[Nusantara] Moh Samsul Arifin: Reformasi Sistem Pemilu Tidak Kesampaian?
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Sep 17 03:48:34 2002
Reformasi Sistem Pemilu Tidak Kesampaian?
Oleh Moh Samsul Arifin
Dalam Pemilu 2004 nanti, peluang kita mendapatkan
wakil rakyat yang
benar-benar dipilih sendiri oleh rakyat agaknya bakal
tidak kesampaian
lagi.
Sebab, partai-partai besar, terutama PDI-P dan Partai
Golkar, lewat
wakil-wakilnya di Panitia Khusus RUU Pemilu,
mengisyaratkan partainya
menghendaki sistem proporsional murni seperti
sediakala. Sekalipun
tujuh
fraksi lain sependapat dengan usulan pemerintah
(Depdagri), yakni
menerapkan
kombinasi proporsional dan distrik alias sistem
proporsional stelsel
daftar
terbuka, kemungkinan sistem ini akan ditolak. Hal itu
mengingat lebih
dari
separo (27 orang) anggota Pansus RUU Pemilu berasal
dari dua partai
besar
tersebut.
Mengubah sistem pemilu kenyataannya memang tidak
mudah. Ganjalan paling
besar umumnya datang dari pihak yang memperoleh
manfaat besar dari
sistem
pemilu yang mau direformasi tersebut. Seperti
dikatakan Andrew Reynolds
(1998), ketika suatu sistem pemilu dirasa cocok,
karena memberi
keuntungan
pada pihak-pihak tertentu, reformasi terhadap sistem
pemilu itu sangat
kecil
untuk tercapai. Dalam hal ini, pihak yang merasa
diuntungkan akan
terdorong
untuk memosisikan diri sebagai kekuatan konservatif
yang resisten
terhadap
setiap ide, gagasan dan usulan baru yang membahayakan
kepentingan
mereka.
Draf RUU Pemilu versi PDI-P yang dipresentasikan di
hadapan Megawati
Soekarnoputri, 20 Agustus lalu, tegas-tegas
mengisyaratkan
konservatisme
politik tadi. Bahkan Wasekjen PDI-P Pramono Anung
mengatakan partainya
mengklaim telah sepakat dengan enam parpol untuk
menerapkan sistem yang
lama. "Itu disepakati dalam pertemuan lintas Sekjen
partai," tegasnya
(Jawa
Pos, 11/9).
Merepotkan
Alasan PDI-P juga kurang substantif, karena mereka
hanya menyoal
aspek-aspek
teknisnya saja dari penyelenggaraan sistem
proporsional stelsel
terbuka.
Seperti dituturkan Agustin Teras Narang anggota FPDI-P
yang juga Ketua
Pansus RUU Pemilu, daftar terbuka sebetulnya bagus
kendatipun secara
teknis
merepotkan. Dengan sistem seperti itu, katanya,
diperlukan surat suara
yang
lebih banyak. Selain itu, seorang pemilih membutuhkan
waktu yang cukup
banyak ketika mencoblos di tempat pemungutan suara
(TPS). Kalau dalam
satu
TPS ada 400 orang, bisa dibayangkan butuh berapa menit
untuk mengamati
calon
satu per satu. Berarti butuh berapa jam di setiap TPS.
Penting diingatkan, sistem pemilu sering menjadi
sasaran
manipulasi-untuk
tujuan baik maupun buruk-pihak-pihak berkepentingan
(kelompok status
quo
atau parpol) demi melanggengkan kekuasaan. Ini karena
sistem pemilu
berperan
besar dalam menerjemahkan suara-suara yang diperoleh
dalam suatu
pemilihan
umum menjadi kursi-kursi di badan legislatif. Pilihan
dari sistem
pemilu
dapat secara aktif menentukan siapa yang terpilih dan
partai mana yang
meraih kekuasaan. Di sinilah kepentingan mereformasi
sistem pemilu
memperoleh keabsahannya.
Sayangnya, PDI-P dan Partai Golkar (terakhir diikuti
PPP) acap kali
berseberangan dengan arus besar yang menginginkan
reformasi terhadap
pemilu.
Alih-alih menjadi channel of change (saluran
perubahan), dua partai ini
bersikukuh menjaga kepentingan jangka pendek mereka.
Padahal UUD 1945
dan
perubahannya telah mereformasi secara mendasar cara
pemilihan
presiden/wapres yang selama ini seperti membeli kucing
dalam karung.
Sebagai
konsekuensi ditetapkannya perubahan UUD 1945, dalam
Pemilu 2004
mendatang
kita tidak hanya memilih anggota DPR/DPRD I/DPRD II,
seperti yang
sudah-sudah. Pemilu 2004 bakal memilih presiden/wakil
presiden secara
langsung (Pasal 6A UUD 1945 dan Perubahannya) serta
memilih anggota
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang berasal dari unsur
nonpartai yang
merepresentasi daerah/ provinsi di tanah air (Pasal
22C UUD 1945 dan
Perubahannya).
Dalam sesi pemilihan Presiden/Wakil Presiden serta
anggota DPD itu,
rakyat
diberi keleluasaan untuk menentukan sendiri pilihan
politik sesuai
dengan
hati nuraninya. Impresi tak langsung dari kenyataan
sejarah tersebut,
kalau
anggota DPR (kubu konservatif) membuka telinganya
lebar-lebar, kita
mestilah
mengubah sistem pemilu.
"Keserakahan"
Namun, apa lacur, saat ini kita masih mencium
"keserakahan" elite
partai
politik (kalangan DPP partai-partai) yang tak mau
digerogoti
kekuasaannya.
Maklumlah, selama ini, sistem proporsional stelsel
tertutup memberi
kuasa
kepada elite parpol (DPW/ DPD/DPC) dalam menentukan
anggota DPR/DPRD I/
DPRD
II. Ini terjadi, karena rakyat tak pernah memilih
sendiri wakil mereka
yang
akan duduk di lembaga perwakilan, tapi memilih tanda
gambar partai. Apa
lacur, sistem demikian, pada gilirannya menghasilkan
wakil-wakil rakyat
yang
tak kenal pemilihnya-untuk tak mengatakan menjauhkan
wakil-wakil itu
dari
para pemilihnya. Besarnya kekuasaan elite partai
inilah yang
menyebabkan
suara wakil rakyat sering hanya menjadi kepanjangan
tangan parpol
daripada
kepentingan rakyat yang memilih mereka.
RUU Pemilu yang diusulkan pemerintah terbilang maju
dalam merespons
celah
dan kelemahan sistem ingin dipertahankan kubu
konservatif. Disebutkan
dalam
Pasal 6 Ayat (1) RUU tersebut, pemilu untuk memilih
anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan
sistem
proporsional
dengan daftar calon terbuka. Sedangkan untuk memilih
anggota DPD
digunakan
sistem distrik perwakilan banyak [Pasal 6 Ayat (2)].
Daftar terbuka ini membuka peluang pada para pemilih
untuk menentukan
sendiri wakil mereka yang akan duduk di badan
legislatif. Dengan
dicantumkannya daftar calon dalam bilik suara, pemilih
bisa kenal sejak
dari
awal dengan calon wakilnya. Daftar urut calon, dengan
sistem ini tidak
terlalu menentukan karena urutan tidak mewakili
prioritas. Boleh jadi
calon
yang berada di urutan 29 daftar calon partai tertentu
mendapat suara
lebih
banyak dari calon urutan pertama. Seorang calon hanya
dapat dipilih,
jika
dan hanya jika, dia mendapat suara dari pemilih sesuai
dengan
perimbangan
1:400.000. Dengan daftar terbuka, praktis kekuasaan
elite/dewan
pimpinan
partai yang selama ini sangat besar pasti akan
berkurang.
Kecuali itu, ia dapat mendekatkan kembali calon wakil
rakyat dengan
pemilih
(konstituen). Hanya, kadar keabsahan (legitimasi)
calon wakil rakyat
itu
lebih rendah dari sistem distrik, sebab sistem ini
memungkinkan si
calon
wakil rakyat mendapat legitimasi penuh tanpa mesti
dibagi dengan calon
lain
(pemenang mendapat semuanya). Seperti diketahui dalam
sistem distrik,
satu
daerah pemilihan (distrik) hanya memilih satu wakil
untuk didudukkan di
badan legislatif. Calon memperoleh suara yang
terbanyak tampil sebagai
pemenangnya (first past the post -FPTP), sedangkan
suara-suara yang
ditujukan kepada calon-calon lain dalam satu distrik
itu dianggap
hilang dan
tidak dipehitungkan lagi meski sangat kecil selisih
kekalahannya.
Justru karena kemampuan sistem daftar terbuka dalam
memperbaiki
kelemahan
sistem yang lama, usulan ini mendapat resistensi para
penenggak
keuntungan
sistem -status quo. Tampaknya, di ka-langan anggota
dewan (konservatif)
sekarang ini, masih sangat berat melepaskan kenikmatan
dan keistimewaan
yang
didapat mereka sebagai anggota dewan. Mereka enggan
bermandi keringat
untuk
mendekatkan diri dengan konstituen agar memperoleh
simpati di masa
Pemilu
kelak. Bisa dipahami, cukup dengan menjaga hubungan
baik (kekerabatan)
dengan elite parpol, mereka bisa bertahan sebagai
anggota dewan.
Andaipun
mesti keluar keringat, mereka akan mengunjungi
konstituen sesuai dengan
instruksi DPP yang mengedropnya di daerah pemilihan
tertentu. Maka,
jangan
heran apabila kita kelak mengetahui seorang dicalonkan
(calon jadi) di
Tapanuli, sementara ia sendiri tak kenal penduduk
setempat karena
memang
berasal dari Bandung.
Penulis adalah pengkaji sosial-politik Center of
Bureaucracy Studies
(CBS)
Jakarta.
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com