[Nusantara] Abdullah Alamudi : Nafsu Pemerintah Mengontrol Media

Ra Penak edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:13:45 2002


Abdullah Alamudi : Nafsu Pemerintah Mengontrol Media
Oleh Abdullah Alamudi

NAFSU pemerintah menguasai siaran radio dan televisi tampaknya sudah
hampir
tak terbendung. Begitu besar nafsu itu sehingga pemerintah seolah tidak
lagi
peduli apakah tindakan itu merupakan pemutaran jarum jam kembali ke
zaman
pemerintahan penjajahan militer Jepang tahun 1942, atau menutup gerbang
informasi masyarakat dari berita luar negeri.
Dalam Pasal 47 Ayat (1) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran,
pemerintah
mengusulkan adanya Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (P3NS) yang
berwenang "melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang
penyiaran."
Penjelasan Pasal 27 Ayat (2) RUU itu mengatakan, yang dimaksud
"dibatasi"
dalam pasal ini adalah "lembaga penyiaran dalam negeri dapat melakukan
relai
atas siaran lembaga penyiaran luar negeri kecuali untuk warta berita,
siaran
musik yang penampilannya tidak pantas dan acara-acara siaran olahraga
yang
memperagakan sadisme".
Dengan kata lain, pemerintah menutup gerbang informasi masyarakat untuk
mendengar atau menonton warta berita dari siaran radio dan televisi
asing
melalui televisi dan radio lokal mereka.
Jadi, kalau DPR menyetujui RUU ini maka pendengar jaringan radio
Elshinta,
Smart FM, misalnya, tidak akan bisa lagi mendengar warta berita BBC
atau
Voice of Amerika lewat radio mereka.
Pemirsa juga tidak bisa lagi menonton siaran langsung CNN, APTN, BBC,
VOA,
Bloomberg dan sebagainya, baik melalui RCTI, SCTV, MetroTV, dan
lain-lain
seperti saat terjadi serangan teroris terhadap World Trade Center di AS
11
September tahun lalu. Pemirsa TPI tidak bisa lagi menonton atraksi
gulat
"yang memperagakan sadisme" di layar mereka.
Masyarakat muda Indonesia juga boleh siap-siap mengucapkan selamat
tinggal
pada MTV, yang selama ini acaranya disiarkan ANteve, misalnya, karena
"siaran musik yang penampilannya tidak pantas."
***
USUL pemerintah dalam Pasal 47 tentang penunjukan P3NS itu mengingatkan
masyarakat pers Indonesia pada Shidooin, pejabat sipil yang ditunjuk
pemerintah otoriter militer Jepang untuk menyensor semua berita di
koran dan
kantor berita di Indonesia sebelum berita disiarkan. Para Shidooin ini
melapor kepada atasannya, Shidookan. Bedanya, Shidooin ditempatkan di
redaksi, pejabat penyidik belum tentu ada di sana.
Kabarnya, di beberapa kantor pemerintah, pejabat penyidik sudah ada.
Salah
satu tugas mereka adalah mengawasi dan bertindak cepat bila terjadi
peristiwa kejahatan di kantor/lembaga itu.
Pertanyaan besar yang belum terjawab dalam rapat-rapat Panitia Kerja
(Panja)-karena itu masalahnya di-pending sampai pleno DPR-adalah
perlukah
pejabat semacam itu hadir dalam industri media. Sebab, meski pejabat
penyidik itu tidak berkantor di dalam redaksi, kehadiran lembaga
semacam itu
mengingatkan redaksi adanya saudara tua yang mengawasi mereka, the big
brother is watching you.
Jadi, bila sampai terbentuk, lembaga pejabat penyidik Shidookan-nya
pemerintahan Presiden Megawati mungkin saja berkantor di bawah naungan
Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif. Dan Shidookan
zaman
milenium itu tidak beda dengan tukang sensor terselubung.
Maka, kehadiran lembaga P3NS dalam industri siaran akan lebih banyak
menimbukan ketidaktenangan redaksi melakukan pekerjaan secara
profesional.
Pada saat yang sama, tidak ada jaminan, pejabat semacam itu tidak akan
menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya, baik karena kepentingan
partai,
aliran politik atau pun finansial.
Ayat (3) Pasal 47 itu menyebut 10 wewenang pejabat penyidik, termasuk:
menghentikan penyiaran, memanggil orang untuk diperiksa sebagai saksi
atau
tersangka, memeriksa alat penyiaran, menggeledah tempat, menyegel
dan/atau
menyita alat atau perangkat siaran, mengambil sidik jari, serta
memotret
seseorang, menerima laporan pengaduan tentang adanya tindak pidana di
bidang
penyiaran, melakukan pemeriksaan tentang kebenaran laporan itu,
memeriksa
orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana, dan
menghentikan
penggunaan alat siaran.
Di sini jelas kelihatan, pejabat penyidik sudah mengambil alih semua
tugas
polisi, jaksa, dan hakim sekaligus.
Rencana pemerintah untuk melarang radio dan televisi lokal merelai
warta
berita radio dan televisi asing adalah pelanggaran tehadap Pasal XIX
Deklarasi PBB tentang hak asasi manusia yang sudah diratifikasi
Indonesia.
Pasal itu menjamin hak setiap orang untuk mencari, memperoleh,
menyimpan,
dan menyiarkan informasi.
Pasal 4 (1) UU Pers No 40/1999 menjamin kemerdekaan pers sebagai hak
asasi
warga negara. Ayat (2) Pasal itu menegaskan, "Terhadap pers nasional
tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran." Ayat (3)
menyebut: "... Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan informasi." Pasal 5 bahkan mewajibkan, "Pers nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma
agama...".
Rangkaian upaya pemerintah mengekang kebebasan radio dan televisi lokal
merelai siaran warta berita dari radio dan televisi asing hanya
memperkuat
kecurigaan orang bahwa pemerintah sedang melakukan suatu proses
pembodohan
masyarakat secara besar-besaran.
Kalau pers Indonesia-baik cetak maupun elektronik-tidak segera bangkit
menentang upaya pembodohan besar-besaran ini, maka pers Indonesia tidak
bisa
berharap menjadi the fourth estate di negerinya. Ia menjadi pelaku
peserta
dalam proses pembodohan masyarakat itu.
Abdullah Alamudi, Instruktur pada Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta


_________________________________________________________________
Send and receive Hotmail on your mobile device: http://mobile.msn.com