[Nusantara] "Ambon" <sea@swi>: JIL, Potensi atau Ancaman

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Fri Sep 6 08:37:15 2002


"Ambon" <sea@swi>: JIL, Potensi atau Ancaman 
5 Sep 2002 23:39:41 +0200 
         
JIL, Potensi atau Ancaman
Oleh : Dwi Henri Cahyono

Didirikan hampir sekitar setahun lalu oleh sejumlah intelektual muda 
Islam,
Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan slogan menuju Islam yang 
membebaskan,
bertujuan untuk memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman
nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanisme; membangun kehidupan
keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan;
mendukung gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang
pluralis, terbuka, dan humanis; mencegah agar gagasan-gagasan keagamaan 
yang
militan dan pro kekerasan menguasai publik.

Kelompok atau komunitas ini didirikan memang dengan latar belakang yang
sangat kental mengandung unsur kecemasan dan bau rivalitas terhadap apa 
yang
mereka sebut kelompok fundamentalis atau militan yang mereka tengarai 
mulai
marak akhir-akhir ini. Simaklah, dalam halaman Latar Belakang di situs
www:Islamlib.com yang memuat latar belakang berdirinya Jaringan Islam
Liberal, disebutkan, sudah tentu bila tidak ada upaya-upaya untuk 
mencegah
dominannya pandangan-pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, 
dalam
waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan 
ini
bisa menjadi dominan.

Hal itu, jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang buruk buat
usaha-usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab,
pandangan-pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan 
ketegangan
dengan kelompok agama yang ada, sebut saja antara Islam dan Kristen. 
Jika
ketegangan itu terus muncul, karena kecurigaan yang ditimbulkan oleh
pandangan keagamaan yang keliru, maka sudah pasti akan menimbulkan 
kesulitan
dalam membangun suatu kehidupan koeksistensi yang damai di antara
kelompok-kelompok keagamaan yang ada.. Untuk mencegah kecenderungan 
'yang
tidak sehat' ini terus berlangsung, maka harus ada upaya untuk 
melakukan
kampanye yang militan guna mendukung dan mengembangkan gagasan-gagasan
keagamaan yang terbuka, pluralis dan humanis.

Bagaimana sebenarnya pandangan atau pemikiran keagamaan JIL, meski 
tidak
ditegaskan secara resmi dalam situs tersebut, tapi cukup tergambar dari
sejumlah artikel dan wawancara yang ada. Kecuali membawa nama yang baru 
--
Islam Liberal -- inti pemikiran dan gagasan yang dibawa sebenarnya 
hanyalah
kelanjutan dari apa yang telah pernah dirintis oleh Nurcholis Madjid 
dan
kawan-kawan selama 30 tahun terakhir ini. Yang paling menonjol, 
disamping
pandangan-pandangan teologis yang seperti biasa cenderung mengada-ada 
dan
rada 'genit' tapi dianggap oleh mereka sebagai sesuatu yang 
'progresif',
adalah keteguhannya untuk bersikeras memisahkan agama dari negara.

Negara dalam pandangan JIL, haruslah netral dari pengaruh agama apapun.
Sementara, agama harus tetap dipertahankan dalam wilayah privat. Begitu
agama dibawa ke wilayah publik, apalagi dengan membawa-bawa peran 
negara,
pasti akan melanggar nilai-nilai demokrasi yang memberikan jaminan 
kebebasan
kepada individu dan prinsip eksistensi negara sebagai penjaga harmoni
interaksi antar kelompok di tengah masyarakat. Tegasnya, menurut JIL, 
negara
sekuler itulah yang terbaik.

Karena itu, komunitas JIL sama sekali menolak keinginan sejumlah elemen 
dari
umat Islam yang menuntut penerapan syariah Islam di Indonesia, meski
terbatas hanya untuk umat Islam sekalipun. Sekali lagi, penerapan 
syariah
oleh negara berarti telah melanggar prinsip netralitas negara yang 
harus
menjaga prinsip-prinsip non diskriminasi dan equality (kesamaan) 
diantara
seluruh warga negara. Meski hanya khusus untuk umat Islam, penerapan 
syariah
juga tetap dipandang JIL telah melanggar hak pribadi untuk memilih 
dalam
sikap beragama.

Dalam iklim keterbukaan yang relatif lebih serba bebas dalam segala 
hal,
termasuk dalam bidang keagamaan dimana tidak terdapat pihak yang 
otoritatif
dalam menentukan paham keagamaan seperti apa yang harus dianut oleh
masyarakat seperti saat ini, kemunculan JIL sebagaimana kemunculan 
Jamaah
Ahl Bait Indonesia, FPI, Lasykar Jihad, Majelis Mujahidin, Hizbut 
Tahrir dan
lain-lain yang sebelumnya bergerak di bawah permukaan, termasuk juga
berdirinya partai-partai berasas Islam yang di masa Orde Baru dilarang,
adalah hal yang wajar belaka. Walhasil, wajah Islam di Indonesia, 
ibarat
spektrum warna, memang menjadi bergradasi sangat lebar: dari merah tua
hingga hijau pekat.

Keadaan seperti ini semestinya tidak terlalu sulit untuk dipahami, 
bahkan
semestinya juga diterima oleh JIL, sebagai kenyataan yang absah hasil 
dari
liberalisasi (kebebasan) pemikiran dan ekspresi politik dan keagamaan 
pasca
runtuhnya rezim otoriter Orde Baru. Karena itu, sungguh aneh bila 
pemahaman
dan ekspresi termasuk aspirasi keagamaan yang demikian, khususnya dari
kelompok yang dianggap fundamentalis dan militan itu, dinilai 
berbahaya,
tidak sehat, dan karenanya 'perlu dicemaskan dan dihadapi secara 
militan
pula' oleh JIL yang telah dengan vulgar mengusung idiom liberal.

Bila memang JIL, sesuai namanya, ingin menuju Islam yang liberal, yang
membebaskan, mengapa orang lain tidak boleh bebas bersikap 
'fundamental' dan
'militan'? Bukankah 'kefundamentalan' dan 'kemilitan' juga merupakan 
pilihan
bebas seseorang? Mengapa pula JIL risau bila suatu saat nanti pemikiran
keagamaan militan bisa menjadi dominan di tengah masyarakat? Bukankah
masyarakat berhak pula untuk bebas memilih pandangan keagamaan seperti 
apa
yang akan dianutnya, termasuk bila memilih menjadi 'fundamental' dan
'militan'?

Apakah kebebasan hanya boleh menjadi milik mereka (JIL) saja, sementara
orang lain yang tidak boleh bebas? Lalu atas hak apa, JIL menilai,
sebagaimana tertulis dalam lanjutan halaman Latar Belakang dalam situs
mereka, bahwa tentu bila tidak ada upaya-upaya untuk mencegah 
dominannya
pandangan-pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu 
yang
panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa
menjadi dominan, dan jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang 
buruk
buat usaha-usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia Melalui 
pernyataan
ini, JIL telah jelas-jelas menilai, bahkan memvonis, bahwa upaya-upaya 
yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mereka sebut 'fundamentalis' dan
'militan' itu sebagai sesuatu yang akan berakibat buruk, berbahaya dan
karenanya harus dicegah.

Kemunculan kelompok-kelompok yang sering disebut fundamental dan 
militan
itu, bila dicermati sesungguhnya dipicu oleh dua faktor utama. Pertama,
adalah dorongan dari kristalisasi pemahaman atau pandangan keagamaan 
yang
mendalam. Dan, kedua, merupakan respon atas perkembangan atau persoalan 
yang
muncul di tengah masyarakat.

Seperti telah dimaklumi, bahwa dakwah senantiasa terus bergerak di 
sepanjang
masa tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Dakwah yang diartikan 
sebagai
seruan untuk mengajak manusia kepada jalan Allah SWT agar manusia
betul-betul beriman kepadaNya dan tunduk kepada segenap 
aturan-aturanNya,
memang akan selalu berarti meluruskan hal yang bengkok, membersihkan 
hal
kotor, membuat terang hal yang masih kabur, memberitahu kepada yang 
jahil
dan mendalamkan hal yang masih di permukaan.

Secara personal, dakwah diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia 
yang
saleh, yakni manusia yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah SWT dan 
mau
melaksanakan secara tulus semua ketentuan agama. Kesalehan seseorang,
terlebih bila ia juga memahami esensi, fungsi, dan kegiatan dakwah 
serta
peran seorang muslim dalam dakwah, biasanya juga akan mendorong yang
bersangkutan untuk berbuat agar orang lain merasakan kenikmatan serupa. 
Pada
tingkat yang lebih dalam, dakwah bisa memunculkan keinginan kuat agar
ketentuan-ketentuan agama yang diyakininya pasti baik dan secara 
intelektual
bisa dikaji kebenarannya serta secara faktual bisa dibuktikan 
keshahihannya,
untuk diterapkan dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat dan 
bernegara.
Terlebih bila secara faktual, terbukti pula bahwa tatanan yang ada 
telah
gagal menghasilkan kehidupan yang lebih baik.

Untuk mengupayakan agar keinginan atau aspirasinya itu dapat 
terrealisir,
orang-orang seperti ini kemudian berkelompok. Jadi, munculnya
kelompok-kelompok dengan ekspresi dan aspirasi yang sangat puritan itu
sebenarnya merupakan kewajaran belaka sebagai buah dari proses dakwah 
yang
selama ini berjalan. Dan itu bisa terjadi pada siapa saja serta melalui
kelompok mana pun.

Di sisi lain, dalam perjalanan kehidupan masyarakat muncul berbagai
persoalan yang timbul akibat dari dinamika interaksi antar berbagai 
komponen
masyarakat. Tiap anggota masyarakat baik secara individual maupun 
kelompok
bisa memberikan tanggapan terhadap persoalan itu, bisa juga tidak 
(apatis).
Bila memberikan tanggapan, bentuknya pun bisa berbeda-beda. Dalam 
kerangka
ini, munculnya FPI dan Lasykar Jihad -- dua kelompok yang sering sekali
disebut-sebut JIL sebagai contoh fundamentalisasi dan militansi dalam
Islam -- sebenarnya juga wajar belaka. FPI dibentuk sebagai reaksi dari
masyarakat yang jengah melihat hipokrisi yang diperlihatkan oleh aparat
dalam menghadapi perjudian dan semacamnya, yang menurut peraturan yang 
ada
sebenarnya juga dilarang tapi aparat tidak bertindak secara semestinya.

Sementara itu, Lasykar Jihad dibentuk sebagai langkah kongkrit guna 
membantu
umat Islam di Ambon dan Maluku, juga Poso, yang secara semena-mena 
telah
dibantai, ditindas dan diusir dari kampung halamannya (ingat, konflik 
di dua
tempat itu, umat Islam betul-betul menjadi korban). Bahwa yang 
ditawarkan
oleh Lasykar Jihad adalah jihad dalam arti perang, merupakan respon 
rasional
belaka atas kedzaliman yang dialami umat Islam di sana, yang secara 
normatif
pun memiliki landasan yang absah. Adakah respon yang lebih rasional 
dalam
menghadapi tindak kekerasan kecuali dengan kekuatan pula? Kira-kira apa 
yang
akan ditawarkan JIL menghadapi realitas semacam itu? Dialog?

Mungkin benar ada kadar yang agak berlebihan dari tindakan-tindakan 
mereka,
tapi wajarkah bila kemudian kita menilai mereka (yang insya Allah 
mukhlis
itu) yang telah secara berani berkorban dan mengesampingkan berbagai
kepentingan-kepentingan pribadinya untuk menolong saudara-saudara 
sesama
muslim yang tertindas dan melawan hipokrisi aparat, juga mereka yang
berteriak lantang menyerukan perlunya penerapan syariah Islam di tengah
kacaunya tatanan akibat sistem kapitalisme yang telah demikian 
mengakar,
sebagai 'berbahaya', 'tidak sehat' dan karenanya 'harus dicegah'? 
Sementara
kita hanya duduk berpangku tangan di belakang meja, yang paling 
beraninya
menghujat sesama muslim? Mengapa bukan mereka, kaum penindas di Ambon,
Maluku, Poso dan di tempat-tempat lain, juga aparat yang lembek dan
pemerintahan yang tidak jelas dalam menegakkan moralitas, serta 
dominasi
kapitalisme global yang didukung oleh negara-negara Barat, yang 
diteriaki
sebagai yang berbahaya?

Posisi-posisi yang ada sesungguhnya hanyalah letak relatif sesuatu 
terhadap
sesuatu yang lain. Anda tentu akan disebut berada di sebelah kanan, 
bila
dilihat dari semua obyek yang berada di sebelah kiri Anda. Tapi Anda
tetaplah berada di sebelah kiri bila dilihat dari obyek yang ada di 
sebelah
kanan. 'Ekstrim kanan' adalah sebutan yang dilekatkan oleh orang yang 
merasa
berada di 'tengah' buat mereka yang jauh berada di sebelah kanan. Tapi 
bila
posisi 'tengah' itu dipindahkan ke kanan atau menjadi milik yang berada 
di
kanan tadi, maka yang orang yang berada di tengah tentu akan berubah 
menjadi
'ekstrim kiri'.

Jadi, semua itu sebenarnya sangat relatif. Artinya, bergantung kepada 
dari
titik mana kita memandang. Termasuk juga penilaian buruk, berbahaya, 
tidak
sehat dan beberapa vonis yang diteriakkan oleh JIL, tentu semua itu 
dilihat
dari sudut pandang JIL. Sama seperti, bahwa orde lama adalah bahaya 
laten
buat para pendukung orde baru. Tapi setelah tumbang, kini orde baru 
juga
merupakan bahaya bagi siapa saja yang anti orde baru.

Dalam konteks yang kurang lebih sama, rupaya JIL dengan sudut 
pandangnya,
menganggap fundamentalisme dan militanisme adalah gejala tidak sehat,
berbahaya bagi proses-proses demokratisasi dan karenanya harus dicegah.
Sebaliknya, dalam sudut pandang kelompok fundamentalis dan militan yang
menganggap Islamisasi sebagai nilai tertinggi yang harus dibela dan
diperjuangkan, tentu juga punya hak untuk sebaliknya menilai JIL justru
sebagai gejala yang sebenarnya tidak sehat, berbahaya bagi 
proses-proses
Islamisasi yang dimaksud dan karenanya harus dicegah.

Walhasil, pada akhirnya semua memang bergantung pada sudut pandang mana 
yang
dipakai dan nilai tertinggi apa yang akan dibela dan diperjuangkan. JIL
menganggap proses-proses demokratisasi, termasuk sekularisme dan 
gagasan
negara sekuler dimana negara bersikap netral terhadap agama-agama, 
sebagai
nilai tertinggi yang harus dibela dan diperjuangkan. Sementara, 
kelompok
fundamentalis dan militan menganggap Islamisasi dengan inti penerapan
syariah sebagai nilai tertinggi yang harus dibela dan diperjuangkan
sekaligus sebagai satu-satunya solusi pengganti sekularisme yang telah 
gagal
membawa Indonesia ke arah lebih baik. Bagi mereka, tidak ada kemuliaan
kecuali dengan Islam, dan tidak ada Islam kecuali dengan syariah serta 
tidak
ada syariah kecuali dengan negara.

Bila demikian, bisakah keduanya bertemu? Selama sudut pandang yang 
dipakai
berbeda, ibarat posisi kiri dan kanan tadi, ya nggak bakalan nyambung.
Lantas, bagaimana sikap kita? Bergantung pada tolok ukur mana yang kita
anggap benar: tolok ukur relatif hasil pemikiran manusia ataukah tolok 
ukur
wahyu dalam Alquran dan Hadits? Pilihan itu juga bergantung kepada 
pandangan
kita terhadap esensi hidup kita sebagai muslim, fungsi syariah dan 
persepsi
terhadap Alquran dan Hadits: sebagai petunjuk bagi manusia, pembimbing 
akal,
tolok ukur perilaku yang harus diterapkan dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat dan bernegara dalam kerangka beribadah kepada Allah SWT
menggantikan semua sistem jahiliah termasuk sekularisme, atau sebagai 
bacaan
biasa yang bisa diinterpretasi sekehendak hati dalam kerangka 
perjuangan
demokratisasi dan melanggengkan sekularisasi?

Jadi, Jaringan Islam Liberal itu potensi atau ancaman? Tergantung dari 
mana
kita akan melihatnya!

Penulis, Pengamat Sosial dan Keagamaan

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup