[Nusantara] Tangkisan Letug: POLITIK SWASTA AUSTRALIA

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Sep 22 09:24:20 2002


Tangkisan Letug: POLITIK SWASTA AUSTRALIA

Sebuah wacana politik global yang sedang naik daun
saat ini adalah wacana politik kemanusiaan, yang
kerangka legal-formalnya dirumuskan dengan istilah
Human Rights. Ini sebuah wacana yang inklusif dan
sekaligus sebuah wacana yang sangat powerful untuk
memperkuat tekanan dunia internasional bagi sebuah
negara.

Tentu saja kita sangat antusias menyambut wacana ini,
bukan saja karena ini menyangkut harkat dan martabat
kita sebagai bagian dari umat manusia, tetapi
lebih-lebih ini merupakan sebuah pengakuan dunia
terhadap cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang mau menjunjung
kemanusiaan yang adil dan beradab, sebuah kesadaran
cita-cita yang muncul sejak awal berdirinya sebuah
bangsa Indonesia.


Belajar dari peristiwa Timor-Timur, lepas dari
pandangan sempit politis Orde Baru, kita bisa belajar
banyak tentang sikap politis Australia. Mengapa
penulis membahas kini tentang Australia? Ada beberapa
alasan untuk ini. Pertama, Australia adalah tetangga
yang sangat dekat sekaligus sangat jauh dari
mentalitas kulturalnya dengan bangsa Indonesia. Hal
ini seringkali menimbulkan rasa membutuhkan di satu
pihak, dan di lain pihak mengembangkan kewaspadaan
atas dasar pengalaman sejarah yang seringkali tidak
menguntungkan bangsa Indonesia. Kedua, Australia dalam
penampilan wajah di dunia internasional kini dengan
gaya kepemimpinan Howard telah dengan gamblang menjadi
wakil kepentingan kolonialisme baru di belahan Asia
Tenggara. Ketiga, kekuatan swasta di Australia yang
kini sedang menjadi kekuatan terdepan dalam diplomasi
internasionalnya.

Ketika ditemukan sebuah pesawat intai beberapa waktu
lalu di Sulawesi, diberitakan bahwa pesawat itu
diproduksi di Australia. Sayang sampai sekarang tidak
ada tindak lanjut dari penemuan pesawat intai yang
jatuh itu. Diberitakan pula beberapa kali pesawat
Australia masuk ke wilayah Indonesia tanpa ijin. Ini
tampaknya menjadi manuver yang sudah biasa. Ini pun
tanpa ada tindak lanjut dari pemerintah Indonesia.
Kemudian, manuver yang paling kasad mata itu terkait
dengan kebijakan Howard terhadap pemerintahan Habibie,
dengan menyampaikan surat "tekanan" untuk melepaskan
Timor Timur. Dan tentu saja, sebelum hal itu terjadi,
sudah ada manuver swasta yang membantu rakyat Timor
Timur yang benar-benar menderita dibawah kekejaman
tentara-tentara Indonesia yang ada di sana. Banyak LSM
dari Australia yang bersimpati pada kemerdekaan
Timor-Timur dengan alasan kemanusiaan.

Akankah kini Australia bermanuver untuk kemerdekaan
Papua dan Aceh?

Penulis bersimpati pada penderitaan rakyat Aceh dan
Papua. Dan tidak jarang pula, penulis menyampaikan
kritik lewat tulisan di berbagai milis terhadap TNI
yang kejam dan jahat. Kekejaman fisik oleh tentara
adalah salah satu dari pengalaman orang-orang tak
berdaya. Ada pengalaman ketidakberdayaan dalam level
ekonomi dan sosial. Dan pengalaman-pengalaman semacam
ini dialami hampir setiap hari oleh masyarakat miskin,
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh
dunia. Maka, aspirasi untuk memperjuangkan kemerdekaan
atas dasar pengalaman ketertindasan tampak mendapatkan
"legitimasi"-nya. Bukankah perjuangan kemerdekaan
Indonesia mendapatkan "legitimasi" juga dari
pengalaman ketertindasannya? Maka, sulit untuk tidak
memiliki simpati terhadap perjuangan kemerdekaan
rakyat di Aceh dan Papua.

Di sinilah saya kira poinnya bila kalangan swasta
asing, Australia dan negara-negara lain, memberikan
dukungannya terhadap gerakan kemerdekaan Papua dan
Aceh di Indonesia. Logikanya: ada penindasan-lalu
muncul perjuangan kemerdekaan. Tampak sangat logis dan
memang masuk akal.

Tetapi bila kita lebih lanjut bertanya, mengapa
simpati justru sangat deras mengalir ke bangsa lain
dan bukan terhadap ketertindasan sekelompok masyarakat
di negerinya sendiri? Pertanyaan ini memang syarat
dengan kepentingan politis, begitu juga jawabannya.
Rupa-rupanya tetap berlaku pepatah ini: Semut di
seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak
kelihatan. Dan tentu saja akan jauh lebih aman dengan
menunjuk borok itu di seberang lautan daripada di
negaranya sendiri.

Saya semakin yakin itulah yang melatarbelakangi gerak
gerik Australia terhadap Indonesia selama ini.

Ciri demokrasi di Australia antara lain memisahkan
antara apa yang menjadi kawasan swasta dari kawasan
negara (pemerintah). Politik luar negeri pemerintah
Australia bisa sama sekali berwajah beda dari politik
swasta. Situasi ini dimanfaatkan dengan cerdik untuk
memainkan kartu diplomasi luar negeri Australia.
Dengan dalaih swasta, pemerintah Australia bisa lepas
dari tuduhan merongrong negara lain. Saya kira hal ini
masih kurang lebih sama dengan negara-negara kapitalis
dunia lainnya.

Peristiwa pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada
tokoh Papua oleh sebuah universitas di Australia
(RMIT) beberapa waktu yang lalu boleh dipahami dalam
rangka politik swasta-nya Australia. Untuk
mengungkapkan simpati terhadap perjuangan rakyat yang
tertindas, cara-cara semacam ini lazim. Ingat juga
penerimaan Nobel Perdamaian oleh dua tokoh Timor Timur
beberapa tahun lalu.

Swasta di jaman globalisasi ini menjadi garda depan
diplomasi yang sangat efektif untuk memperjuangan
agenda-agenda politis sebuah negara. Kepentingan
swasta biasanya lebih terkait dengan kepentingan
ekonomi dan ideologis. Tentu saja dari perspektif
solidaritas kemanusiaan ini sangat positif. Tetapi
dari perspektif perjuangan kamanusiaan sebuah bangsa
ini sangat kontra produktif.

Menarik untuk mengutip tulisan Bp. Arief Budiman dalam
milisnya tertanggal 19 September 2002:

"Posisi saya sendiri dalam menghadapi masalah Aceh dan
Papua (dulu juga begitu dalam hal masalah Timtim),
saya bersimpati dengan penderitaan mereka. Tapi saya
ingin mereka tetap ada dalam pangkuan NKRI. Saya sadar
bahwa pemerintah Indonesia banyak kekurangannya,
korupsi merajalela, militer masih tetap berkuasa, dan
sebagainya. Ada orang Papua secara lucu berkata kepada
saya: "Bapak. Bagaimana saya mau ikut kapal Bapak
kalau nakhodanya korupsi terus kerjanya. Lebih
baik saya turun dari kapal dan berlayar dengan perahu
saya sendiri." Ya, ada juga logikanya, bukan?) Untuk
itu saya berkata: 'Marilah sama2 kita perbaiki dari
dalam. Tetaplah diatas kapal. Tak usah ambil perahu
dulu. Kami orang2 Indonesia yang jadi rakyat masih
butuh orang2 seperti anda untuk berjoang bersama kami
dari dalam, karena saya lihat anda2 ini orang yang
berani dan penuh semangat.'"

Penulis sendiri sependapat dengan beliau bahwa dari
lubuk yang terdalam, penulis juga masih menghendaki
rakyat Papua dan Aceh tetap ada dalam NKRI.

Posisi semacam ini perlu dipertegas, dengan
mengkritisi tidak hanya pemerintahan Indonesia
sendiri- yang memang sangat perlu dikritik dengan
pedas karena bebalnya- tetapi juga faktor-faktor asing
yang tak kalah destruktifnya terhadap cita-cita
nasional Indonesia yang mau mewujudkan kemanusiaan
yang adil dan beradab.

Nah, dari pengalaman sejarah, Australia selalu menjadi
duri dari perjuangan cita-cita Indonesia untuk
menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab itu.
Dengan kekuatan kapital (ekonomi) dan inteligen-nya,
sekaligus menggunakan kekuatan wacana kemanusiaan
universalnya, yang terjadi sebenarnya adalah
penggerogotan cita-cita bangsa Indonesia dari berbagai
segi.

Oleh karena itu, ada beberapa pemikiran yang perlu
untuk menyikapi politik Australia terhadap Indonesia.

(1) Perlu revolusi diplomasi dalam memandang Australia
sebagai negara tetangga. Tidak cukup melihat Australia
dari segi ekonomi dan politik, tetapi juga dari segi
sejarahnya, termasuk sepak terjangnya di kawasan Asia
Tenggara dan tentu saja Indonesia.
(2) Perlu dibangun wacana politik yang elegan-tanpa
membuat takut Australia, tetapi sungguh bisa
mematikan. Misalnya, kita bisa mengembangkan politik
kebudayaan yang tidak terkait dengan ekspansi
ekonomis, tetapi kita bisa sebaliknya mempengaruhi
cara berpikir mereka. Satu kekuatan kultural yang
jarang dipakai adalah kekuatan politik kejawen atau
lokal dalam diplomasi. Selama ini kita menggunakan
gaya diplomasi eropa, tetapi meninggalkan cara-cara
timur (asia). Bila diplomat-diplomat kita menguasai
bahasa Inggris, ia tidak perlu menggunakan bahasa
Inggris untuk berbicara, tetapi menggunakan bahasa
kita, Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia yang
pernah dilakukan jaman Soeharto amat efektif untuk
suatu diplomasi. Artinya, dengan penggunaan idiom
bangsa kita, kita tidak terjebak dalam kerangka pikir
orang asing. Inilah yang saya maksudkan diplomasi
kultural.
(3) Diplomasi yang agresif untuk kepentingan nasional
Indonesia. Selama ini kita lebih defensif. Maka, untuk
menjaga kepentingan nasional, kita perlu kreatif
mencari kekuatan dan kelemahan lawan diplomasi kita.
Sayangnya, inisiatif dan kreativitas para diplomat
kita masih sangat-sangat rendah. Para diplomat kita
hampir di mana-mana masih mengidap mental "ndoro",
kalau tidak "ditabuh" tidak berbunyi; kalau tidak
diundang, tidak datang. Lagi pula, banyak sekali para
diplomat kita yang sangat tidak profesional, dan
diangkat karena berdasarkan KKN.
(4) Maka untuk mereformasi diplomasi Indonesia,
penulis sangat merindukan adanya SEKOLAH DIPLOMASI,
atau kalau mau belajar dari negara-negara Eropa, kita
perlu memiliki sebuah sekolah yang menyiapkan secara
profesional para calon diplomat kita, sebutlah sekolah
itu AKADEMI INDONESIA, dimana yang diajarkan tidak
hanya sekedar masalah hukum, tetapi juga filsafat,
antropologi, ekonomi, dan ilmu-ilmu kemanusiaan yang
relevan lainnya. Seni diplomasi adalah seni membangun
wacana dan berargumentasi. Kerakusan untuk menguasai
bahasa dan pemikiran sangatlah diharapkan bagi seorang
diplomat. Kini Australia-lah yang sangat rakus
mempelajari kultur dan bahasa Indonesia, dan pihak
bangsa Indonesia merasa sudah puas dengan kondisinya
sebagai bangsa "besar".
(5) Untuk ke dalam sendiri, diperlukan sebuah
paradigma baru untuk membangun wacana nasionalisme
kita. Sebuah wacana Indonesia Baru perlu diisi lagi
dengan visi dan misi yang menyentuh kepentingan
wilayah-wilayah rawan seperti Papua dan Aceh.
Kegagalan membangun visi Indonesia Baru bisa membawa
pada keruntuhan kita sebagai bangsa.

Sekian semoga berguna.
21 September 2002



=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com