[Nusantara] Ki Supriyoko : Pemerintah Mulai Langgar UUD 1945

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Fri Sep 6 06:31:16 2002


Ki Supriyoko : Pemerintah Mulai Langgar UUD 1945
05 Sep 2002 04:14:03 -0000 

Pemerintah Mulai Langgar UUD 1945


Oleh Ki Supriyoko

SUNGGUH sangat ironis dan menyedihkan! Belum genap satu bulan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen diberlakukan, kini 
pemerintah mulai melanggarnya. Pelanggaran "berat" ini menyangkut 
pengalokasian anggaran untuk memajukan pendidikan nasional yang 
sekarang sedang terpuruk dan tidak dimautahui oleh banyak anggota 
legislatif dan eksekutif di negara kita.

Dalam reformasi UUD 1945 Pasal 31 Ayat (4), secara eksplisit 
dinyatakan sebagai berikut, "Negara memprioritaskan anggaran 
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran 
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan 
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan 
nasional". Mengacu pada ketentuan ini, pemerintah sebagai 
penyelenggaraan pendidikan nasional dan penyelenggara program-
program pembangunan lainnya harus benar-benar mampu mengalokasi 
anggaran pendidikan sesuai dengan tuntutan UUD 1945. 

Kenyataannya bagaimana?

Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Megawati dalam pidato 
kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara, 
Gedung MPR/DPR Senayan Jakarta, 16 Agustus 2002, terungkap bahwa 
total pengeluaran negara mencapai 354,1 trilyun rupiah. Mengacu pada 
angka ini dan berdasarkan amanat UUD 1945, seharusnya pemerintah 
mengalokasi anggaran pendidikan sebanyak 70,8 trilyun rupiah; yaitu 
20 persen dari 354,1 trilyun rupiah.

Apakah pemerintah mampu menyediakan angka sebanyak itu? Ternyata 
tidak! Pemerintah hanya mengalokasi anggaran pendidikan sebanyak 
13,6 trilyun rupiah atau sekitar 3,8 persen dari total pengeluaran 
negara. Sungguh jauh bedanya.

MPR: Semangat buta

Apabila kita menyimak secara saksama kronologis diberlakukannya UUD 
1945 pasca-amandemen oleh MPR yang lebih dulu dari penentuan 
anggaran pendidikan dalam RAPBN oleh pemerintah, jelas sekali bahwa 
pemerintah ada di pihak yang salah dalam hal pelanggaran UUD 1945. 
Meskipun demikian di dalam kondisi ekonomis dan politis negara yang 
sedang "carut-marut" sekarang ini tampaknya tidak adil membebankan 
kesalahan sepenuhnya pada pemerintah.

Kita realistis saja, apabila rencana pengeluaran pemerintah hanya 
354,1 trilyun rupiah, itu pun yang 44,0 trilyun rupiah masih harus 
dipakai untuk membayar utang, belum lagi rencana penerimaan hanya 
327,8 trilyun rupiah sehingga pemerintah terpaksa menerapkan "sistem 
anggaran defisit", rasanya memang berat bagi pemerintah untuk 
memajukan bangsa yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa ini. 

Apabila dibanding Jepang yang penghasilannya hampir 20 kali lipat 
penghasilan Indonesia dan jumlah penduduknya sekitar separuh 
penduduk Indonesia, kiranya angka-angka dalam RAPBN kita tidak ada 
apa-apanya bila ditimbang dengan beban memajukan bangsa. Angka 13,6 
trilyun yang dialokasikan untuk memajukan pendidikan kiranya sudah 
cukup maksimal, kalaupun ditambah rasanya tidak mungkin dapat lebih 
banyak secara sangat signifikan, misalnya dua atau tiga kali lipat.

Kalau demikian, mengapa MPR sampai berani memasang angka dua puluh 
persen untuk mengamandemen UUD 1945? Justru di sinilah pangkal 
persoalannya. Semangat anggota MPR untuk memajukan pendidikan 
nasional pantas dihargai, sayangnya itu "semangat buta" karena tidak 
didukung dengan penguasaan masalah secara memadai sehingga dibuatlah 
keputusan yang tidak realistis itu.

Penentuan anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen dari 
APBN sungguh tidak realistis. Jangankan 20 persen, selama 57 tahun 
merdeka, berapa kali pemerintah kita pernah mengalokasi anggaran 
pendidikan lebih dari 10 persen?

Belajar dari negara-negara lain, ternyata relatif tak banyak negara 
yang mampu mengalokasi anggaran pendidikan sebanyak dua puluh persen 
dari total pengeluarannya. Dalam "Human Development Report 2000" 
dilaporkan, hanya tiga dari 46 negara berkategorikan high human 
development (umumnya negara maju), yang mengalokasikan anggaran 
pendidikan minimal 20 persen dari total pengeluaran negara. 
Selebihnya, negara-negara tersebut tidak mampu mencapai angka 20 
persen. 

Adapun negara-negara yang mengalokasi anggaran pendidikan minimal 
dua puluh persen adalah Singapura (23,4), Polandia (24,8), dan 
Estonia (25,5). Negara-negara ini memang konsisten menjalankan 
kebijakannya karena memiliki dukungan finansial yang memadai.

Di luar negara-negara maju tersebut memang ada negara berkembang 
yang mengalokasi anggaran pendidikan di atas 20 persen dari total 
pengeluaran negara, meski jumlahnya sangat sedikit. Negara itu 
antara lain Thailand yang angkanya mencapai 20,1 persen. Itu bisa 
terjadi karena disiplin dan semangat konsistensi bangsa Thailand 
cukup bisa dibanggakan.

Bagi Indonesia yang tidak memiliki dukungan finansial secara memadai 
serta tradisi disiplin dan semangat konsistensi yang dapat 
dibanggakan, maka penentuan angka sekurang-kurangnya 20 persen dari 
APBN maupun APBD menjadi sangat tidak realistis. Angka ini jauh 
dari "kekuatan" negara yang ada.

Pada sisi yang lainnya, penentuan anggaran pendidikan yang sekurang-
kurangnya 20 persen dari APBD juga tak sinkron dengan apa yang 
terjadi di lapangan. Sekarang ini tanpa adanya ketentuan UUD 1945 
hampir semua daerah kabupaten/kota di Indonesia sudah mengalokasi 
anggaran lebih 30 persen, bahkan ada 50 persen, dari APBD untuk 
pendidikan. 

Daerah-daerah yang tidak kaya seperti Kulon Progo di DIY, Jembrana 
di Bali, Kota Ambon di Maluku, dan sebagainya, mengalokasi dana 
lebih dari 40 persen untuk pendidikan. Di Kulon Progo sekitar 45 
persen, Jembrana 45 persen, di Ambon bahkan mencapai 62 persen dari 
APBD. 

Mengapa angkanya tinggi? Jawabnya, karena daerah harus menanggung 
gaji guru dan PNS pendidikan lainnya.

Jadi, angka 20 persen dari APBD dalam UUD 1945 hasil amandemen 
justru terlalu rendah, dan sebaliknya, angka 20 persen dari APBN 
terlalu tinggi. Hal ini menandakan bahwa sesungguhnya MPR tidak 
menguasai masalah secara memadai dan hanya bermodalkan "semangat 
buta" dalam mengamandemen UUD 1945 yang sangat penting itu, yang 
pada akhirnya menjebak pemerintah kita sendiri dalam melaksanakannya.

Tidak mendidik

Sekarang, ketika pemerintah tidak mampu mengalokasi dana sebesar 
yang ditentukan di dalam UUD 1945 hasil amandemen, orang pun mulai 
berkasak-kusuk. Ada yang bersyukur karena MPR dapat mematok angka 20 
persen di dalam UUD, akan tetapi sebaliknya ada yang mulai 
menggugat "kecerobohan" MPR dengan mempertanyakan mengapa angka yang 
dipatok dalam UUD 1945 sangat tidak realistik dengan kondisi ekonomi 
dan politik kita.

Sungguh menarik komentar Ketua MPR Amien Rais. Ia sempat menyatakan 
bahwa mengenai ketentuan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 
persen dari APBD maupun APBN tersebut sifatnya imperatif (perintah) 
secara moral dan politik, bukan imperatif hukum. Oleh karena itu, 
jika pemerintah tidak bisa memenuhi ketentuan itu bukan berarti 
pemerintahnya inkonstitusional dan bisa dijatuhkan (Kompas, 18 
Agustus 2002).

Kalau pendapat Ketua MPR tersebut benar, lalu apakah 
ayat-ayat dan pasal-pasal lain di dalam UUD 1945 juga bersifat 
imperatif moral dan politik semua? Kalau logikanya demikian maka 
bangsa ini mungkin saja dalam waktu dekat akan bunuh diri karena 
pemerintah akan dengan leluasa melanggar UUD 1945 itu sendiri. 

Kalau UUD saja dilanggar, meski dibenarkan secara moral dan politik, 
apalagi dengan peraturan yang di bawahnya seperti undang-undang 
(UU). Dalam keadaan seperti itu, sulit dibayangkan bagaimana masa 
depan Indonesia nantinya.

Lepas dari sejauh mana kebenaran atas pendapat Ketua MPR itu, 
pelanggaran terhadap UUD 1945 dan UU apa pun di negara ini jelas 
tidak mendidik. Hal ini amat kontraproduktif terhadap usaha-usaha 
mendidik anak bangsa dengan menanamkan semangat disiplin, sportif, 
jujur, konsisten, dan taat aturan sebagai landasan kehidupan untuk 
membangun bangsa yang sedang terpuruk ini. Di pundak merekalah masa 
depan bangsa ini kita tumpukan. 

Kalau mereka sejak dini dihadapkan dengan realitas "pelanggaran yang 
dibenarkan", kiranya akan sia-sialah usaha pendidikan itu dilakukan.

Bagaimana jalan keluarnya? Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 hasil 
amandemen hendaknya diamandemen lagi dengan memasang bilangan atau 
angka yang lebih realistis dengan kondisi sosial ekonomi kita; 
misalnya sekurang-kurangnya 10 dari APBN dan sekurang-kurangnya 35 
persen dari APBD, atau sekurang-kurangnya delapan persen dari APBN 
dan APBD di luar gaji guru dan gaji PNS pendidikan lainnya. Atau, 
terpaksanya angka 20 persen dalam ayat dan pasal tersebut tetap, 
akan tetapi dalam penjelasan disebutkan bahwa dalam keadaan yang 
tidak memungkinkan pemerintah dapat mengalokasi anggaran pendidikan 
kurang dari angka tersebut.

Amandemen (lagi) kan harus melalui sidang MPR? Ya, itulah risiko 
politik yang harus kita terima!

PROF DR KI SUPRIYOKO MPD Ketua 3 Majelis Luhur Tamansiswa 

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup