[Nusantara] NUR SHOLIHIN : Agama, Negara, dan Problem Pluralisme

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Thu Sep 19 06:48:02 2002


NUR SHOLIHIN : Agama, Negara, dan Problem Pluralisme


KONFLIK sosial dan ketegangan politik yang
berlarut-larut saat ini, merupakan personifikasi fakta
dan realita bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang
tak dapat diseragamkan. Thesa tersebut setidaknya
ingin memberi gambaran bahwa phobia terhadap ancaman
disintegrasi multidimensi yang sedang tersaji saat ini
adalah wujud resistensi yang di dalamnya membawa nilai
terhadap aksi politik kooptasi dan uniform
(penyeragaman) yang dipertontonkan pada masa Orde
Baru. Kebijakan masa lalu yang mencoba menegasi
karakteristik nilai-nilai dalam unsur-unsur pembentuk
pluralisme telah melahirkan pemberontakan nilai yang
terekspresi lewat berbagai konflik dan dinamika yang
ada saat ini. Walaupun kita sangat meyakini bahwa
perjuangan nilai tidaklah selalu melahirkan
“pemberontakan”, di dalam “ pemberontakan” selalu ada
nilai yang ingin dicapai.

Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa
(nation state) tak dapat menghindar dari keniscayaan
kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan
realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan
sebagai hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan
yang dimiliki oleh bangsa ini.

Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa
pluralisme dipahami sebagai : (1) Suatu teori yang
menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya,
mendukung desentralisasi dan otonomi untuk
organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan
individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa
kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara
sejumlah partai politik. (2) Keberadaan atau toleransi
keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam
suatu masyarakat atau negara, serta keragaman
kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan
dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung
pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi
kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atau
primordial (Maskuri,2001).

Dalam prinsip dasar Demokrasi, kemajemukan
(pluralitas) menjadi sebuah fenomena kunci sebab
hakekat berdemokrasi dalam sebuah negara bangsa ada
pada transformasi nilai dari heterogenitas teritorial,
sosial (SARA), budaya, ke dalam bentuk homogenitas
politik sebagai konsensus untuk berada bersama-sama
dalam sebuah bangsa demi mencapai tujuan bersama yang
di dalamnya ada hak dan kedudukan yang sama, ada
saling pengakuan terhadap keberadaan masing-masing
elemen. Perbedaan dalam bentuk heterogenitas tersebut
hanya akan menjadi sebuah potensi kolektif jika telah
terwujud dalam konsensus tujuan hidup bersama dengan
jaminan tak akan ada negasi terhadap salah satu unsur.
Ketika terjadi pengingkaran terhadap salah satu unsur,
“pemberontakan nilai” akan terlihat lewat berbagai
ekspresi yang fenomenannya kini nampak di Indoensia.

Pentingnya perekat bangsa

Tentulah Indonesia sebagai bangsa tak ingin mengalami
dan harus belajar pada realitas sejarah kehancuran
negara-negara yang pernah besar seperti Uni Soviet,
Cekoslovakia, Yugoslavia, dan berpisahnya India dengan
Pakistan. Berkaca pada negara-negara tersebut, faktor
etnis dan agama adalah pemicu dan ancaman
disintegrasi. Namun juga, harus disadari bahwa
homogenitas agama atau etnis bukanlah jaminan
kelanggengan integrasi jika berkaca pada terpisahnya
Bangladesh-Pakistan, Korea Utara-Selatan, dan beberapa
negara besar lainnya.

Di tengah dinamika politik dan nuansa pencarian jati
diri tatanan berdemokrasi di Indonesia, saat ini
sangat berpotensi melahirkan prototipe politik yang
berciri keindonesiaan tanpa harus mengadopsi tatanan
politik yang telah ada pada negara lain jika dimensi
Pluralitas yang ada tetap saling memberi ruang dan
pengakuan untuk menghindari phobia krisis identitas.
Pada saat lain dengan kondisi yang ada saat ini sangat
terbuka peluang kejadian negara-negara tersebut di
atas akan dialami Indonesia ketika sebuah unsur dalam
ikatan kemajemukan yang ada melakukan hegemoni
dominasi dan diskriminasi terhadap unsur lain.

Dengan kerenggangan yang ada saat ini, sesungguhnya
dibutuhkan sebuah pengikat sosial politik yang dapat
menjadi faktor kohesi yang mampu memberi ruang
terhadap identitas sekaligus melanggengkan entitas
Indonesia. Faktor kohesi yang dibahaskan oleh Robert
Bellah sebagai “civil religion” di AS. Jika idiom dari
Bellah ini kita tarik ke dalam perspektif
keindonesiaan, akan tertuju pada perekat sosial yang
kita kenal sebagai Pancasila. Persoalannya sekarang
adalah seberapa jauh kesungguhnya kita terhadap
konsesus yang telah kita sepakati dalam Pancasila
sebagai “kontrak sosial” yang telah menginspirasi
lahirnya Bangsa Indonesia. Pancasila sebagai identitas
kebangsaan membawa nilai integratif.

Persinggungan agama dan politik

Pengalaman keagamaan sering dikaitkan dengan pencarian
realitas yang asasi dari “kebenaran” dan “kebaikan”.
Hal tersebut dapat berbeda dari masing-masing pemeluk
agama. Dalam semangat kebenaran dan kebaikan tersebut,
agama sering tak dapat menghindari persinggungan
dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Agama sebagai
fenomena dan realitas sosial sering membuat orang
dengan kesadaran sujektifnya sulit berhadapan dengan
kenyataan objektif.

Hal tersebut sering melahirkan ekstrimitas, pada satu
sisi agama sering membuka diri selebar-lebarnya
sehingga jatuh pada sinkritisme dan menghilangkan
keunikan identitas. Sementara pada dimensi lain,
sering mengekslusifkan diri dan kehilangan
relevansinya dalam perubahan masyarakat. Oleh karena
itu, dibutuhkan sikap “transformatif” yang pada satu
pihak tak mengorbankan ortodoksi dan pada pihak lain
menghilangkan relevansi.

Seringkali agama dan negara mengalami
ketegangan-ketegangan dan tarikan kepentingan yang
sangat kuat ketika agama berlomba-lomba untuk dapat
mempengaruhi kebijakan negara bagi kepentingan
komunitasnya. Pada wilayah dan ruang yang praktis
itulah nilai dan kahadiran agama secara tanpa sadar
terkooptasi oleh kekuasaan negara dan politik yang
menciptakan proses “ politisasi agama”. Meskipun
demikian, secara mendalam baik negara maupun agama
punya persoalan masing-masing yang terus berkembang.
Persoalan yang aktual misalnya kepentingan satu agama
yang dihadapkan dengan kepentingan agama lain, seperti
persoalan mayoritas-minoritas, persoalan representasi
politik (politik proporsional), bagaimana menguasai
kekuasaan, dst.

Sementara pada sisi lain sesungguhnya negara pun
memiliki persoalan sendiri, misalnya persoalan hak
warga negara, perundang-undangan, bentuk dan sistem
pemerintahan, kesejahteraan rakyat, dst. Walaupun
sibuk dengan masalahnya masing-masing, antara agama
dan negara tidak saja untuk saling mempengaruhi dan
bergulat untuk mencari legitimasi dan akan saling
menentukan posisi satu terhadap yang lain, yang kadang
memunculkan negara dengan label negara agama, negara
demokrasi, dll.

Konflik komunal yang kini mencuat ke permukaan
sesungguhnya bagian dari
ketidaktegasan negara dan agama dalam memberi batas
demarkasi pada ruang dan
wilayah berimprovisasi bagi agama dan negara.
Persoalan ini nampak jelas ketika Cak Nur melemparkan
wacana intelektual yang ditanggapi secara
kontraversial, yaitu Islam Yes, Partai Islam No.
Sesungguhnya wacana tersebut dimaksudkan untuk
mengembangkan nilai-nilai semangat agama (Islam) yang
sesuai dengan pluralisme keberagaman tanpa melalui
formalitas bentuk institusi partai politik yang
berwarna agama. Namun karakter agama akan tetap
memberi warna dan nilai dalam perilaku dan penampakan
tanpa harus diberi legitimasi lewat simbol dan
stigmatisasi. Konsep mayoritas-minoritas biarlah
berjalan menjadi nilai yang penampakannya hanya dapat
dirasakan dalam perilaku dan moralitas tanpa harus
dikedepankan menjadi komoditi politik verbal yang
sering nampak dalam bentuk diskriminasi politik.

Dengan demikian, agama pada tingkat konstruksi tidak
bebas nilai dan statis. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial
selalu ditegaskan, bahwa agama tidak dapat dilihat
sebagai sistem makna yang statis, tetapi selalu harus
dilihat dalam keadaan yang terus berubah dan mampu
mengartikulasikan berbagai kepentingan.

Di tengah tuntutan demokratisasi yang semakin menguat
belakangan ini, suatu keniscayaan agama dikonstruksi
sebagai kekuatan demokrasi. Partai mengfungsikan
dirinya sebagai instrumen bagi tegaknya nilai-nilai
demokrasi yang bersumber dari agama. Esensi demokrasi
adalah persamaan. Sesuai dengan semangat persamaan
ini, sikap primordial dan ekseklusif yang lebih
mengutamakan kepentingan kelompoknya semata harus
dibuang jauh-jauh. Dengan demikian, partai yang
berbasis agama harus betul-betul membuka diri terhadap
golongan yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain,
inklusifitas harus dikedepankan dari pada eksklusif.
***

(Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Jember, Mahasiswa Program Pascasarjana
Hukum Internasional Unpad Bandung



=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com