[Nusantara] "Indra Piliang" : Megawati: Salah Atau Benar, Bangsa Jangan Dijelekin
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Sep 18 12:48:13 2002
"Indra Piliang" : Megawati: Salah Atau Benar, Bangsa
Jangan Dijelekin
Yang diharapkan muncul dari Presiden Megawati adalah
sisi perempuannya,
feminisnya. Sisi ini belum dieksploitasi dengan baik
oleh public
relations,
juru bicara, dan barisan penasehat politik, keamanan,
dan penasehat
spiritualnya. DPP PDI perjuangan hendaknya
membangunkan sisi feminisme
itu,
yang justru terasa ketika kampanye Pemilu 1999.
Apabila sisi maskulinisme yang dibangkitkan, saya kira
justru
pendapat-pendapat yang datang kepadanya, justru akan
bertentangan
dengan
ciri khasnya sebagai seorang Ibu Presiden.
Tidak banyak negara-negara di dunia ini mempunyai
presiden perempuan.
Sebagian malah terjebak sebagai manusia besi, seperti
Thatcerisme,
Benazir
Bhutoisme. Indira Ghandi ada di pertengahan. Ibu
Theresa, Mama Yosefa
(papua), ada pada sisi humanisme itu. Feminisme saya
kira erat
berhubungan
dengan humanisme, karena perempuan adalah mahkluk
satu-satunya yang
berhak
melahirkan, dan menjaga bayi di rahimnya selama
lebih-kurang 9 bulan.
Ketika era Gus Dur, saya pernah bikin kolom dengan
judul dibawah.
Sekarang
ndak berani, karena artinya bisa verbal..
=======================
Berpolitik.com, 6 April 2001
Orang Besar
&
Menopause Politik
Oleh
Indra J. Piliang
Apakah sejarah itu digerakkan oleh orang besar,
sedangkan manusia lain
hanyalah kumpulan angka-angka statistik yang nilainya
tidak lebih dari
turun
naiknya harga saham di bursa? Lalu, apakah yang
disebut sebagai orang
besar
itu, benarkah mereka memiliki semua kelebihan seperti
yang banyak
dikatakan
oleh golongan pengikut fanatik mereka? Benarkah mereka
memiliki
kepedulian
yang lebih, hari nurani yang lebih, kepekaan yang
lebih, atau justru
sebaliknya mereka justru merasa tak memiliki semua
kelebihan itu hingga
mereka mencapai puncak tertinggi dalam piramida
kekuasaan?
Indonesia sedang menikmati fase itu, ketika nasibnya
hanya ditentukan
oleh
yang namanya "empat pimpinan nasional" yang seluruhnya
orang tua.
Banyak
yang berupaya mempertemukan mereka, agar semua
pertikaian yang bermuara
dari
mereka bisa diselesaikan. Jangankan untuk
menyelesaikan
persoalan-persoalan
mereka, bahkan untuk saling bertemupun mereka harus
didorong-dorong,
dituntun, persis anak-anak kecil yang sedang
bertengkar dan dibujuk
oleh
orang-tuanya untuk berbaikan. Sampai kapan bangsa ini
harus memanjakan
para
pemimpinnya? Kalau mereka terus disorot kamera TV,
disindir-sindir
dalam
karikatur media massa, dijelek-jelekan dalam aksi-aksi
demo, dengan
berbagai
tingkah yang aneh-aneh dan mereka tak menyadarinya,
berarti memang
mereka
sudah memasuki fase menopause politik. Fase itu
dimaksudkan pada suatu
keadaan ketika politik mengalami disfungsi untuk
menghasilkan
"keturunan"
berupa keputusan-keputusan bijak yang bermanfaat bagi
keberlangsungan
politik itu sendiri yang berpihak kepada kemanusiaan.
Oriana Fallaci, wartawati terkemuka harian L'Europeo,
sangat terkenal
di
dunia jurnaslitik atas kemampuannya mewawancarai
tokoh-tokoh besar
dunia,
lebih dari 30 orang. Hampir semua pemimpin
negara-negara di dunia
dimasa
kewartawanannya sudah diwawancarai, termasuk
orang-orang yang saling
berseteru, seperti Yasser Arafat (Palestina) dan Golda
Meir (Israel).
Setelah bergulat dengan pemikiran Bertrand Russel,
"Persetan, apa yang
terjadi di dunia tidak tergantung kepada Anda!
Bergantung kepada Tuan
Krusyov, Tuan Mao Tse-Tung, dan Tuan Foster Dulles.
Jika mereka
mengatakan:
'matilah', maka kita akan mati, dan bila mereka
mengatakan: 'hiduplah',
kita
akan hidup!", Oriana justru mengambil kesimpulan lain:
"Yang menentukan
nasib kita benar-benar tidak lebih baik dari kita,
tidak lebih pintar
atau
lebih kuat atau lebih dicerahkan dari kita. Walaupun
bisa lebih
mempunyai
prakarsa, lebih ambisius."
Sejarah memang telah menciptakan para penakluk, mulai
dari Julius
Caesar,
Iskandar Zulkarnaen (yang dalam tambo Minangkabau
dikenal sebagai
'nenek
moyang' bangsa Minang), Gajah Mada dan Hang Tuah,
sampai Kaisar Nero,
Hitler, Lenin, Pol Pot, Mao tze Tung, atau "produk
zombie" seperti
Westerling. Anehnya, kesenangan masyarakat cenderung
tak berubah,
mencari
para penakluk baru, lalu menghambakan diri di kaki
mereka. Di Indonesia
justru lebih primitif lagi, setiap penguasa baru
cenderung dijadikan
dewa,
lalu dewa-dewa itu akan diludahi beramai-ramai sehari
menjelang
kematiannya
(atau kejatuhannya). Padahal, dewa-dewa itu mungkin
tak lebih dari
seekor
sapi yang diciptakan oleh Samiri-samiri abad ke-XX dan
ke-XXI. Mereka
menterlenakan, tetapi tidak menyelesaikan persoalan,
karena pada
dasarnya
mereka tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada
visi, sense of
crisis,
apalagi hati nurani. Mereka sibuk mencari-cari arsip,
atau cerita yang
beredar di pasar dan, kalau perlu, di rumah-rumah
pelacuran yang
menceritakan betapa buruknya orang lain diluar mereka,
lalu diungkapkan
ke
media massa.
***
Kita sepertinya juga tak menyadari, betapa primitifnya
pola berpikir
kita.
Kita dikungkung oleh "empat pimpinan nasional" yang
entah siapa yang
telah
menjadikan mereka sebagai penentu mati hidupnya bangsa
ini. Padahal,
kalau
mau jujur, mereka dikontruksikan sebagai pimpinan
bukan karena
orangnya,
tetapi karena merekalah yang kebetulan menduduki
sebuah institusi
berupa
lembaga-lembaga negara yang semula diciptakan untuk
mempermudah manusia
mengatur dirinya. Tak seharusnya orang-orang itu
menganggap bahwa
mereka
adalah pribadi yang terpilih untuk menentukan nasib
berjuta-juta orang,
tanpa ada rambu-rambu sedikitpun. Kursi yang mereka
huni dan duduki,
sebetulnya berisi ribuan paku-paku beracun, yang kalau
mereka tak
hati-hati
bisa membunuh diri sendiri. Tak seharusnya mereka
bermain-main dengan
pedang
kekuasaan yang bisa memenggal kepala siapa saja,
termasuk kepala mereka
sendiri.
Untuk memudahkan mengetahui apakah mereka benar-benar
memikirkan
masalah
kita adalah seberapa besar waktu yang mereka punyai
digunakan untuk
mengurus
rakyat dan seberapa besar untuk mengurus partai?
Seberapa banyak mereka
menggunakan istilah "saya" atau istilah "kita"?
Seberapa sering mereka
memberikan solusi atas suatu masalah, ketimbang
menggali kesalahan
orang
lain? Seberapa sering mereka berkaca, menilai harga
baju dan dasi yang
dipakai, ketika rakyat sudah tak sanggup lagi membeli
baju, apalagi
dasi?
Seberapa ingat mereka dengan rakyat yang kelaparan,
ketika mereka
menghadapi
jamuan makan di hotel-hotel berbintang dan
istana-istana kaca, baik
didalam
atau luar negeri? Kalau diperhatikan, ternyata mereka
lebih banyak
menggunakan waktu untuk mengurus partai dan
menggunakan istilah "saya"
ketika berkomentar. Terasa sekali bahwa mereka telah
menjadikan diri
mereka
sebagai pusat dunia. Dan semuanya itu diperoleh lewat
sebuah proses
politik
yang bernama pemilihan umum yang, sayangnya, justru
tidak memilih
mereka!
Pemilu Indonesia tidak pernah memilih orang, tetapi
hanya memilih
tanda-gambar. Dan tanda gambar bisa berarti sapi-sapi
yang diciptakan
Samiri-samiri abad XXI, untuk mengoceh, menina-bobokan
rakyat, dan
membuat
rakyat lupa bahwa ada yang lebih besar dari dunia,
yaitu Allah SWT.
Lebih aneh lagi, menurut Hermawan Sulistio, hasil
pemilu 1999 belum
pernah
benar-benar diumumkan. Artinya orang-orang yang duduk
di legislatif,
yang
kemudian ada yang menjadi eksekutif, belum benar-benar
punya hak untuk
duduk
disana. Seseorang yang dicalonkan di satu daerah di
Sumatera, ternyata
bisa
mewakili daerah Jawa, hanya karena Ia kaya-raya.
Seseorang yang
terbukti
mencalonkan diri dari kabupaten A, ternyata ketika ke
Senayan mewakili
Kabupaten B. Biang keladi dari keanehan-keanehan itu
adalah adanya
ketentuan
bahwa pengurus pusat partai politik bisa mengambil
keputusan akhir atas
persoalan yang sebetulnya sangat penting itu. Dan
lagi-lagi yang
kebanyakan
mengambil keputusan justru apa yang disebut sebagai
ketua umum partai.
Dari
sinilah proses mengerubungi apa yang disebut sebagai
pimpinan partai
dimulai, dan lahirlah Samiri-samiri abad XX dan XXI.
Belum lagi mereka yang disebut "utusan golongan" tanpa
pernah dipilih
oleh
"golongan"-nya sendiri. Keberadaan utusan golongan ini
saja sudah
menjadi
pisau bermata dua, karena ternyata negara
melegitimasikan adanya
penggolongan-penggolongan dalam masyarakat. Kasus
Sampit, Palangkaraya,
atau
Ambon -- yang mempertentangkan antar golongan--
mungkin juga beranjak
dari
penanaman kesadaran tentang adanya golongan-golongan
dalam masyarakat
ini.
Kedepan, utusan golongan ini harus dihapuskan.
***
Padahal orang-orang besar itu benar-benar orang-orang
biasa, bahkan
sangat
biasa. Salah satu cirinya adalah mereka benar-benar
meyakini bahwa
merekalah
pemimpin besar bangsa Indonesia, tak peduli jumlah
kursi yang berhasil
mereka raih! Kalau mereka benar-benar berpikir bahwa
merekalah yang
menjadi
pemimpin bangsa ini, itu menjadi bukti bahwa mereka
adalah orang biasa
saja.
Mereka baru bisa dikatakan sebagai orang luar biasa,
kalau ketika
menduduki
suatu jabatan publik mereka berprilaku seperti orang
kebanyakan, orang
biasa. Satu contoh kasus yang membuat saya geli adalah
ketika seorang
pimpinan partai dijemput oleh dua orang Hansip dalam
sebuah perayaan
ulang
tahun partainya di suatu daerah. Orang itu langsung
protes, "Kenapa
saya
dijemput Satpam? Mestinya saya dijemput oleh Bupati!"
Benar-benar
mentalitas
priyayi. Cerita itu bahkan diulang-ulang dalam
berbagai pertemuan
partai,
untuk menunjukkan betapa "penting" dan "besar"-nya ia.
Bagi saya,
cerita itu
menjijikkan. Mereka butuh pelayanan. Kata reformasi
yang mereka ucapkan
seakan menjadi jimat atau pelet baru, untuk
menundukkan orang-orang
yang
menentangnya, agar mereka bertengger terus di puncak
kekuasaan politik.
Padahal bahasa-bahasa heroisme yang mereka keluarkan -
"Saya dulu
paling
vokal di era Soeharto, anda saja tak tahu!" - bahkan
juga diduplikasi
oleh
pengikutnya, padahal bahasa itu sungguh menggelikan,
bahkan jika
dibandingkan dengan Ketoprak Humor Samiadji sekalipun.
Mentalitas itu sungguh amat berbeda dengan apa yang
ditunjukkan oleh
pemimpin-pemimpin bangsa kita yang luar biasa. Natsir,
misalnya,
membawa
sendiri peralatan masaknya ketika melakukan kampanye
untuk Partai
Masyumi
tahun 1955. Kita juga mengenal pejuang misterius
sekelas Tan Malaka
yang
keluar sebagai mandor perkebunan Belanda, hanya karena
ia tak tega
melihat
upah buruh yang murah, perjudian yang diizinkan
pimpinan perusahaan
agar
buruh punya utang, dan keterpaksaan buruh-buruh itu
melepaskan istri
atau
anak-anak gadisnya digilir oleh boss-boss berkulit
putih. Kisah-kisah
sejenis banyak kita dapatkan, betapa ketika seorang
pemimpin yang
bersikap
biasa-biasa saja, tetapi kemudian nilainya adalah luar
biasa.
Pemimpin-pemimpin seperti ini, memang kadangkala tak
dikenal di
masanya,
tetapi ketika Ia sudah menjadi mayat atau tinggal
kerangka, orang-orang
sibuk mengutak-atik catatan-catatannya.
Politik orang besar sepertinya telah mengkerdilkan
bangsa ini. Konflik
vertikal di antara mereka, gara-gara rebutan kue
kekuasaan dan tak
mampu
diselesaikan dengan duduk bersama, justru diadopsi
oleh pertikaian
horizontal. Bencana demi bencana kemanusiaan yang
terjadi dalam tiga
tahun
ini, bahkan bisa jadi melebihi akumulasi bencana
kemanusiaan sepanjang
Orde
Baru, dengan pengecualian pembantaian "orang-orang
PKI". Bencana itu
telah
meruyak, merebak, dan meluluh-lantakkan kohesi sosial,
peri kemanusiaan
dan
peri keadilan. Jika "orang-orang PKI" dibunuh atas
dasar pertarungan
ideologi politik, orang-orang sekarang dibunuh dan
dibantai hanya
karena ia
dilahirkan sebagai orang Dayak atau orang Madura, atau
karena ia orang
Kristen atau Islam, atau karena ia orang Tionghoa atau
pribumi.
Padahal, ia
tak pernah minta dilahirkan sebagai bagian dari
orang-orang yang harus
dibantai itu. Allah SWT-lah yang mengaturnya.
Dan orang-orang besar itu memanfaatkan kebesarannya
untuk melindas
kekerdilan orang lain. Orang besar yang tak mau
dialog, hanya monolog,
memaksakan ide-ide dan kepentingan politiknya, lalu
mengatakan: "Kalian
mesti memahami kami! Kenapa kami mempertahankannya!
Kenapa kami
menuntut ia
mundur! Kenapa orang-orang kami menghunus pedang! Anda
harus pahami!"
Bagaimana bisa kita memahami mereka, kalau bahasa yang
mereka gunakan
adalah
bahasa kekuasaan yang membagi tinggi-rendahnya manusia
dalam strata
pemimpin-pengikut. Satu-satunya jalan, pada akhirnya
kita harus
meninggalkan konsepsi orang besar, karena toh kita
akan terjebak dalam
lingkaran diskusi tak berguna, misalnya, bagaimana
mempertemukan
mereka.
Pilihan lain juga dipilih Oriana Fallaci. Ia menulis,
"Saya selalu
memandang
ketidakpuasan terhadap penguasa sebagai satu-satunya
cara menggunakan
mukjizat kelahiran kita. Saya selalu memandang
bungkamnya mereka yang
tidak
bereaksi dan malah memberikan tepuk tangan sebagai
kematian seorang
pria dan
wanita. Dan dengarlah! Buat saya, monumen paling indah
bagi martabat
manusia
sisa itu adalah yang saya lihat di suatu bukit kecil
di
Peloponesos.Bukan
satu arca, bukan pula satu bendera, melainkan tiga
huruf OXI, yang
dalam
Yunani berarti TIDAK. Manusia yang haus kemerdekaan
telah menulisnya
diantara pepohonan, selama pendudukan fasisme Nazi.
Sela tiga puluh
tahun
TIDAK itu tetap berada disana, tanpa luntur oleh hujan
dan panas.hari
demi
hari, tiga huruf itu nampak keras kepala, putus asa,
tak terhapuskan!".
Ya, saatnya kita berkata TIDAK untuk kekuasaan yang
menindas, baik
fisik
atau mental. Saatnya kita menghilangkan kata
"pemimpin" dan "orang
besar"
dalam kamus kita. Saatnya kita melihat mereka, orang
yang merasa
pemimpin
bangsa, hanyalah sekedar kaum pekerja bergaji besar.
Mereka bertengkar
tiap
haripun tidak masalah, karena memang mereka bergaji.
Sedangkan kita,
sebagai
rakyat jelata, harus mengais rezeki tiap hari.
Jangankan untuk
bertengkar
untuk urusan-urusan yang tak jelas, bahkan bertengkar
untuk mendapatkan
sesuap nasipun sebagian dari kita (terutama yang hidup
di pengungsian)
sudah
kehabisan energi.
Jakarta, 2 Maret 2001
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! News - Today's headlines
http://news.yahoo.com