[Nusantara] Sulardi : Demokrasi yang Irasional

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Sep 20 13:00:16 2002


Sulardi : Demokrasi yang Irasional

TELAH dipahami semua pihak bahwa peristiwa "Mei 1998"
yang menurunkan 
Orde
Baru, membuka babak baru bagi proses demokratisasi di
Indonesia. Keran
demokrasi yang semula tersumbat telah terbuka lebar,
walau sering 
kebablasan
dan tanpa tanggung jawab. Sebagai contoh bahwa adanya
tempat bagi 
demokrasi
bisa kita lihat undang-undang (UU) politik mengalami
perubahan secara
mendasar. Dalam UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu,
jumlah partai 
politik
yang ada dan ikut pemilu tidak terbatas. Kedudukan
pegawai negeri sipil
(PNS) pun harus netral. Pada Perubahan Keempat UUD
1945 jatah kursi 
TNI/
Polri di DPR/MPR hapus.
Jelas dari titik ini semua harus mengakui bahwa dalam
rangka 
demokratisasi
kita sangat maju, lebih-lebih dibanding masa Orde Baru
berkuasa. Saat 
itu
terjadi kemacetan demokrasi, yang antara lain ditandai
dengan 
melemahnya DPR
dan MPR, yang semuanya berada di bawah komando
presiden.
Konstitusi telah dimanfaatkan untuk mengesahkan
tindakan kenegaraan 
yang
pada dasarnya justru antidemokrasi. Pembatasan partai
politik, 
pemberangusan
pers, dan tersumbatnya saluran komunikasi adalah fakta
yang sangat 
mudah
ditemukan pada masa itu.
Dari formal ke irasional
Sebuah tatanan yang akan dibangun oleh bangsa ini
adalah bangunan 
demokrasi
yang kuat. Oleh karena itu, dibutuhkan landasan yang
tangguh, berupa
perilaku demokrasi yang rasional pada segala sisi
kehidupan. Bila 
demokrasi
diyakini sebagai sebuah bangunan yang dapat menjamin
terbentuknya 
masyarakat
yang bersedia tidak memaksakan kehendak pada orang
lain, maka sejak 
awal
masyarakat harus dihadapkan pada sebuah kebebasan
untuk berbicara,
berserikat, dan menentukan nasib sendiri.
Kondisi masyarakat yang bebas dominasi harus terbentuk
terlebih dahulu
sebagai prasyarat terbangunnya demokrasi yang kokoh.
Sepanjang 
masyarakat
belum terbatas dari dominasi dalam berbagai level,
maka masyarakat 
masih
tertekan. Demokrasi itu sendiri artinya dibangun
dengan pondasi yang 
rapuh.
Di negara ini terjadi kebangkrutan karena demokrasi
tak pernah 
terlaksana.
Oleh karena itu, setelah dua rezim pemerintahan (Orde
Demokrasi 
Terpimpin
dan Orde Baru) tidak menyediakan ruang bagi tumbuh
kembangnya 
demokrasi, di
era reformasi ini ternyata ruang demokrasi yang
sesungguhnya belum
diketemukan. Yang ada baru kebebasan yang keluar dari
rel demokrasi dan
kebebasan tanpa tanggung jawab.
Ternyata demokrasi masih merupakan sebuah angan-angan
yang begitu sulit
direalisasi. Demokrasi yang merupakan sendi-sendi
napas kehidupan dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
diselenggarakan dengan cara
irasional. Harus dipahami bahwa agar demokrasi menjadi
manjur 
diperlukan
syarat, yakni rasional sekaligus konstitusional dalam
pelaksanaannya.
Permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia adalah
di satu sisi 
sangat
bersemangat untuk menjalankan sendi kehidupan yang
berdasar pada 
demokrasi,
namun di sisi lain fenomena irasional masih subur di
negara ini. Dalam
kehidupan sehari-hari masih mudah diketemukan hal-hal
yang berbau 
irasional
itu.
Terpilihnya Sutiyoso sebagai Gubernur DKI periode
tahun 2002-2007, 
misalnya,
merupakan peristiwa politik yang sulit diterima secara
rasional. 
Jakarta
yang tidak mengalami kemajuan di bawah Sutiyoso, masih
semrawut,
kriminalitas masih tinggi, dan masih berwajah seram,
tidak menjadikan 
bagian
pertimbangan dalam pemilihan. Lebih tidak masuk akal
lagi justru yang
mendukung adalah Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P), yang
menjalankan 
instruksi
Ketua Umum PDI-P, yang juga Presiden RI.
Jelas, kepentingan yang ada di dalamnya adalah bukan
kepentingan 
puluhan
juta penduduk Jakarta, namun kepentingan Megawati
Soekarnoputri seorang
selaku presiden. Maksudnya, agar dalam suasana sepanas
apa pun pada 
tahun
2003-2004 menjelang dan pelaksanaan pemilu, dan
pemilihan presden, 
Megawati
aman dari ganggguan yang muncul di Jakarta.
Sutiyoso harus membalas jasa baik PDI-P ini dengan
sekuat tenaga 
sebagai
tentara yang berpengaruh atas mantan anak buahnya di
Jakarta untuk
kepentingan Megawati dan partainya sehingga nalarnya
bukan nalar 
rasional.
Kepentingannya yang dikedepankan adalah kepentingan
golongan, bukan
kepentingan masyarakat.
Gejala yang ada di Jakarta ini dapat dipastikan akan
merembet ke daerah 
yang
lain. Dukungan terhadap pimpinan daerah terletak pada
keuntungan 
pribadi
sang penguasa. Tentu saja cara-caranya dilakukan
secara "demokratis" 
melalui
pemungutan suara. Persis seperti yang dikatakan oleh
Wakil Presiden 
Hamzah
Haz dalam mengomentari terpilihnya Sutiyoso sebagai
gubernur: 
"demokratis".
Kasus lain, yang masyarakat paling bodoh pun sulit
menerimanya, adalah 
bahwa
lembaga yang mewakili dirinya, DPR, dipimpin oleh
orang yang divonis 
tiga
tahun penjara. Oleh orang, yang dalam putusan
pengadilan negeri 
terbukti
melakukan tindak pidana korupsi. Lebih irasional lagi
ketua yang 
divonis
tiga tahun itu, tetap duduk manis seagai ketua, bahkan
tetap 
dipertahankan
oleh parpolnya.
Dia itu memimpin lembaga rakyat, DPR, rakyat malu
memiliki pimpinan 
yang
melakukan tindak pidana. Di kampung saja bila
kedapatan ada warga yang
melakukan tindak pidana diusir, tidak boleh bertempat
tinggal di 
kampung.
Apalagi ini Ketua DPR yang mewakili 200 juta lebih
penduduk Indonesia. 
Sulit
diterima akal sehat.
Ketentuan perundangan
Selain demokrasi harus dilakukan secara rasional,
ketentuan peraturan
perundangan juga harus mencerminkan terciptanya
demokrasi itu dan 
karena itu
harus ditaati. UU No 3 Pasal 39 Ayat 3 tentang Pemilu
mensyaratkan 
bahwa
partai politik yang ikut dalam pemilu harus memiliki
sebanyak dua 
persen
dari jumlah kursi DPR atau memiliki sekurang-kurangnya
tiga persen dari
jumlah kursi di DPR I dan DPR II yang tersebar
sekurang-kurangnya di
setengah jumlah provinsi di kabupaten/ kota di seluruh
Indonesia.
Kemudian pasal berikutnya tidak membolehkan partai
politik ikut pemilu 
jika
tidak memenuhi ketentuan pasal tersebut di atas.
Namun, kini apa yang
terjadi? Parpol yang tidak mampu memenuhi ketentuan
pasal tersebut 
tetap
dengan ngotot minta diperbolehkan ikut pemilu. Dengan
alasan apa pun, 
itu
merupakan pengingkaran terhadap kesepakatan bersama.
Sikap ini merupakan pelajaran politik yang buruk bagi
para pendukungnya 
juga
masyarakat luas. Sebaiknya mereka ikhlas untuk tidak
ikut pemilu karena
pendukungnya memang tidak memadai sebagai partai
politik.
Bila cara-cara berdemokrasi di negara ini masih
dijalankan dengan 
irasional,
maka negara ini akan berkutat pada persoalan-persoalan
yang kini tengah
dialami. Krisis tidak akan selesai ketika bangsa ini
ternyata juga 
mengalami
tiadanya politisi yang bervisi negarawan.
Bangsa ini sulit lepas dari krisis yang multidimensi
karena dipimpin 
oleh
semangat demokrasi yang irasional dan tidak mengenal
malu.
Sulardi Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com