Malah, tidak 
jarang
mereka diperlakukan tidak adil justru oleh aparat penegak hukum.
Begitulah, situasi hukum dan keadilan di Tanah Air secara substansial 
belum
lebih baik di era pasca-Orde Baru. Belum terlihat greget hukum.
Koruptor besar masih bebas berkeliaran. Bandar narkoba kelas kakap 
masih
tidak tersentuh hukum. Oknum yang seharusnya bertanggung jawab dalam
peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masih memiliki kekebalan 
hukum,
setidaknya dalam praktik.
Reformasi belum menyentuh lembaga-lembaga penegakan hukum yang masih 
kuat
kultur korupsinya. Banyak perkara dalam praktiknya dipetieskan karena
pertimbangan-pertimbangan di luar hukum dan keadilan. Penahanan dan
pembebasan seorang tersangka masih menjadi bagian dari deal politik.
Inilah wajah peradilan di Indonesia pada era transisi, yang lama sudah
berlalu, namun yang baru belum tiba. Pada masa Orde Baru tidak 
terbayang
wajah-wajah orang berkuasa akan muncul sebagai terdakwa di ruang 
pengadilan,
bahkan menghadirkan mereka sebagai saksi saja sulit sekali.
Kini zaman bergeser bersamaan tumbangnya rezim otoriter. Penegak hukum 
lebih
mempunyai nyali untuk menyeret orang-orang "kuat" yang diduga bersalah 
untuk
mempertanggungjawabkan kebijakan dan perbuatan mereka di masa lalu.
Sayang kesempatan itu tidak dimanfaatkan para penegak hukum dengan 
optimal.
Dalam situasi politik yang kini relatif lebih bebas dari kooptasi 
penguasa,
banyak penegak hukum justru memanfaatkan era transisi ini untuk bermain
dalam pasar gelap keadilan.
Baru satu koruptor orang kuat semasa Orde Baru yang didakwa lebih dari 
satu
tahun dan kini mendekam di Nusa Kambangan. Selebihnya, vonis hukuman 
yang
dijatuhkan pada tersangka kasus BLBI hanya memperlihatkan penegakan 
hukum
yang setengah hati.
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc Jakarta mengobral 
putusan-putusan
bebas bagi para petinggi militer yang diduga bertanggung jawab dalam 
kasus
kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur yang terjadi pada tahun 
1999.
Akibatnya, Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta 
pengadilan
internasional untuk mengadili kasus TimTim. Indonesia dipandang telah 
gagal
mewujudkan keadilan bagi rakyat Timtim yang menjadi korban tak berdosa.

Absolutisme Keadilan
Moralitas keadilan bersifat mutlak dan abdi hukum seharusnya mengabdi 
dengan
memperjuangkan tegaknya keadilan, bukan menyelewengkannya. Kemutlakan 
hukum
moral menjadi dasar filosofis etika yang dikembangkan filsuf Immanuel 
Kant
(1724-1804). Dalam Kritik der praktischen Vernunft (1788), Kant 
menegaskan
kesempurnaan hukum moral terletak pada fakta bahwa orang yang melakukan
kewajiban moral pantas dan harus bahagia.
Dari situ, Kant meyakini eksistensi jiwa manusia kendati raganya telah 
mati.
Ada orang benar tidak memperoleh pahala apa-apa di dunia, namun 
kesempatan
itu masih ada di dunia akhirat.
Sebaliknya, ada orang jahat yang lolos dari jerat hukum dunia, namun ia
tidak akan lolos dari pengadilan di dunia akhirat. Pendek kata, 
pengadilan
akhirat akan menghadirkan the moment of truth yang menyingkapkan 
kebenaran.
Implikasi filsafat moral Kant adalah akuntabilitas moral setiap orang. 
Lolos
dari jerat hukum duniawi, masih ada pengadilan akhirat. Dan, 
jangan-jangan
lebih berat jatuh ke dalam tangan Tuhan.
Selain itu, dari kemutlakan hukum moral, Kant mengasumsikan eksistensi
Tuhan. Harus ada Tuhan yang membereskan urusan keadilan, memberikan 
pahala
atau ganjaran yang setimpal bagi siapa saja tanpa kecuali.
Maka dalam filsafat moral dari Kant, pengadilan akhirat sempurna sebab 
sang
Hakim memandang semua orang sama di muka hukum dan tidak berat sebelah.
Hakim yang Satu ini tidak akan terpengaruh oleh suapan seberapa pun 
besarnya
sebab keadilan menjadi kodrat-Nya.
Dalam perspektif pengadilan akhirat, mereka yang lolos dari jerat 
pengadilan
duniawi masih akan berurusan dengan pengadilan yang lebih sempurna 
sebab
hakimnya adalah sang Keadilan itu sendiri.
Karena itu juga, dalam sistem pengadilan akhirat tidak dikenal 
mekanisme
naik banding atau peninjauan kembali.

Pengadilan itu akan menyembuhkan rasa keadilan yang terluka.
Pengharapan akan pengadilan akhirat tidak harus dilihat sebagai 
ungkapan
frustrasi manusia atau upaya mencari kompensasi dengan jalan menghibur 
diri.
Di balik gagasan pengadilan akhir adalah filsafat sejarah yang berjalan
linier, tidak sirkular, menuju ke satu titik di mana segala sesuatu 
akan
berakhir dan awal dominasi kekekalan.

Ujian Integritas
Pengadilan kita menggelar perkara-perkara yang melibatkan mantan 
petinggi
politik Orde Baru, petinggi militer, putra mantan orang nomor satu di
Republik. Lingkup perkaranya menyangkut kasus korupsi, kriminal, sampai
pelanggaran HAM. Namun, persidangan kita terkesan tidak sepenuhnya 
serius.
Jaksa terkesan kurang profesional, sebab dakwaannya mudah dipatahkan
argumentasi pengacara. Hakim menjatuhkan vonis minimal berdasarkan dua 
dari
lima alat bukti yang sah, namun itu harus ditambah dengan keyakinan 
sang
hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah.
Meski cukup bukti dalam persidangan, bila hakim tidak yakin bahwa 
terdakwa
bersalah, vonis bisa bebas. Jaksa dan hakim menutup mata atas 
fakta-fakta
baru yang terungkap dalam persidangan dan terkesan menutup mata 
terhadap hal
itu.
Penegak hukum berkilah, tidak relevan mengaitkan hukum dengan rasa 
keadilan.
Rasa keadilan bersifat subjektif dan mereka hanya berpegang pada 
kebenaran
formal yang objektif, akibatnya kebenaran material diabaikan, padahal
keadilan menjiwai hukum dan hukum menjamin kepastian keadilan. Hukum 
dan
keadilan tidak boleh dipisahkan. Bila dipisahkan, hukum malah bisa 
melawan
keadilan dan membiarkan ketidakadilan.
Hilangnya absolutisme keadilan membuat hukum seolah-olah relatif 
terserah
siapa mengartikannya dan untuk keperluan apa. Keadilan padahal adalah
kehendak Yang Maha Kuasa.
Sebagai orang yang takut kepada Tuhan, seharusnya penegak hukum tidak 
boleh
memutarbalikkan hukum dan keadilan.
Penegak hukum yang tidak menegakkan keadilan memberikan peluang 
munculnya
pengacara "hitam." Wajarlah bila kemudian masyarakat tidak antusias
mengikuti jalannya proses peradilan yang hasil akhirnya sudah dapat 
ditebak.
Penegak hukum dituntut untuk menegakkan keadilan secara profesional. 
Ketika
mereka memutarbalikkan keadilan, wibawa hukum hilang. Para penegak 
hukumlah
yang mengambil andil terbesar dalam merosotnya wibawa hukum di 
Indonesia.
Mereka kemudian dibiarkan saja tanpa sanksi administratif dari pemimpin 
yang
lebih tinggi.
Bangsa Indonesia dikenal religius, bangsa beragama. Seharusnya iman dan
takwa itu dibuktikan oleh para penegak hukum.
Dalam arti tertentu, kesalehan otentik dari para penegak hukum jauh 
lebih
penting daripada formalisasi agama. Dengan penegak hukum yang saleh dan
prokeadilan, keadilan di dunia akhirat diupayakan hadir di dunia fana.
Cita-cita Indonesia adil tidak menjadi utopia.

Penulis adalah pemerhati sosial



-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup