[Nusantara] M Yudhie R Haryono: Menggagas 'Islam Hybrid'

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Sat Sep 14 10:00:53 2002


Menggagas 'Islam Hybrid'
Oleh : M Yudhie R Haryono

Politik identitas menjadi trend utama politik Indonesia mutakhir. Ini
terekspose dalam catcword 'kembalikan syariat Islam!' Dengan diskursus 
di
sekitar Piagam Jakarta, mereka melakukan kritik mendasar terhadap
kecenderungan eskapis yang dilakukan oleh kalangan Islam liberal dan
nasionalis ketika mengudar tema-tema sekularisasi politik dengan 
menolak ide
penyatuan agama dan negara serta penyatuan agama dan politik.

Fenomena tersebut menjadi begitu penting sebagai titik pembuka bagi 
kita
untuk melakukan analisis kritis terhadap wacana dominan Islam liberal 
dan
kalangan sekuleris dengan menggagas Islam hybrid sebagai alternatif 
untuk
menjadi wacana baru intelektual Islam kontemporer.

Berdasarkan kritisisme yang tegas terhadap ide pemisahan agama dan 
negara,
para pemikir Islam neo-revivalis menggagas ide kontekstualisasi 
syariah.
Wacana ini akan tampak lebih mengakar ketika ditelusuri melalui 
diskursif
postkolonialis-psikoanalisis oleh Hommi Bhabba dalam Location of 
Culture,
yang memberikan titik tekan pada pembahasan memori. Ketika memori 
sebagai
suatu ingatan menjadi suatu yang begitu signifikan, untuk memaknai 
segenap
problema sosial politik yang hadir saat ini.

Sadar ataupun tidak, memori getir masa lalu memiliki efek kuasa yang 
begitu
kuat untuk membentuk posisi subyek secara khusus dalam arena politik 
guna
menuntunnya dalam suatu tindakan politik terpola. Memori yang tak 
terlepas
dan terjalin dengan aktivitas mengingat, tidaklah pernah lepas dari
aktivitas introspeksi dan retrospeksi. Itu berarti menghadirkan 
serentak
secara bersamaan segenap keperihan masa lalu yang dilupakan untuk 
memberi
arti bagi trauma saat ini.

Diskursus post-kolonial itu perlu ditekankan, karena peran pentingnya 
untuk
menemukan tendensi yang selama ini tidak pernah terpikirkan. Seruan 
kalangan
Islam neo-revivalis yang ingin menghadirkan kembali wacana Piagam 
Jakarta
sebagai suatu instrumen untuk menggulirkan dan menerapkan syariah sudah
semestinya tidak lagi dimaknai secara parsial sebagai bentuk dari 
pemahaman
yang tidak kontekstual terhadap teks, atau sebagai ekspresi dari 
kalangan
fundamentalisme yang harus menjadi musuh Islam liberal.

Melampaui pandangan-pandangan sempit dan kedangkalan analisis yang
diutarakan oleh mainstream wacana Islam liberal di atas maka ekspresi 
Islam
politik yang hadir dengan manifestasi sosialisasi ide-ide syariah pada 
era
reformasi sekarang hendaknya juga dimaknai sebagai kemunculan kembali 
memori
bawah sadar tentang imajinasi kebangsaan Islam yang telah hadir pada 
formasi
sosial masa kolonialisme, yang tidak pernah diselesaikan dalam ruang
kontestasi politik yang adil.

Menilai ekspresi politik dari kalangan Islam yang pro syariah sebagai 
wacana
yang harus dibungkam begitu saja adalah melanjutkan kerja kalangan 
penguasa,
baik kaum imperialis, penguasa paskakolonial era Orde Lama maupun Orde 
Baru,
yang menutup arena publik terhadap perkembangan diskursus-diskursus
alternatif. Posisi ini hanya akan terus menjadikan kalangan Islam 
politik
sebagai kaum sub-altern (pinggiran), dan tidak memberikan hak mereka 
sebagai
bagian dari warganegara Indonesia.

Berdiskusi tentang relasi wacana agama, kekuasaan, dan politik, 
sebenarnya
merupakan hal yang kompleks. Tak dapat disanksikan bahwa politik ada di
mana-mana. Hadir di setiap wilayah ruang kehidupan manusia. Sehingga 
sulit,
bahkan tidak mungkin bagi kaum intelektual untuk melarikan diri dengan
'menggagas' pengetahuan dan ide transedental, terlepas dari komitmen 
politik
maupun pemihakan identitas. Karenanya, Antonio Gramsci menjelaskan 
bahwa
intelektual menjadi organik ketika memiliki komitmen politik terhadap 
kelas
sosial yang melingkupinya, komunitas yang menjadi akar sejarahnya.

Memisahkan persoalan politik -- termasuk wacana agama negara -- pada
perdebatan Islam dalam konteks Indonesia merupakan kerja a-historis dan
menjadi tidak memiliki makna apapun (absurd). Mengingat, kerja 
intelektual
Islam hanya menjadi suatu kerja yang bermakna ketika masuk dan memiliki
kontribusi dalam merekonstruksi wacana Islam dalam wilayah politik 
secara
kontekstual. Sebab, Islam sebagai suatu diskursus tidak terpisah dari
politik (ad-din wa al-siyasah). Atau dalam terminologi Bagir Sadar 
(1979),
politik adalah bagian dari Islam.

Tetapi, pada sisi lain, mencoba untuk mengagas dan memodifikasi ide 
syariah
sebagai suatu gagasan integral (penyatuan agama dan negara) dan 
alternatif
dari gagasan negara kebangsaan Indonesia saat ini hanya akan 
melanjutkan
perbenturan kontestasi kebangsaan yang tak sehat. Baik antara ide Islam
nation-state vis a vis sekular nation-state yang mewarnai carut marut
Indonesia pasca-kolonial.

Untuk melampaui kebuntuan dan kejumudan dari beberapa mazhab Islam
terdahulu, baik Islam revivalis yang romantik maupun Islam liberal yang
dangkal, angkuh, dan a-historis, maka konstruksi baru harus dibentuk. 
Yaitu,
konstruksi wacana Islam yang hadir melewati proses penelusuran terhadap 
masa
lalu yang traumatik (karena masa ingatan lalu memunculkan keperihan dan
dendam yang menjadi basis dari gerak dan aktivisme politik masa Islam 
saat
ini) dan neurotik (karena penjara pada masa lalu tidak mampu memberikan
jawaban terhadap problema saat ini dan kemana akan melangkah esok untuk
kemudian tantangan modernitas: HAM dan demokrasi), untuk kemudian 
sampai
pada kerja emansipasinya.

Yaitu, membentuk identitas Islam baru yang terbuka dan pluralis, tidak 
hanya
sebatas antar iman dan kultur, namun juga pluralis terhadap segenap 
kultur
dan identitas sub-altern, identitas yang hadir dan kemunculannya 
melalui
proses-proses penindasan serta marginalisasi, baik oleh negara maupun 
narasi
besar lainnya. Inilah diskursus Islam yang memiliki proyek emansipatif 
untuk
membangun gugus aliansi, blok sejarah antar warga-identitas tertindas. 
Gugus
yang dinamakan identitas Islam hybrid.

Tugas kalangan Islam hybrid adalah merumuskan terobosan intelektual 
yang
melampaui eskapisme penolakan rumusan-rumusan politik dalam kerja-kerja
diskursus Islam di satu pihak dan segenap elitisme malas Islam liberal 
yang
tidak mau bekerja secara intelektual melihat akar fondasi dari 
identitas
kebangsaan Indonesia traumatik. Juga melampaui gairah utopis untuk 
selalu
berbicara tentang ide alternatif membangun ideologi Islam nation-state 
yang
selalu berbenturan dengan wacana kebangsaan berwajah sekular.

Proyek besar kalangan Islam hybrid saat ini secara intelektual dalam 
bingkai
negara kebangsaan Indonesia adalah membangun suatu wacana yang mampu 
menjadi
perekat dan fondasi bagi segenap pluralisme untuk membangun 'Indonesia 
Baru'
yang adil dan demokratik. Wacana yang digagas oleh kalangan Islam 
hybrid
diharapkan lepas bebas dari gagasan dan style yang bersifat simbolik. 
Baik
membangun Islam sebagai landasan ideologi bernegara yang bermanifes 
pada
masa lalu dengan ide Piagam Jakarta maupun penerapan syariah Islam.

Hal tersebut di atas penting diutarakan mengingat, membangun identitas
keislaman dalam perdebatan agama dan negara di Indonesia, apabila 
ditarik
dalam konstruk keindonesiaan, akan mudah terjebak ke dalam 
eksklusivisme.
Karena, menempatkan komunitas Islam sebagai identitas yang terpisah 
dari
identitas lainnya.

Terlebih bila kerja ini dilanjutkan secara tidak hati-hati, maka proyek 
ini
akan berujung pada imajinasi otentisitas kaum santri yang berbeda 
dengan
identitas kebangsaan yang lain. Sungguh suatu pengulangan sejarah yang 
tidak
pernah berhenti tentang Indonesia yang retak, tercerabut, dan terbelah.

Identitas Politik
Membicarakan identitas Islam dan politik dalam atmosfer dunia hybrid 
adalah
berbicara tentang keragaman dan pluralitas yang diakui dan dihormati 
dalam
konteks dialog yang setara. Pada wilayah keindonesiaan hal ini berarti
pengakuan yang hangat terhadap segenap identitas yang hadir dalam ruang
nasional Indonesia, dan kesadaran bersama menjadi satu warganegara 
Indonesia
Baru yang bebrayan.

Islam hybrid akan melampaui kerja yang telah dilakukan Islam liberal 
dan
segenap agen-agennya dengan memerankan diri sebagai intelektual 
organik.
Yaitu, intelektual yang memberikan jawaban yang tepat dengan segenap 
problem
sosial politik di tengah masyarakat dengan tidak mengambil jarak dengan
realitas keseharian.

Sebab, menjadi masyarakat Indonesia pasca-kolonial kita mengalami 
kekuasaan
negara yang memuncak dengan segenap dominasi represifnya dan hegemoni
ideasional dalam wilayah publik dan privat dari warganegara sehingga
membentuk masyarakat Indonesia yang tidak pernah melakukan pembelajaran
sosial secara utuh tentang bagaimana hidup di dalam masyarakat 
asosiatif,
yang mengajarkan toleransi, pluralisme, dan otonomi individu yang 
otentik.

Proses interaksi sosial yang terbangun dalam Indonesia pasca-kolonial 
adalah
masyarakat Indonesia yang selalu berinteraksi dalam konteks 
tribus-society.
Di mana setiap konteks ide dan wacana-wacana dan argumentasi di tingkat
publik tidak mendapatkan katalisnya dengan baik dalam lingkungan sosial 
yang
bebas. Konteks inilah yang kemudian seringkali -- meminjam istilah dari
Anthony Giddens (1985) -- membentuk adanya keterpecahan kolektif di 
kalangan
agen-agen pembaharu (termasuk agen Islam liberal) antara practical
consciousness (kesadaran praktis) dan diskursive conscioussness 
(kesadaran
wacana).

Diskursus civil society dengan segenap nilai-nilai pluralisme, 
toleransi,
dan kesetaraan sering tidak diikuti dengan sikap yang sama. Melainkan 
dengan
melakukan marjinalisasi dan menganggap sebagai 'suatu yang lain' 
terhadap
kehadiran diskursus tertentu. Sikap ini mengingatkan kita akan perilaku 
kaum
feodal tribus society. Toleransi dan pluralisme dalam wacana akhirnya 
tidak
menjadi otentik yang secara terbuka memberikan ruang seluas-luasnya 
bagi
setiap wacana untuk berkontestasi dan berdialog secara bebas.

Yang terjadi adalah diskursus Islam liberal Indonesia menjadi wacana 
yang
pada dasarnya rapuh. Karena, menempatkan wacana toleransi, 
inklusifitas, dan
pluralisme dengan membentuk oposisi biner, yang selalu membutuhkan 
lawan
kontradiktif untuk membentuk batas (boundary) dan musuh (enemy) dengan
menolak syariah Islam, menolak penyatuan agama dan negara, serta 
menolak
segenap manifestasi Islam politik sebagai suatu wacana yang merupakan
ekspresi fundamentalisme Islam. Wacana Islam liberal kemudian menjadi 
wacana
superior dan dominan dan menempatkan wacana Islam politik sebagai 
wacana
sub-altern dan menganggap sebagai sesuatu 'yang lain' dan pantas 
didiamkan
bahkan diberangus (minimal lewat wacana).

Membangun mazhab Islam hybrid yang otentik akhirnya harus dimulai 
dengan
melakukan refleksi praksis dengan mendorong proses perumusan 
batas-batas
kekuasaan negara, sehingga negara dapat keluar secara permanen dari 
wilayah
dominasi dan hegemoni kekuasaannya dalam wilayah publik.

Ketika kekuasaan dominatif negara dapat keluar dari wilayah ruang 
publik,
maka selanjutnya kerja Islam hybrid adalah mendorong proses perawatan 
dan
pembentukan ruang publik, sehingga mampu menjadi arena bagi hadirnya 
segenap
wacana dan pendapat publik untuk berdialog, dan berkontestasi untuk 
menuju
diskursus 'Indonesia Baru' melampaui Indonesia pasca-kolonial.

Kerja selanjutnya yang mestinya dilakukan oleh kalangan intelektual 
organik
adalah membangun suatu diskursus yang mampu mendorong terbangunnya
historical bloc (kekuatan perlawanan bersama) dan gerakan sosial baru 
(new
social movement) bagi tiap-tiap warganegara Indonesia. Sebuah diskursus 
yang
mengajak keluar dari mental kolonial yang traumatik, menuju Indonesia 
Baru
dengan landasan bernegara yang demokratik, penuh dengan perbicangan
komunikatif yang akrab dalam ruang publik yang bebas dalam satu ikatan
kewarganegaraan Indonesia.

Tantangan selanjutnya yang harus dilakukan adalah bekerja bersama-sama
dengan kaum progresif lainnya untuk merumuskan ide politik dan negara 
yang
diambil dari khasanah Islam dalam satu kesatuan (different in unity, 
unity
in different) untuk keluar dari mentalitas kolonial yang diskriminatif, 
anti
dialog, dan korup.

Selain itu, adalah mengikis habis kehendak untuk berkuasa dan dan 
kehendak
berkorupsi di kalangan umat Islam. Karena itu, di atas segalanya, Islam
hybrid adalah madzab yang merealisasikan gagasan menjadi tindakan.

Direktur dan Peneliti GVI
(Gugus Visioner Indonesia)
-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup