[Nusantara] Haidar Bagir : Andai Aku Seorang Muslim Liberal

Ra Penak edipur@hotmail.com
Fri Sep 13 11:13:49 2002


Haidar Bagir : Andai Aku Seorang Muslim Liberal

1. Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan
melepaskan segenap keyakinan-keislamanku dari segala
bentuk otoritas tafsir atas Islam yang tidak sesuai
dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. Namun, aku
akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam
arti bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti
yang meyakinkan secara rasional dan berdasar pada
prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini kebenarannya.
Aku percaya bahwa otoritas keulamaan baru mempunyai
makna jika ia dikaitkan dengan prinsip-prinsip ilmiah
seperti ini, bukan semata-mata dengan simbol-simbol
yang tak bisa dijelaskan sepanjang prinsip-prinsip
itu, seperti karisma, kesalehan lahiriah, keturunan,
(semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman
tradisional, dan sebagainya. Dengan kata lain,
otoritas keulamaan aku terima dalam makna yang sesuai
dengan makna-asli ajektif yang terlekat kepada kata
otoritas dalam ungkapan ini, yakni "yang bersifat
ilmiah." Semua ini aku yakini karena al-Qur'an,
sebagai otoritas tertinggi dalam Islam mengajarku
bahwa agama Islam adalah untuk orang-orang yang
berakal, Nabinya pun dengan tegas menyatakan "tak ada
agama bagi orang yang tak berakal." Selanjutnya,
penolakanku terhadap segala bentuk otoritas keulamaan
qua simbol-simbol itu tentu saja tak terbatas pada
otoritas keulamaan masa sekarang, ia malah terutama
berhubungan dengan otoritas keulamaan masa lampau,
sampai masa lampau yang paling jauh dalam sejarah
Islam. Karena opini para ulama masa lampau memiliki
peluang lebih besar untuk kehilangan relevansi dengan
masa kita sekarang akibat perbedaan tantangan, budaya,
dan psikologi.

2. Tapi, aku juga sadar bahwa akal dan prinsip-prinsip
ilmiah yang diakuinya kapan saja selalu memiliki
keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Karena itu, aku
tak akan pernah merasa kapan saja dalam hidupku bahwa
keyakinanku akan sesuatu bersifat final. Aku selalu
sadar bahwa keyakinan-keyakinanku harus selalu
kuanggap sebagai bersifat tentantif, selalu siap untuk
direvisi dan direvisi lagi, sejalan dengan pertambahan
wawasan dan ilmuku, serta dengan kemajuan ilmu
pengetahuan.

3. Lebih dari itu, aku percaya bahwa rasionalitas saja
bukanlah satu-satunya soko-guru keilmiahan. Aku,
percaya pada bahwa akal juga mencakup apa yang -- oleh
orang-orang seperti Aristoteles, Rumi, Bergson,
Heidegger, atau Muhammad Iqbal - disebut sebagai
intuisi atau -- oleh sebagian pemikir lain -- disebut
sebagai intelek (intellect). Inilah suatu daya
(quwwah) yang dalam tradisi Islam sering diidentikkan
dengan hati (qalb atau fu'ad). Bahkan, aku percaya
bahwa setiap saat intuisiku ikut menentukan penarikan
pendapat-ilmiahku - kumaui atau tidak. Memang, tak
seperti penalaran rasional, aku tak bisa mengendalikan
operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi
bersifat holistik sintetik, dan mengontrol?) Tapi, aku
percaya bahwa aku bisa menjadikan pemikiran intuitifku
mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga
obyektivitas dan keikhlasanku.

4. Karena adanya kebutuhan agar aku tetap obyektif dan
ikhlas seperti itu, maka sepanjang upayaku untuk
mencari opini yang benar aku akan memelihara fokus
pada kebenaran itu sendiri, bukan pada popularitas
(khalif tu'raf), permusuhan pada pendapat yang
(sementara ini) tidak aku sepakati, dan sejauh mungkin
menyisikan kemungkinan kesombongan dan kebanggaan dari
upaya-upayaku itu. Dan, karena aku sadar bahwa
dorongan ke arah nafsu-nafsu yang dapat mengganggu
obyektivitasku seperti itu berpeluang besar untuk
mengganggu obyektivitasku, maka aku akan secara sadar
dan terus-menerus memperbaharui niatku, menaklukkan
semangat sekadar ingin popular dan menang sendiri, dan
membuka akal dan dadaku seluas-luasnya untuk memeriksa
opini apa pun yang sampai kepadaku tanpa judgement a
priori apa pun, dan lebih siap untuk mengkritik
opiniku sebelum opini-opini yang lain. Aku percaya,
jihad al-nafs (perang melawan hawa nafsu) diperlukan
di sini.

5. Seandainya aku seorang Muslim liberal, aku -
meskipun amat kritis - akan menyadari bahwa ilmu
pengetahuan berkembang sebagai akumulasi pemikiran
umat manusia sepanjang sejarah. Bahwa, seperti kata
Isaac Newton, kita berdiri " di atas bahu para
raksasa" sebelum kita. Bahwa, meski zaman beserta
budaya, psikologi, dan tantangan-tantangannya berubah
terus, ada saja yang bersifat perenial dan universal
dalam pemikiran umat manusia sepanjang sejarahnya.
Bahkan aku percaya, perlintasan batas waktu itu
terjadi hingga masa-masa awal penciptaan manusia.
Bukan hanya hingga Plato - yang, oleh Whitehead,
pemikiran manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah
catatan kaki atasnya - melainkan hingga Hermes
Trimegistus (Nabi Idris dalam tradisi pemikiran Islam)
yang dianggap Bapak Ilmu Pengetahuan umat manusia.
Meski kritis, aku tak akan bersikap nihilistik
terhadap khazanah pemikiran masa lampau, karena dengan
bersikap demikian aku hanya memiskinkan khazanah ilmu
pengetahuan umat manusia, dan khazanah
ilmu-pengetahuanku. Dengan demikian, aku tak mau
terperangkap kedalam kebencian terhadap hasil-hasil
pemikiran masa lampau karena aku menganggapnya
berpotensi menggagahi kebebasan berpikirku.
Sebaliknya, aku akan mengapresiasinya dan
memperlakukannya secara terhormat sebagai khazanah
yang berpotensi untuk memperkaya
pemikiran-pemikiranku. Aku pun akan berusaha untuk
tidak melupakan bahwa pada kenyataannya hasil
pemikiran para pemikir pendahuluku seringkali tidak
kalah canggih dan rigorous dibanding pemikiran kiwari.
Karena, aku pun menyadari bahwa - seperti ditulis,
antara lain, oleh Franz Rosenthal - para ilmuwan dan
ulama Muslim masa lampau juga memiliki
persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat.
Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup
telaten untuk membaca hasil pemikiran mereka, amat
banyak masalah-masalah dan opini-opini yang terungkap
dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah
digarap juga oleh para pendahuluku itu. Kenyataan
bahwa perdebatan itu seringkali memakan waktu beberapa
generasi, dan melibatkan begitu banyak pemikir yang
memiliki berbagai latar belakang, tak urung akan
membuatku berpikir :"Jangan-jangan apa yang mereka
pikirkan malah lebih canggih dari apa yang sedang aku
pikirkan sekarang." Tidak dengan demikian kemudian aku
berhenti berpikir dan merasa cukup dengan hasil
pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya
makin mendorongku untuk mempelajarinya dan kemudian
memberikan sumbangan baru di atasnya, agar dengan
demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang
melanjutkan akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan
itu. Alhasil, sikapku terhadap otoritas keulamaan,
termasuk otoritas keulamaan masa lampau, sebenarnya
merupakan konsekuensi logis belaka dari
prinsip-prinsip keliberalan sikapku dalam berislam,
yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, dan
demokrasi.

6. Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku
junjung tinggi itu, aku akan selalu menghargai atau
mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain,
betapa pun pendapat itu segera tampak tak aku
sepakati, asing, atau bahkan terdengar ofensif bagiku.
Aku akan berusaha sebisanya untuk memberi mereka the
benefits of the doubt, sambil berupaya menerapkan
kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini sebagai) benar
tapi memiliki peluang untuk salah, dan pendapat orang
lain (aku yakini) sebagai salah, tapi memiliki peluang
untuk benar; juga bahwa, meski aku berbeda pendapat,
hak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya akan aku
junjung tinggi dan aku bela. Karena aku percaya bahwa
hikmah (kebijaksanaan) "tercecer" di mana-mana, di
berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban memungutnya
di mana saja aku menemukannya. Karena aku pun percaya
bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah suatu
rahmat, yang - jika kita sikapi dengan benar - akan
memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa kita lebih
dekat kepada kebenaran. Dengan kata lain, makin
melengkapkan pengetahuanku tentang kebenaran,
mengingat kebenaran yang kita kuasai selalu bersifat
parsial. Aku akan sepenuhnya sepakat dengan Abdul
Karim Soroush bahwa kebenaran-kebenaran itu berasal
dari sumber yang sama, dan bahwa satu kebenaran tak
akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. Untuk
keperluan itu, sedapat mungkin aku akan bersikap
seperti Imam Ghazali ketika mengatakan bahwa, sebelum
berhak mengkritik, kita harus berupaya untuk bisa
memahami pendapat yang akan kita kritik itu seperti
pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga
karya Imam Ghazali yang berjudul Maqashid al-Falasifah
- yang sebenarnya merupakan ringkasan karya Ibn Sina -
sempat dikelirukan sebagai karya Ibn Sina karena sifat
empatik yang dominan terhadap pemikiran filosof yang
sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras
itu). Seperti Luthfi Asysyaukanie aku percaya bahwa,
bahkan dalam opini yang sepintas tampak bertentangan
dengan pendapat kita, selalu ada peluang kebenaran
yang bisa kita pungut. Pendapat Luthfi Asysyaukani
bahwa Wahhabiyah - salah satu faham yang biasa
dianggap sebagai sumber aliran "fundamentalisme" -
sesungguhnya juga menyumbang kepada proses
sekularisasi ketika ia mengritik mitos dan takhayul
adalah contoh yang baik tentang sikap ini. Demikian
juga dengan contoh, yang juga dikabarkan Luthfi,
tentang sikap Imam Ja'far Al-Shadiq, Imam Keenam
Syi'ah - suatu mazhab yang lagi-lagi sempat melahirkan
apa yang oleh banyak orang dinamai "fundamentalisme" -
yang oleh Karen Amstrong dianggap sebagai menyimpan
benih-benih sekularisasi (betapa pun aku masih perlu
berfikir beberapa kali sebelum bisa menerima anggapan
Amstrong itu). Luthfi dan Syamsu Rijal Panggabean
sudah amat bijaksana ketika meyakini bahwa keliberalan
dalam pemikiran Islam memiliki gradasi, memiliki
spektrum, dan sama sekali tidak monolit. Dalam
kerangka ini, sebagai seorang Muslim liberal, aku akan
menghindarkan sikap selektif dalam menampilkan
pendapat orang yang kita kritik, apalagi sinikal.
Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami
pandangan kelompok lain secara tereduksi, kalau tak
malah karikatural, menyesatkan (misleading) dan,
dengan demikian, merusak obyektivitas kita.
Sebaliknya, saya akan berhati-hati, dan bukannya malah
kenes, dalam menanggapi opini yang tidak saya setujui
itu agar suatu dialog yang produktif, konstruktif, dan
saling memperkaya akan tercipta. Meski, misalnya, para
penganut pendapat yang tidak aku setujui bersikap
negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu
sadar bahwa mereka bukan guruku. Bukankah aku
mengambil pilihan sikap liberal karena aku merasa
bahwa kancah pemikiran harus selalu dibiarkan terbuka,
pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku
mengkritik mereka justru karena sifat tertutup,
totalitarian, dan otoritariannya? Juga, karena aku
yakin, bahwa pada dasarnya makhluk yang bernama
manusia ini bisa diajak berinteraksi secara persuasif,
asalkan kita telaten dalam mengajukan hujjah-hujjah
kita yang meyakinkan kepada mereka. Dan juga karena
aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang
begitu besar antara aku dan mereka banyak juga
disumbang oleh kurangnya dialog yang produktif dan
silaturrahmi yang tulus di antara kami. Aku yakin
bahwa ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang
lain merupakan produk sikap sombong, merasa benar
sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru
menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

7. Andai aku seorang Muslim Liberal, aku akan
melakukan sekularisasi terhadap pemikiran keislaman.
Aku akan berusaha memisahkan sebisanya unsur-unsur
yang sakral dari yang profan, dan mengembalikan
unsur-unsur profan ke pangkuan pemikiran yang netral
agama. Karena aku yakin bahwa menyerahkan
masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan
secara tidak semena-mena justru akan mempersulit diri
dan mendorong munculnya sikap-sikjap reaksioner dan
obskurantis, setidaknya bisa menimbulkan suasana yang
menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya
menyelusup - melainkan "mengangkangi" -- kesemua detil
aktivitas kita secara tidak perlu. Dan karena aku
yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan akal
yang dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk
bersama-sama wahyu-Nya membimbing kita menuju
kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa sekularisasi
ada batas-batasnya. Bahwa, betapa pun, agama sebagai
agama meniscayakan penerimaan unsur-unsur tertentu
sebagai bersifat sakral. Bahwa batas antara
sekularisasi dan sekularisme - yang tidak aku sepakati
- tidak selalu jelas. Setidaknya, kalau pun aku yakin
bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan moral
dan etika, aku sadar bahwa moral dan etika selalu
terlibat dalam aspek kehidupan manusia yang mana pun.
Apalagi, aku juga tidak begitu yakin bahwa peran agama
"hanya" sebatas memberikan aturan-aturan moral dan
etika. Meski aku percayai dalam banyak hal bersifat
kontekstual dan historis, aku juga yakin bahwa banyak
juga teks-teks (nash) keagamaan yang berbicara
mengenai soal-soal teknis yang menyangkut hukum,
politik, ekonomi. Menyisikannya sebagai ayat-ayat
Madaniyah yang tak lagi relevan untuk masa-masa
seperti itu, sebagai dilakukan oleh Ahmad Mahmud
Thaha, tak selalu mudah. Kalau pun teks-teks yang
bersifat seperti ini kita anggap tak lagi sakral
penerapannya, aku tak bisa menutup sama sekali pintu
untuknya. Karena siapa tahu ia masih juga bisa menjadi
suatu sumber pemikiran di tengah berbagai sumber
pemikiran nonkeagamaan. Setidaknya kesemuanya itu
masih bisa kita anggap sebagai - aku tergoda untuk
meminjam ungkapan Nirwan Arsuka, meski kutahu amat
kontroversial -- "suatu fiksi besar, kanon raksasa,
yang terbuka untuk terus-menerus ditafsirkan,
sebagaimana orang kini menafsirkan Shakespeare atau
Homerus." (Hanya saja, jika Shakespeare dan Homerus
bersifat zhanniy/probable baik dari segi
wurud/transmisi maupun dilalah/kandungannya, nash
keislaman jenis ini tetap saja bersifat qath'iy/pasti,
setidaknya dari segi transmisinya yang bersumber dari
Tuhan). Atau, kalau kita pinjam istilah ushul fiqh,
kalau tak bisa menjadi sumber peraturan primer
(awwaliyyah), nash-nash yang bersifat kontekstual dan
historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber
peraturan sekunder (tsanawiyyah). Wa Allah a'lam.

8. Aku juga akan memelihara concern bahwa Islam harus
selalu ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa
menjawab tantangan zaman. Aku percaya bahwa Allah
menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan sifatnya
yang progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal,
Allah selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru setiap
saat (kulla yaumin huwa fi sya'n). Bahwa dunia ini
bukan suatu block universe. Maka ijtihad pun menjadi
niscaya - Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau soko
guru gerakan dalam Islam - demi menyahuti undangan
Allah untuk menjawab tantangan-tantangan
(ciptaan-ciptaan) baru itu. Tapi aku juga tahu bahwa
ada bahaya untuk menjadikan agama sebagai "pelengkap
penderita" dalam kita mencari jawab terhadap
tantangan-tantangan zaman itu. Maksudku, bukannya
ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku
memanipulasinya agar sesuai dengan keyakinanku yang
bersifat a priori. Dengan kata lain, ajaran Islam
kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to
keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku
merupakan suatu sikap yang mengkhianati integritas
intelektualku. Kalau aku percaya pada kebenaran Islam,
maka sikap yang ilmiah adalah menempatkannya sebagai
sejajar dengan sumber-sumber kebenaran intelektual
yang lainnya. Bahkan, dalam hal terjadi konflik yang
tidak bisa aku selesaikan di antara keduanya, aku
harus siap untuk memenangkan sumber-sumber keagamaan,
meski hanya untuk sementara. Karena, pada dasarnya,
seperti aku ungkapkan sebelumnya, aku percaya bahwa
hasil pemikiran intelektual yang sahih (atau qath'iy,
menurut istilah keagamaannya) ultimately tak akan
bertentangan dengan dengan teks-teks atau nash-nash
yang dipahami secara sahih (qath'iy) pula. Yang pasti,
aku tak akan menjadikan keislamanku hanya sebagai
sarana sosialisasi dan menghindarkan dari social
punishment yang mungkin diberikan oleh lingkunganku
yang kebetulan mayoritas menjadikan Islam sebagai
bagian identitasnya. Karena, sekali lagi, kuanggap ini
adalah suatu sikap yang mengkhianati
integritas-intelektualku.

9. Dengan semua keyakinanku sebagai seorang Muslim
liberal, pendekatanku terhadap teks-teks al-Qur'an,
Sunnah, dan tradisi Islam selebihnya akan bersifat
hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan melakukan
distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diriku
dengan segala latar-belakang sosiologis, psikologis,
dan kulturalku agar aku bisa meminimumkan
subyektivitasku, kemudian melihatnya secara historis
dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi
(maqashid)-nya, untuk akhirnya mengapropriasikannya
dengan tantangan-tantangan zamanku. Ini sama sekali
bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku tak punya
pilihan lain jika hendak obyektif. Meskipun demikian,
aku sadar bahwa hermeneutika memiliki
jebakan-jebakannya sendiri, di setiap tahap dalam
prosedurnya. Mengenali diri adalah suatu pekerjaan
yang, sejak zaman Yunani, diakui sama dengan mengenali
Tuhan - the ultimate being. Karena itu, tak kurang
dari suatu pertempuran besar (jihad akbar) -
lagi-lagi, jihad melawan hawa nafsu - sajalah yang
dapat membantu kita melakukannya. Kemudian, melihat
secara historis dan kontekstual mengharuskanku untuk
dapat memilih dari berbagai versi historis, latar
belakang sosio-kultural dan psikologis yang berjalin
berkelindan secara amat kompleks, kalau tak malah
sering saling bertentangan. Dan seterusnya. Karena
itu, aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir
Muslim masa lampau, seperti kaum rasionalis
Mu'tazilah, atau kaum Sufi, yang telah berupaya keras
untuk memraktekan pendekatan ini lewat apa yang mereka
sebut sebagai ta'wil. Tapi, pada saat yang sama, aku
juga akan mengambil manfaat dari orang-orang yang
memujikan pendekatan literal, karena pendekatan
seperti ini sedikit-banyak akan membantuku untuk
mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku
hendak mencari makna hermeneutik teks-teks tersebut.
Ini, pikirku, barangkali sebab yang membuat bahkan
Sufi se-"liar" Ibn 'Arabi pun ngotot dengan makna asal
kata-kata karena bagi orang-orang seperti ini ta'wil -
sebagaimana hermeneutika - bukanlah mencari makna yang
bukan orisinal, melainkan justru mengembalikannya
kepada yang asal itu.

10. Akhirnya, sebagai muslim, meski liberal, aku akan
selalu meminta pertolongan ('inayah) dan petunjuk
(hidayah) dari Allah SWT. Sang Kebenaran (al-Haqq) dan
Sang Pemberi Petunjuk (Al-Hadi), karena aku amat sadar
kepada keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan
bahwa Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran.

Wa Allah a'lam bi al-shawab.

Haidar Bagir. Direktur Utama Penerbit Mizan, Bandung.
Artikel ini adalah juga makalah KKA Paramadina dan
Peluncuran Buku Wajah Liberal Islam di Indonesia, di
Aula Universitas Paramadina, 18 Juli 2002


_________________________________________________________________
Join the world’s largest e-mail service with MSN Hotmail. 
http://www.hotmail.com