[Nusantara] Abd Rohim Ghazali : Etika Politik Pejabat Negara
Gigih Nusantara
gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Sep 22 09:25:39 2002
Abd Rohim Ghazali : Etika Politik Pejabat Negara
SEBELUM rapat terbatas tim penilai akhir untuk
menentukan pejabat
eselon I
dan II di Istana Negara, 30 Agustus 2002, Menteri
Dalam Negeri
(Mendagri)
Hari Sabarno menuding Komisi Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN)
telah
bertindak tidak etis karena telah mengumumkan
nama-nama pejabat negara
yang
belum menyerahkan laporan kekayaannya.
Ketika membaca pernyataan Mendagri itu di koran yang
terbit 31 Agustus
2002,
saya teringat ungkapan salah seorang tokoh pencetus
"kontrak sosial",
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). "Setiap warga
negara," kata
Rousseau,
"akan merasa diri tak putus-putusnya berada di bawah
pengawasan
publik."
Jika warga negara biasa saja tak bisa lepas dari
pantauan publik,
bagaimana
pula dengan pejabat negara? Dalam bukunya Political
Ethics and Public
Office
(1987), Guru Besar Filsafat dari Universitas Harvard,
AS, Dennis F
Thompson,
menegaskan bahwa para pejabat sesungguhnya bukan warga
negara biasa.
Mereka
memiliki kekuasaan atas warga negara, dan bagaimanapun
mereka merupakan
representasi dari warga negara.
Perbedaan-perbedaan signifikan antara pejabat negara
dan warga negara
membuat berkurangnya wilayah kehidupan pribadi
(privacy) para pejabat
negara. Karenanya, privacy pejabat negara tidak harus
dijaga, bila
perlu
dikorbankan untuk menjaga keutuhan demokrasi dan
menjaga kepercayaan
warga
negara.
Apa pun yang dilakukan para pejabat negara terutama
kebijakan-kebijakan
politik yang ditempuhnya, sebesar dan atau seluas apa
pun kebijakan
itu,
sedikit banyak akan berpengaruh bagi kehidupan warga
negara. Karena
pengaruh
itu sedemikian "menguasai" kehidupan warga negara,
maka sudah
selayaknya
bagi warga negara untuk mengetahui secara
detail-termasuk masalah
pribadinya-siapa pejabat-pejabat negara yang menempuh
kebijakan-kebijakan
itu.
Pengetahuan secara detail ini merupakan bagian dari
garansi yang
membuat
warga negara menaruh kepercayaan pada pejabat negara
yang telah
dipilihnya.
Warga negara harus punya keyakinan bahwa pejabat
negara yang dipilihnya
benar-benar memiliki fisik yang sehat dan pribadi yang
jujur. Harus ada
jaminan bahwa pejabat negara tidak akan mempergunakan
kekuasaan dan
kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan
kelompoknya. Di
sinilah
pentingnya pengetahuan yang jelas mengenai pribadi
pejabat negara,
terutama
tentang kekayaan dan kesehatannya.
Dengan pengetahuan itu warga negara bisa mengontrol,
atau paling tidak
mengetahui, apakah seorang pejabat negara berkompeten
untuk jabatan
yang
dipangkunya. Dengan pengetahuan itu pula warga negara
bisa mengetahui
secara
pasti jabatan yang diamanatkan tidak digunakan untuk
berselingkuh atau
memperkaya diri (korupsi).
Kita sering terjebak pada suatu etika, entah etika ini
datangnya dari
mana,
bahwa untuk menjaga wibawa dan kehormatan pejabat
negara maka kehidupan
pribadinya harus dirahasiakan dari pengetahuan publik.
Kesehatan
seorang
presiden misalnya, harus menjadi rahasia negara dan
tak seorang warga
negara
pun boleh mengetahuinya. Demikian juga dengan
perselingkuhan-perselingkuhan
yang dilakukannya. Tidak etis mempublikasikan
kepribadian seorang
pejabat
negara.
Saya kira anggapan itu tidak tepat. Menjaga wibawa dan
kehormatan
pejabat
negara seperti presiden, anggota kabinet, anggota
parlemen, duta besar,
atau
apa pun jabatan dan kedudukannya, bukan dengan
menyembunyikannya dari
publik. Menyembunyikan pejabat negara dari amatan
publik akan
menciptakan
kesenjangan antara pejabat negara dengan warga negara.
Sebagai
akibatnya
pejabat negara menjadi terasing dari warga negara yang
berada di bawah
tanggung jawabnya.
Wibawa dan kehormatan pejabat negara justru akan
terpupuk apabila warga
negara merasa dekat dengan mereka. Kedekatan itu akan
terbangun
manakala
warga negara tahu secara pasti kompetensi kapabilitas
dan ketinggian
kepribadian mereka.
***
MEMANG, pejabat negara bukanlah nabi atau malaikat
yang luput dari
dosa,
mereka juga bukan makhluk serba sempurna dari planet
lain, mereka tetap
manusia biasa, karenanya harus bisa menjaga kehormatan
dirinya dengan
cara
berinteraksi secara intensif dengan warga negara yang
memilihnya.
Dengan
begitu akan terhindar dari kesalahpahaman, tidak mudah
termakan fitnah,
dan
yang lebih penting lagi, senantiasa merasa dikontrol
oleh warga negara.
Hanya dengan kinerja seperti itulah pejabat negara
bisa menghindarkan
diri
dari penyalahgunaan jabatan, manipula-si, dan korupsi.
Jika pejabat negara mampu menjaga diri dari segala
perbuatan yang
mengotori
dirinya, wibawa, dan kehormatan tentu akan datang
dengan sendirinya. Di
sinilah pentingnya warga negara mengetahui dengan
pasti lingkup
kepribadian
pejabat negara. Karena, para pejabat negara
kadang-kadang mewakili
warga
negara bukan sebatas ketika mengambil
kebijakan-kebijakan publik
melainkan
juga dalam tingkah laku pribadi mereka sehari-hari.
Dalam konteks inilah, keniscayaan pejabat negara
melaporkan harta
kekayaannya, seperti yang kini tengah digalakkan di
Indonesia melalui
KPKPN,
merupakan salah satu poin penting dari etika politik
pejabat negara, di
samping segudang etika yang juga berlaku bagi seluruh
warga negara.
Keengganan (apalagi penolakan) pejabat negara
diperiksa KPKPN merupakan
pelanggaran serius terhadap etika politik di hadapan
warga negara.
Mereka
telah menutup hak warga negara untuk mengetahui secara
pasti apakah
dirinya
sebagai pejabat negara benar-benar bersih dari korupsi
atau tidak.
Memang, dalam sebuah negara yang relatif demokratis,
pejabat negara
diikat
oleh peraturan yang relatif lebih banyak dibandingkan
dengan warga
negara
biasa, dan bukan sebaliknya seperti yang terjadi di
umumnya negara
totaliter
yang melonggarkan peraturan bagi pejabat negara dan
mengetatkannya bagi
warga negara biasa.
Dalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi, warga negara
punya hak untuk mengetahui sebanyak-banyaknya
kesehatan, kepribadian,
termasuk kebiasaan sehari-hari pejabat negara yang
dipilihnya. Jika
sang
pejabat dinilainya melenceng dari "harapan-harapan
ideal" yang telah
ditetapkan warga negara yang memilihnya, mereka berhak
menggugat,
memprotes,
bahkan mengajukan petisi agar yang bersangkutan
mengundurkan diri atau
dipecat dari jabatannya.
Pernyataan penilaian terhadap pejabat itu bisa
diajukan kapan saja,
tanpa
harus menunggu putusan peradilan formal mengenai
"dosa" yang telah
diperbuat
seorang pejabat, karena warga negara memiliki nurani
dan
sensitivitasnya
sendiri dalam menetapkan kriteria dan menilai dalam
batas mana seorang
pejabat dianggap telah keluar dari "jalan yang benar"
atau tidak.
Dalam konteks ini, putusan peradilan bukanlah sarana
untuk melegitimasi
keharusan mundurnya seorang pejabat karena
pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukannya, keputusan peradilan adalah badan
eksekusi apakah seorang
pejabat bisa didenda, dipenjara, atau bahkan digantung
akibat
pelanggaran
atau kejahatan korupsi yang telah dilakukannya.
Oleh karena itu, seorang pejabat negara yang dinilai
telah melenceng
dari
kriteria kebenaran yang ditetapkan warga negara,
mengundurkan diri
merupakan
kehormatan bagi dirinya, karena dengan begitu ia
dianggap memahami
kemauan
warga negara. Cara-cara mulia ini sudah banyak
mentradisi di
negara-negara
yang pejabat maupun warganya mampu memahami dan
menaati etika
bernegara.
Contohnya antara lain Jepang dan Amerika.
ABD ROHIM GHAZALI Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas
Indonesia
=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com