[Nusantara] "Ambon" <sea@sw> : TKI Terusir, Pemerintah Bertanggung Jawab

Ra Penak edipur@hotmail.com
Thu Sep 12 13:48:44 2002


"Ambon" <sea@sw> : TKI Terusir, Pemerintah Bertanggung Jawab
7 Sep 2002 22:19:46 +0200
SUARA PEMBARUAN DAILY

TKI Terusir, Pemerintah Bertanggung Jawab

Puluhan ribu TKI yang diburu dan terusir dari negeri jiran, kini
menumpuk di
Nunukan, Kalimantan Timur. Situasi di sana sangat memprihatinkan.
Sebagian
besar dari mereka mulai sakit-sakitan, bahkan puluhan orang dilaporkan
meninggal. Dikabarkan ada yang terpaksa menjual anak untuk bertahan
hidup.
Sungguh memilukan! Lantas siapa bersalah?
emerintah pun bercuap dan mengaku telah melakukan sesuatu untuk TKI.
Kenyataannya, mereka saling melempar tanggung jawab. Tak satu pun
pejabat
mengaku bersalah, apalagi menyatakan mundur dari jabatan karena gagal
mengemban amanah.
Saling melempar tanggung jawab terlihat jelas dari tidak transparannya
penggodokan Memorandum of Understanding (MoU) tentang TKI di Malaysia.
Seorang pejabat tinggi Departemen Luar Negeri mengatakan, mereka tidak
mengurus masalah MoU karena sudah ada tim khusus yang terdiri dari
Menko
Kesra, Mensos, Menakertrans, dan Deplu.
Ada kesan Deplu tidak ingin berkonflik dengan Departemen Tenaga Kerja.
Karenanya, Deplu berusaha tidak memberikan keterangan mengenai TKI di
Malaysia, dan terus-menerus mengatakan, masalah itu tengah ditangani
oleh
satu tim khusus. "Sekarang mereka sedang merampungkan isi MoU. Draf MoU
sendiri akan disampaikan ke Malaysia untuk dirunding pada September
ini,"
kata juru bicara Deplu Marty Natalegawa.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hadi A Wayarabi Al Hadar ketika
dihubungi tidak berada di tempat. Menurut seorang pejabat penerangan
KBRI di
Malaysia, Dubes Wayarabi sudah ke Jakarta untuk menggodok isi MoU.
Menko Kesra Jusuf Kalla ketika beraudensi dengan beberapa anggota
Solidaritas Perempuan mengatakan, MoU tengah digodok dan akan selesai
bulan
ini. Namun ia tidak menyebutkan isi MoU itu.
Tety Kuswandari, Kepala Studi dan Advokasi Kebijakan Solidaritas
Perempuan
mengemukakan, carut-marutnya masalah TKI karena Indonesia tidak
memiliki
Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran. Saat ini hanya ada Peraturan
Setingkat Menteri No 104A/2002 tentang penempatan TKI di luar negeri.
Peraturan itu tidak melindungi TKI, sebaliknya PJTKI yang sering tidak
memiliki komitmen tarhadap TKI yang dilindungi. Selama ini, lanjut
Tety,
Indonesia mengandalkan MoU tahun 1996 dan 1998, tentang penempatan
tenaga
kerja di Malaysia, kendati sudah kedaluwarsa dan menyulitkan TKI.
Dalam MoU Tahun 1998, terdapat salah satu pasal yang memberikan
kewajiban
kepada majikan untuk menahan paspor milik TKI. "Pasal ini harus
dihilangkan
karena paspor adalah nyawa seorang pekerja," kata Tety.
Mencuatnya masalah TKI karena pemerintah tidak membuat kesepakatan
kerja
yang jelas dengan pemerintah Malaysia, kata Tety. Tapi, tudingan ini,
dibantah Wayarabi ketika menerima rombongan Fraksi Kebangkitan Bangsa
(FKB)
yang berkunjung ke Malaysia beberapa waktu lalu. Wayarabi mengatakan,
keberadaan TKI di Malaysia telah diatur dalam MoU mengenai mekanisme
perekrutan seperti paspor dan calling visa. Semuanya itu telah
terdaftar di
Departemen Tenaga Kerja Indonesia.
Berdasarkan ketentuan MoU yang lama, majikan berhak memegang paspor dan
pekerja tidak bisa pindah ke majikan lain. Jika ada pekerja yang tidak
senang dengan majikan, pekerja tidak bisa seenaknya pindah, kecuali
melaporkan masalah ke agen, lalu agen ke KBRI dan KBRI yang mengatur
penyelesaiannya ke majikan yang baru. "Jika ia tak melapor dan langsung
pindah ke majikan lain, maka orang itu bisa jadi TKI ilegal, dan bisa
ditangkap, dideportasi dan dipulangkan ke Tanah Air. Hal inilah yang
sering
terjadi, TKI legal menjadi ilegal," kata Wayarabi.
Seorang TKI legal bisa menjadi ilegal juga karena perbedaan nama
serikat
yang tertuang dalam surat kontrak yang ditandatangani oleh TKI dengan
PJTKI
di Indonesia, dengan nama serikat yang menjadi tempat kerjanya di
Malaysia.
Belum lagi ulah tekong dan calo sering menimbulkan masalah.
Tolak Pemutihan
Pemerintah Indonesia melalui KBRI di Malaysia berkali-kali mengajukan
pemutihan kepada TKI illegal. Berkali-kali juga pemerintah Malaysia
menolaknya. Malaysia menilai, pemutihan akan memberikan peluang kepada
masuknya TKI baru yang jumlahnya sampai dua kali lipat, dengan harapan
suatu
saat mereka mendapat pemutihan, sama seperti yang pernah terjadi pada
1996
lalu.
"Pengalaman ini sangat menghantui pemerintah di sini, sehingga langkah
pemutihan tidak bisa dilakukan lagi," kata Wayarabi kepada Ketua Tim
FKB DPR
RI Rodjil Ghufron. Beberapa TKI Indonesia di Serawak kepada rombongan
FKB
mengatakan, Pemerintah Malaysia tidak akan memberikan pengampunan
kepada TKI
jika Pemerintah Indonesia tidak mampu membenahi sistem perekrutan dan
menghapus calo-calo bagaikan setan yang bergentayangan.
Karena itu, perlu memperjuangkan satu pola perekrutan dan pengiriman
TKI
dari Indonesia ke Malaysia dengan sistem "G to G" atau pemerintah ke
pemerintah, untuk meminimalisasi peran para calo. Pemerintah Malaysia
juga
dinilai terlalu berpihak kepada pengusaha atau majikan. Hingga kini, di
Serawak misalnya, belum ditemukan pengenaan tindakan hukum yang tegas
bagi
pengusaha atau majikan yang terbukti memakai jasa tenaga kerja ilegal.
Padahal semua itu telah diatur dalam Akta Imigresen No 1154/2002.
KBRI di Malaysia tak memiliki kepedulian terhadap masalah yang diderita
TKI.
Menurut Rodjil Ghufron, KBRI selalu mendiamkan masalah yang dihadapi
TKI
seperti, aturan cuti kerja yang tidak jelas, uang tabungan yang
disimpan di
majikan tidak dibayar, mekanisme kerja yang biasanya ditukar sekali
seminggu
menjadi sekali sebulan.
Masalah lain, beberapa TKI ilegal yang kembali ke Tanah Air, khususnya
melalui Dumai dan Belawan langsung disambut para calo atau tekong. Para
calo
kemudian menampung TKI ilegal itu dan menjual kembali ke masyarakat dan
pengusaha Malaysia.
Bagi warga Indonesia yang masuk Malaysia tanpa paspor, jika ingin
kembali ke
Indonesia harus terlebih dahulu membayar visa di KBRI. "Bagaimana
mungkin
sebagai WNI harus membayar visa jika hendak kembali ke negara asalnya?"
tanya Rodjil Ghufron.
Masalah TKI di Malaysia dari dulu hingga kini tetap sama, tapi
penyelesaiannya tidak maksimal, sehingga masalah menjadi terakumulasi.
Dalam
kasus Nila di Negeri Sembilan - pemicu awal pengusiran TKI dari
Malaysia -
KBRI ternyata tidak meminta maaf kepada pemerintah Malaysia dan
mengklarifikasi bahwa kerusuhan Nila bukan semata-mata dilakukan oleh
orang
Indonesia saja.
Keterlambatan respons KBRI dan diperparah dengan meletusnya kasus
Singkil,
menambah kuat rasa marah pemerintah Malaysia kepada TKI asal Indonesia.
"Keterlambatan respons KBRI inilah yang memicu sikap keras pemerintah
Malaysia untuk memulangkan TKI ke Tanah Air," kata Ghufron.
Menurut Ghufron, sebelum keputusan pemulangan TKI diambil, Pemerintah
Malaysia telah memberikan penawaran kepada KBRI untuk memberikan
pengampunan
bagi TKI, dengan cara membebaskan semua biaya pemulangan mereka. Namun,
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini KBRI, bertindak sebaliknya.
Pengurusan
SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) yang semestinya hanya 40 ringgit
Malaysia menurut aturan resmi, namun oleh agen yang ditunjuk KBRI,
yakni PT
Bangau dikenakan biaya 80 RM, naik 100 persen. Berdasarkan temuan Forum
Komunikasi Masyarakat Indonesia (FKMI), kelebihan uang SPLP tidak
sepenuhnya
diambil oleh agen atau calo, tetapi oleh beberapa oknum KBRI.
Berdasarkan pantauan Pembaruan baru-baru ini, Kedutaan Besar Indonesia
untuk
Malaysia di Jalan Tun Razak, Kuala Lumpur akhir-akhir ini sangat sibuk.
Bisa
dimengerti, kesibukan terjadi karena antara Indonesia dan Malaysia kini
sedang bergelut soal Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal.
Wayarabi kepada Pembaruan di ruang kerjanya waktu itu mengemukakan,
terpaksa
memberlakukan kerja lembur kepada para stafnya hingga larut malam,
sampai-sampai tak ada istilah libur walaupun hari Minggu. "Terpaksa
kami
lakukan untuk melayani ribuan TKI yang setiap hari datang minta
bantuan,"
ujar dia.
Masalahnya pun beraneka ragam, bukan hanya TKI ilegal, yang legal pun
tak
luput dari lilitan masalah. "Campur baur," katanya. TKI legal biasanya
datang untuk meminta bantuan karena dirinya tidak digaji meskipun sudah
bekerja bertahun-tahun. Sedangkan yang ilegal, meminta bantuan agar
mendapat
tempat penampungan.
Dubes Wayarabi menjelaskan, jumlah TKI wanita yang legal mencapai
240.431
dan laki-laki sekitar 374.261. "Nama-nama mereka terdapat di KBRI dan
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Malaysia dan bisa dipantau jika
dibutuhkan," kata Wayarabi.
Sedangkan yang ilegal pihak kedutaan tak tahu persis. Diperkirakan bisa
mencapai 320.000 orang. "Kami tidak tahu berapa jumlah TKI ilegal sebab
mereka tidak terdaftar di sini. Kami justru baru tahu bahwa dia TKI
illegal
kalau ada kasus, seperti yang sekarang ini," jelas dia.
Kalau dirunut-runut, mencuatnya kasus TKI di Malaysia pertama-tema
akibat
akumulasi masalah sosial di Indonesia dan Malaysia, serta
ketidakjelasan
sistem hukum yang mengatur perlindungan terhadap buruh migran
Indonesia.
Kurangnya komitmen Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia
(PJTKI).
Akibatnya, pengiriman TKI ke negara jiran itu bukannya menambah tebal
kantong devisa negara, malah menuai masalah baru yang mencoreng wajah
bangsa.
Itu sebabnya, Ketua Badan Pengurus PBHI Hendardi mengecam sistem dan
mekanisme perekrutan maupun cara-cara pengiriman TKI yang sangat minim
aspek
perlindungan hukumnya bagi TKI itu sendiri. Penderitaan TKI, kata dia
tak
lepas dari ulah negara yang tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada
rakyatnya. "Negara telah melakukan pengingkaran (state denial) atas
kewajiban yang diembannya untuk memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial
budaya
warga negaranya," kata Hendardi.
Bukankah dalam perspektif HAM, atas setiap kasus yang menimpa TKI
dengan
berbagai penderitaannya, telah dapat menjelaskan, bahwa pemerintah
telah
melakukan pelanggaran HAM? Seperti yang termuat dalam Konvenan
Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, sosial dan Budaya (International Covenant on
Economic, Social and Culture Rights).
Ironis, TKI yang semestinya diperlakukan sebagai layaknya orang yang
telah
berjasa terhadap negara sebagai penyumbang devisa, malah diperlakukan
secara
buruk oleh pemerintah.



_________________________________________________________________
Join the world’s largest e-mail service with MSN Hotmail. 
http://www.hotmail.com