[Nusantara] Ely Faizatun Na'imah: Mencurigai Motif Poligami
Ra Penak
edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:12:24 2002
Ely Faizatun Na'imah: Mencurigai Motif Poligami
BERSAMAAN dengan mengalir derasnya arus gerakan emansipasi wanita atau
feminisme yang kemudian menciptakan suasana yang lebih tepat disebut
dengan
euforia gender, praktik poligami digugat lebih keras lagi.
Para feminis memprotes praktik poligami karena dianggap tidak sesuai
dengan
prinsip keadilan gender yang mereka perjuangkan selama ini, karena
mempunyai
sisi-sisi yang membuka peluang besar untuk menempatkan perempuan pada
posisi
subordinat.
Salah satu yang dianggap sebagai faktor yang turut menyuburkan
terjadinya
praktik poligami adalah teks-teks keagamaan. Karena itu para pejuang
feminisme dengan sangat gigih berusaha melakukan dekonstruksi
penafsiran
terhadap teks-teks keagamaan yang dirasakan mengandung bias gender itu
dan
menyesuaikannya dengan garis perjuangan mereka.
Hasilnya, seperti yang kita lihat sekarang, sangat banyak dilakukan
seminar-seminar sebagai langkah awal dekonstruksi dan dibuatnya
karya-karya
tulis yang merupakan hasil pemikiran dekonstruktif itu.
Tapi, banyaknya seminar dan karya-karya tulis ilmiah itu, ternyata
tidak
lantas membuat praktik poligami hilang begitu saja. Ini disebabkan
hasil-hasil seminar tersebut baru bisa dikonsumsi oleh kalangan
akademik
menengah ke atas, sedangkan masyarakat awam belum mendapatkan mampu
mengaksesnya, sehingga mereka masih tetap berpegang teguh pada tradisi
lama.
Yang lebih menyedihkan lagi, ada fenomena yang sangat menarik, pihak
perempuan merasa enjoy dengan model perkawinan dan cara hidup yang
sedang
mereka jalani dan lakukan, serta tanpa tedeng aling-aling
menyosialisasikannya.
Minimal ada dua hal yang menurut penulis menjadi penyebabnya. Pertama,
seperti yang telah tersebut di atas, para pelaku poligami tidak
mengonsumsi
(karena berbagai sebab) pemikiran-pemikiran dekonstruktif itu.
Kedua, para pelaku poligami sudah tahu dengan pemikiran-pemikiran
dekonstruktif itu, akan tetapi lebih memilih pemahaman secara literal
terhadap teks-teks keagamaan karena teks-teks dianggap sudah paten.
Terutama
bagi para pelaku poligami yang taat dalam beragama dalam artian
memahami dan
menjalankan agama secara ketat, biasanya mereka melakukan hal itu
karena
alasan mengikuti sunnah Nabi Muhammad.
Dalam sejarah tercatat, Nabi adalah pelaku poligami, dan beliau
dikatakan
sebagai suri teladan yang baik (uswatun hasanah). Maka praktik poligami
itu
pun diatasnamakan dan dalam rangka mengikuti perilaku Nabi tersebut dan
dalam perspektif hukum Islam bisa dihukum sunah. Hanya saja memang
jumlah
perempuan yang bisa dinikahi tidak bisa sebanyak yang dinikahi oleh
Nabi
karena sudah ada teks Alquran yang membatasi jumlahnya maksimal empat
orang.
"Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain
yang
kamu senangi, dua, tiga, atau empat". (Al-Nisa':3).
Inilah ayat yang sering sekali dijadikan sebagai teks legitimasi bagi
pelaku
poligami. Ayat ini bisa menjadi alat legitimasi yang lebih kuat kalau
diputus hanya sampai di sini. Padahal lanjutan ayat ini adalah sebuah
syarat
yang sangat berat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki yang ingin
melakukan poligami. "Kemudian jika kamu takut tidak mampu berbuat adil,
maka
kawinilah seorang saja". (Al-Nisa': 3).
Syarat ini dikatakan sangat berat karena dalam ayat yang lain Alquran
menyatakan bahwa laki-laki sebenarnya tidak akan mampu bertindak adil
kepada
istri-istrinya. "Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil di
antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian".
(Al-Nisa': 129).
Konteks Historis
Dari ayat yang disebut terakhir, seharusnya dapat dipahami sebuah
prinsip
bahwa sebenarnya Islam tidak menginginkan terjadinya praktek poligami.
Praktek poligami masih tercantum dalam Alquran karena konteks
sosio-historis
pada saat Alquran diturunkan. Sebagaimana diketahui, Alquran diturunkan
dalam konteks sosio-historis masyarakat yang "sangat partrilineal".
Dikatakan demikian, karena sebelum Alquran turun, tepatnya pada masa
paganisme Arab, masyarakat sana tidak mau mengakui eksistensi
perempuan.
Buktinya, ketika lahir bayi perempuan, maka ia akan dikubur
hidup-hidup.
Tindakan ini disebabkan, masyarakat Arab merasa malu kalau mempunyai
anak
perempuan dan menganggapnya sebagai aib karena perempuan tidak dapat
membantu dalam peperangan antarsuku yang sering terjadi di sana.
Selain itu perempuan juga tidak bisa diandalkan untuk mengurus
pekerjaan-pekerjaan mereka yang rata-rata masih mengandalkan kekuatan
fisik,
seperti menggembala ternak dan berdagang ke daerah-daerah yang jauh
dengan
mengendarai kuda dan unta melewati padang pasir.
Kondisi ini sedikit membaik. Eksistensi perempuan diakui dalam
masyarakat,
akan tetapi belum sebagai manusia akan tetapi baru sebatas sebagai
barang.
Buktinya ketika ada seseorang meninggal dunia, anak laki-lakinya dapat
mewarisi seluruh harta benda yang dimiliki ayahnya, termasuk
istri-istri
sang ayah.
Pada saat seperti itulah, Islam datang dan kemudian berperan dalam
pengangkatan derajat perempuan. Akan tetapi tentu saja tidak dapat
langsung
melakukan revolusi yang dapat mengangkat posisi perempuan setara dengan
laki-laki.
Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Islam sudah sangat luar biasa,
karena
perempuan yang tadinya hanya sebatas barang, bisa naik posisinya
menjadi
manusia, walaupun baru menjadi separuh manusia laki-laki.
Buktinya, dalam berbagai hal nilai laki-laki masih dua kali lipat.
Misalnya
dalam hal pembagian warisan dan persaksian. Perempuan mendapat warisan
separo dari laki-laki dan nilai persaksian perempuan sama dengan satu
orang
laki-laki.
Tahapan-tahapan seperti inilah yang semakin memperkuat bahwa memang
prinsip
Islam adalah untuk menghapus poligami. Sayangnya, teks-teks Alquran
yang
mengizinkan menikahi lebih dari seorang perempuan dipahami secara
literal
dan tidak mengaitkannya dengan ayat-ayat lain yang akan mengantarkan
kepada
pengertian bahwa poligami secara prinsipil adalah dilarang. Dengan
demikian
yang terjadi justru adalah seolah-olah Islam ingin melanggengkan
praktek
poligami dalam masyarakat. Ini adalah pemahaman yang sangat keliru.
Mencurigai Motif
Kalau melihat praktik poligami yang dilakukan oleh Nabi, motifnya
sangat
berbeda dengan motif tindakan poligami yang dilakukan kebanyakan orang.
Nabi melakukannya karena motif untuk menyantuni perempuan-perempuan
yang
memang butuh penyantunan dalam artian yang seluas-luasnya dan bisa jadi
ada
motif lain yang tidak hanya melulu persoalan nafsu seksual.
Ini sangat nyata, karena dari sekian banyak istri Nabi, yang dinikahi
dalam
keadaan masih perawan hanya satu orang yaitu Aisyah putri Abu Bakar
Al-Shiddiq, sahabatnya sendiri. Khadijah, istri pertama Nabi dinikahi
pada
usia 40 tahun dan Nabi sendiri baru berusia 25 tahun. Nabi tidak
menikah
selama hidup bersama dengan Khadijah. Baru setelah istri pertamanya itu
meninggal Nabi menikah lagi. Istri-istri yang lain kebanyakan adalah
istri-istri sahabat Nabi yang meninggal di medan pertempuran.
Motif poligami yang dilakukan oleh kebanyakan orang nampak sekali
berbeda
dengan motif yang dimiliki oleh Nabi dalam melakukannya. Ini sangat
jelas,
karena hampir tidak ada pelaku poligami yang tidak menikahi gadis-gadis
usia
dua puluhan tahun atau bahkan kurang dari itu.
Kalau memang motif poligaminya adalah seperti Nabi, seharusnya yang
dinikahi
adalah perempuan-perempuan yang menjelang menopause atau bahkan
nenek-nenek
yang membutuhkan penyantunan. Jadi praktik poligami yang sering
dikatakan
sebagai tindakan untuk meniru Nabi dan merupakan sunnahnya adalah
ucapan
bibir belaka. Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan renungan yang
berharga.
(18)
- Ely Faizatun Na'imah, Ketua Divisi Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM)
pada
Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Semarang, mantan
Sekretaris Umum Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Semarang periode
1999-2000.
_________________________________________________________________
MSN Photos is the easiest way to share and print your photos:
http://photos.msn.com/support/worldwide.aspx