[Nusantara] Zuhairi Misrawi : Teologi Prokemanusiaan

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Fri Sep 20 13:01:07 2002


Zuhairi Misrawi : Teologi Prokemanusiaan
Koordinator Jaringan Islam Emansipatoris, P3M, Jakarta

HAK asasi manusia (HAM) telah menjadi 'kontrak
global', sehingga setiap
penghuni dunia kian haus akan terciptanya kehidupan
yang lebih humanis,
pluralis, dan inklusif. Dalam kehidupan yang
serbadinamis-kompetitif, 
HAM
seakan menjadi 'makhluk baru' yang akan membawa
kedamaian. Karena itu,
seluruh penduduk dunia memberikan perhatian khusus
pada setiap 
pelanggaran
HAM.
Berkaitan dengan keinginan untuk membumikan HAM,
pemerintah membentuk 
Komisi
Nasional HAM yang di antara tugasnya menganalisis dan
merekomendasikan
setiap pelanggaran HAM. Ini merupakan langkah
progresif untuk 
mewujudkan
tatanan masyarakat yang menghargai dan menegakkan HAM.
Namun dalam
kenyataannya, kesadaran atas HAM masih belum merata
dan mendarah 
daging. Ini
dibuktikan dengan meletusnya konflik dan kekerasan
sosial di beberapa
wilayah di Tanah Air. Dalam beberapa tahun terakhir
tercatat sejumlah
pelanggaran HAM berat yang menyebabkan hilangnya nyawa
manusia tak 
berdosa.
Karena itu, dalam rangka mematangkan visi HAM,
diperlukan dorongan 
diskursif
agar doktrin keagamaan dapat menyuplai pemahaman yang
akan memantapkan
penghayatan terhadap HAM. Sehingga mayoritas
masyarakat beragama turut
mengampanyekan wacana keagamaan yang humanis, toleran,
dan inklusif.
Kekakuan teologis
Dalam keberagamaan masyarakat di Tanah Air, sering
kali ditemukan 
adanya
preseden buruk bagi terbentuknya wacana HAM. Ini tak
lain, dikarenakan
persepsi yang kurang benar terhadap doktrin keagamaan.
Masih ada 
persepsi di
sebagian masyarakat, bahwa agama tidak mengakomodasi
HAM. Hal tersebut
diasumsikan, bahwa pesan yang dibawa agama adalah
pesan Tuhan yang 
abadi,
absolut, dan unlimited. Sedangkan HAM adalah pesan
manusia yang profan 
dan
limited.
Pandangan tersebut sebenarnya diperkuat dengan adanya
perangkat 
teologis
yang menghunjam dalam disket keberagamaan kita. Lihat
misalnya, doktrin
'Islam senantiasa powerful dan tak tertandingi' atau
'Islam kompatibel 
untuk
setiap ruang dan waktu'. Kedua doktrin tersebut seakan
menyihir 
kesadaran
kognitif untuk menerima seluruh yang berlabel 'islam'
tanpa reserve
serta-merta menganggapnya sebagai doktrin yang taken
for granted. 
Karena
itu, pemahaman keagamaan yang muncul ke permukaan,
sebagaimana dirinci 
dalam
gugusan sejarah klasik, lalu bermetamorfosis sebagai
'ritualitas' yang
sifatnya mengikat dan imune terhadap kritik
konstruktif.
Pada tataran tertentu, doktrin tersebut semakin
menunjukkan 
keangkuhannya,
misalnya dengan menampakkan wataknya yang
'serbabenar', sehingga yang
mengemuka dalam realitas kecenderungan 'menyalahkan'
dan 'mengafirkan'.
Pemandangan semacam ini merupakan karakteristik
pemikiran abad 
pertengahan
yang mengandaikan adanya sentrum: pemahaman yang
bersifat homogen dan
dominatif. Keragaman pemahaman tidak membentuk
sinergitas dan dialog 
yang
mengakui perbedaan dalam tataran wacana, akan tetapi
keragaman yang 
mencipta
dogmatisme, walau hanya dalam ruang lingkup yang
sangat terbatas. 
Karena
itu, setiap pemikiran keagamaan membentuk 'dogmatisme
lokal'.
Indikasi ke arah terbentuknya pemahaman yang dogmatis
dan dominatif 
dapat
dilihat dalam pelbagai bentuk dan corak. Dalam
masyarakat tradisional,
biasanya Tuhan dipersonifikasikan dalam
persepsi-persepsi yang di satu 
sisi
menunjukkan kekuasaan-Nya yang bersifat mutlak dan
absolut, tapi di 
sisi
lain mengisyaratkan keterikatannya dengan hal-hal yang
bersifat 
manusiawi.
Namun, satu hal yang tidak bisa dimungkiri bahwa
pandangan tersebut
sebenarnya dalam koridor pembelaan terhadap Tuhan.
Konsep nasib yang diracik Imam Asy'ari misalnya,
membuktikan 
kecenderungan
tersebut yang sering kali mengembalikan seluruh
persoalan kepada Tuhan
semata. Konsepnya pun terkesan sarat dengan
ambiguitas: antara 
kekuasaan
Tuhan dan kebebasan manusia. Manusia sebagai makhluk
yang dicipta harus
tunduk pada aturan-aturan-Nya, dan dituntut untuk
mengikuti segala yang
menjadi kehendak Tuhan, sebagaimana tercermin dalam
doktrin 'kodrat' 
dan
'iradat'. Di sisi lain, mereka menggunakan analogi
empiris terhadap 
yang
abstrak. Namun, kedua optik yang digunakannya, masih
dalam takaran yang 
pada
akhirnya akan memantapkan posisi Tuhan. Karena itu,
teologi yang
dikembangkan selalu berpihak pada Tuhan, juga
menenggelamkan eksistensi
manusia.
Dalam masyarakat modern pun artikulasi teologisnya
tidak jauh berbeda,
bahkan terkesan lebih problematis, karena menggunakan
Alquran sebagai 
simbol
otoritas. 'Kembali kepada Alquran dan Sunah' digunakan
sebagai 
'teologi'
yang akan mengukuhkan Tuhan. Doktrin tersebut menjadi
'korpus tertutup' 
yang
tidak bisa diotak-atik, dan seluruh yang bertentangan
dengan doktrin
tersebut dianggap bid'ah, tidak sesuai dengan ajaran
Tuhan.
Tentu saja, pandangan keagamaan seperti ini membentuk
'teologi 
teosentris'
yang kaku. Seakan-akan agama hanya sebatas mengukuhkan
dan membela 
Tuhan
belaka. Agama hanya identik dengan persoalan-persoalan
langit yang 
bersifat
transenden dan supranatural.
Visi humanis
Karena itu, dalam rangka mengukuhkan pemahaman
keagamaan yang bervisi 
HAM,
sejatinya masyarakat beragama dalam mengembangkan
pemahaman keagamaan 
bottom
up: menjadikan manusia sebagai subjek dan objek
sekaligus. Dalam 
tradisi
klasik, Mu'tazilah sebenarnya sudah mengembangkan
teologi bervisi HAM, 
yaitu
dengan mengeliminasi konsep sifat Tuhan yang dua puluh
menjadi dua 
sifat
yaitu al-ilm (ilmu) dan al-iradah (kehendak) sebagai
upaya menghidupkan
rasionalitas dan kebebasan berkreasi. Muhammad Abduh
juga menekankan 
aspek
tersebut dalam mognum opus-nya, Risalah al-Tauhid.
Karena itu, untuk mengukuhkan teologi dan doktrin
keagamaan yang 
bervisi
kemanusiaan sejatinya dapat memenuhi dua hal penting.
Pertama, doktrin
keagamaan semestinya dapat memberikan perhatian yang
lebih besar pada
persoalan kemanusiaan. Ini dalam rangka
mengontekstualisasikan teologi
dengan problem kemanusiaan. Kedua, teologi sejatinya
dapat mendorong 
bagi
terciptanya kebebasan berpikir dan iklim demokratis,
sehingga teologi 
tidak
hanya dijadikan alat justifikasi kepentingan politik.
Jika semua ini bisa mendarah daging bagi masyarakat
beragama, maka 
harapan
untuk menghargai dan menegakkan HAM semakin dekat di
depan pelupuk 
mata.
Sebaliknya, jikalau masih merujuk pada teologi yang
kaku dan rigid, 
harapan
untuk membumikan HAM akan semakin jauh dari angan dan harapan.***

=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com