[Nusantara] S. Sadipun : Akbar Tandjung Harus Mengundurkan Diri sebagai Ketua DPR-RI

Reijkman Carrountel reijkman@europe.com
Sat Sep 14 10:12:03 2002


S. Sadipun : Akbar Tandjung Harus Mengundurkan Diri sebagai Ketua DPR-RI

Oleh S. Sadipun

Kontroversi tentang vonis 3 tahun untuk Akbar Tandjung ternyata bukan 
hanya
berkenaan dengan berat atau ringannya hukuman yang diterimanya, tetapi 
juga
berlanjut pada layak atau tidak layak ia menjadi Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI). Ada yang berpendapat bahwa dengan
adanya vonis tersebut, Akbar Tandjung dianggap ”cacat” hukum.
Karena itu, ia tidak layak memimpin Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI). Mereka mengimbau bahkan mendesak agar supaya Akbar
Tandjung segera mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Ketua 
DPR-RI.
Namun, ketika ditanya: apakah akan mundur dan jabatan Ketua Umum Golkar 
dan
Ketua DPR-RI, Akbar Tandjung menjawab, ”Oh tidak, saya tidak akan 
mundur.
Saya sudah katakan, sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap, 
orang
harus tetap diposisikan sebagai orang yang tidak bersalah. Orang kan 
punya
hak banding. Kita punya contoh. Pak Syahril Sabirin juga demikian”.
Karena mengenai pengunduran diri dan kedudukan sebagai Ketua DPR-RI ini
tidak secara tegas diangkat oleh media massa, muncul pertanyaan dan 
silang
pendapat di tengah ma-syarakat: apakah Akbar Tan-djung ”sebaiknya” atau 
”
seharusnya” mengundurkan diri dari kedudukan sebagai Ketua DPR-RI 
tersebut.
Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa Rodjil Gufron memandang bahwa Akbar 
Tandjung
sebaiknya mengundurkan diri, demi menjaga citra baik DPR, dengan asumsi
bahwa masyarakat tidak mungkin menerima Ketua DPR dalam posisi sebagai
terpidana. Ketua Fraksi Reformasi Ahmad Farhan Hamid bahkan meminta 
Akbar
Tandjung mundur karena meskipun putusan tersebut belum mempunyai 
kekuatan
hukum pasti/tetap, namun Akbar harus memberi contoh agar tidak menjadi 
beban
bagi DPR.
Karena itu, ia meminta supaya semua pemimpin DPR berkumpul membahas 
masalah
ini. Jika tidak, dia siap meng-umpulkan tanda tangan anggota DPR.
Sebaliknya, Wakil Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan Tahir Saimima 
menolak
usul tersebut. Menurut dia, posisi Akbar Tandjung tak bisa digeser 
sampai
ada putusan ber-kekuatan hukum tetap. Fraksi TNI/ POLRI, sebagaimana
di-ungkapkan ketuanya, Slamet Supriadi, bersikap sama dengan Tahir.
Apabila dicermati, tampak bahwa bagi para politikus, keberadaan 
(eksistensi)
hukum hanya merupakan suatu legal machinery in action (mesin yang sah 
di
dalam bertindak). Sebagaimana dipublikasi: di Partai Beringin, sejumlah
fungsionaris menjamin posisi Akbar Tandjung aman.
Tokoh yang disebut-sebut mengincar posisi Akbar Tandjung, yaitu Agung
Laksono dan Fahmi Idris, hadir di ruang sidang hingga selesai. Demikian 
pula
Ginanjar Kartasasmita yang kerap disebut lawan politik Akbar Tandjung.
Para pengurus Partai Golkar menggelar rapat mendadak di dua tempat. 
Rapat
partai yang khusus membicarakan upaya hukum dan tekanan politik 
dilakukan di
rumah Akbar Tandjung. Hadir dalam rapat itu, Tim Hukum Partai Golkar 
dan
para Pengacara Akbar.
Akbar didampingi Theo Sambuaga, Ginanjar Kartasasmita, dan pemimpin 
partai
lainnya. Rapat lainnya digelar di lantai 12 gedung DPR, dipimpin Ketua
Fraksi Partai Golkar, Marzuki Ahmad. Rapat itu membahas skenario Partai
Golkar menghadapi tekanan politis terhadap Akbar di DPR.
Menurut Ketua Golkar. Mahadi Sinambela, vonis tak akan mempengaruhi 
posisi
Akbar di DPR maupun di Golkar. Mereka tak akan menggelar Munas Luar 
Biasa
untuk mengganti Akbar. Mereka bahkan mendukung hingga setelah Pemilu 
2004.
Kami akan berjuang all out agar Akbar tetap Ketua DPR.
Sekali lagi, tampak keberadaan (eksistensi) hukum hanya sebagai legal
machinery in action (mesin yang sah untuk bertindak) bagi orang-orang
politik, semakin dipertegas oleh pengamat politik Riswanda Imawan. Ia
menegaskan: ”Vonis ini akan mengubah konstelasi politik. Golkar masih 
punya
kekuatan menggoyang Megawati dan bisa saja menarik dukungan bila PDI-P 
tak
membantu membebaskan Akbar. Golkar pun masih berpengaruh di birokrasi
sehingga bisa saja mereka melakukan sabotase politik, Jika itu 
dilakukan,
PDI-P terancam”.
Menghadapi kenyataan ini, hukum harus berbuat apa? Membiarkan diri 
untuk
sekadar dijadikan hanya sebagai legal machinery in action bagi 
kepentingan
politik, atau harus menjadi sarana untuk membangun masyarakat (a tool 
of
social engineering)?
Adalah benar, dan karena itu tidak disangkal bahwa hukum dan politik 
memang
tidak bisa dipisahkan.

Manusia secara kodrat merupakan zoon politicon (makhluk sosial), memang
merupakan substraat dari kedua-duanya, ya hukum, ya politik. Akan 
tetapi,
alangkah naif kalau rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa besar dengan
pandangan falsafah Pancasila saat ini, tidak mampu lagi membedakan mana
hukum dan mana politik.
Dari segi politik, kalaupun Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum Golkar 
tidak
mau mengundurkan diri, karena tidak bersedia bahkan justru 
diperjuangkan dan
di pertahankan oleh rekan-rekannya supaya tetap menjadi Ketua Umum, itu
adalah sah-sah saja. Akan tetapi, dari segi hukum Akbar Tandjung justru
harus (karena itu merupakan perintah hukum) mengundurkan diri dari
kedudukannya sebagai Ketua DPR-RI.
Akbar Tandjung menduduki posisi sebagai Ketua DPR-RI, bukan hanya 
dipilih
dan dikehendaki oleh massa-nya, yaitu para anggota Partai Golkar, 
tetapi
juga sudah atas persetujuan dan karena itu dipilih dan dikehendaki oleh
seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya yang ada di DPR-RI.
Tegasnya, posisi Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR-RI diletakkan di atas
fondasi ”suara rakyat” (Vox Populi). Dan sudah merupakan suatu common 
sense
dan pendapat umum bahwa vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara
Tuhan).
Dengan demikian, apabila mengaca dan mengacu pada ide reformasi hukum 
yang
setiap hari diperjuangkan oleh rakyat, yang berintikan penegakan hukum 
tanpa
pandang bulu/diskriminatif, maka Akbar Tandjung harus mengundurkan diri 
dari
kedudukannya sebagai Ketua DPR-RI. Atau kalau tidak, rakyat bisa 
menurunkan
ia secara tidak terhormat, apabila dikehendaki.
Dari zaman ke zaman, masa ke masa, pemimpin rakyat yang selalu 
didambakan
adalah orang yang jujur (justus), dapat dipercaya (credibilis), tidak
bercacat cela (idoneus). Pemimpin yang mempunyai kualiflkasi seperti 
itu
adalah pemimpin sebagaimana diilustrasikan secara tepat oleh 
tokoh-tokoh
dunia dibidang hukum, politik, moral, dan lain-lain.
Rakyat Indonesia sebenarnya mendambakan munculnya seorang ”Ulpian” atau 
”
Ulpianis”. Sebutan Ulpian atau Ulpianis adalah untuk menggambarkan 
orang,
lebih-lebih seorang pemimpin, yang secara konsisten menjadikan ”
perintah-perintah yang sudah dihukumkan” (Iuris Praecepta), yaitu: 
Honeste
Vivere (Hiduplah secara jujur); Alterum Non Laedere (Jangan menyusahkan
orang lain/sesama); Suum Cuique Tribuere (Berikanlah apa yang menjadi
haknya) sebagai pegangan hidupnya dan juga sebagai wujud suri tauladan 
yang
harus ditularkannya kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Rakyat Indonesia sebenarnya juga masih mendambakan kapan akan muncul 
seorang
Danteis atau Aligherian. Ini adalah sebutan untuk menggambarkan 
seorang,
lebih-lebih pemimpin yang secara konsisten menerapkan prinsip moral 
untuk
berani mengatakan benar atau salah bagaimanapun beratnya dan tidak 
pernah
akan memilih rikap netral hanya untuk menyelamatkan diri atau golongan/
kelompok.
Rakyat Indonesia sebenarnya juga masih tetap menunggu dengan penuh 
harap
kapan muncul seorang Aurelian, sebutan untuk menunjuk seorang, 
lebih-lebih
pemimpin yang secara konsisten menerapkan prinsip hidup secara jujur 
dan
adil.
Dan yang terakhir, tetapi bukannya tidak penting, rakyat Indonesia 
masih
menunggu kapan datangnya seorang Gregorian, yaitu sebutan untuk 
seorang,
lebih-lebih pemimpin, yang betul-betul di depan orang-orang yang
dipimpinnya, hidup lurus bagaikan tumbuhnya pohon palem, yang secara
simbolis bermakna kualitatif orang yang jujur dan bertakwa.
Kepemimpinan seorang wakil rakyat seharusnya adalah demikian itu, maka
rakyat Indonesia sebenarnya mendambakan apa yang juga sudah dari abad 
ke
abad dicita-citakan oleh para cerdik cendakia didalam diktum 
scholasticae: ”
Bonum ex integra causa, mallum ex quocumque defectu”. Sesuatu yang 
baik,
hendaknya seluruhnya baik. Sedikit saja rusak akan menyebabkan 
seluruhnya
menjadi rusak, meskipun sebagiannya baik.
Hal ini berarti, lepas dari putusan tersebut, belum mempunyai kekuatan 
hukum
pasti/tetap, vonis 3 tahun untuk Akbar Tandjung, sudah cukup menorehkan 
noda
dan hitam pada bangsa ini. baik pada tingkat nasional maupun 
internasional.
Umum sudah mengetahui bahwa Indonesia adalah negara hukum dengan
keistimewaannya, yaitu memiliki Pancasila yang diyakini bukan saja 
sebagai ”
weltaanschaung” tetapi juga sebagai ”grundnorm”.
Karena itu, bagi rakyat Indonesia, dalam posisinya sebagi Ketua DPR-RI 
Akbar
Tandjung yang kini sudah divonis 3 tahun penjara, bukan saja 
”sebaiknya”,
tetapi ”seharusnya” mengundurkan diri dari kedudukan sebagai Ketua 
DPR-RI
untuk kebaikan utuh (bonum integrum) bangsa ini.

Penulis adalah praktisi hukum, tinggal
di Jakarta

-- 
__________________________________________________________
Sign-up for your own FREE Personalized E-mail at Mail.com
http://www.mail.com/?sr=signup