[Nusantara] Benny Susetyo Pr : Menjadi Bunda Rakyat

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Sun Sep 22 12:12:11 2002


Benny Susetyo Pr : Menjadi Bunda Rakyat

    Dalam Republik, Plato mengatakan bahwa seorang
pemimpin yang adil 
adalah
yang menjalankan fungsinya secara benar. Pemimpin
sejati harus memiliki
ketegaran dalam prinsip, welas asih terhadap kaum
lemah dan hina-dina. 
Dia
tidak mudah mengeluh, dan segala yang terbaik
diberikan kepada bangsa.
Membangun sebuah bangsa dengan karakteristik
masyarakat yang beragam 
memang
bukan pekerjaan mudah, tapi itu bukanlah alasan agar
sebuah keluhan 
seorang
pemimpin bisa dibenarkan. Artinya diperlukan sikap
yang benar-benar 
bijak,
berani, tegas, konsisten, dan menggunakan cara pandang
pluralistik. 
Dengan
kata lain, cara pandang yang otoriter dan sentralistik
sangat perlu
dihindarkan.Pengalaman semasa Orde Baru sangat
berkaitan dengan 
persoalan
ini. Suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang
beragam itu 
dilihat
dengan cara pandang tunggal. Tidak diperhatikan dengan
sungguh-sungguh 
bahwa
bangsa Indonesia tidak didirikan di atas dominasi satu
suku, melainkan 
satu
penderitaan dan nasib. Pluralitas ini dipakai sebagai
dalih Orba untuk
menjaga harmoni kehidupan. Tapi atas nama keseimbangan
itu pula lantas
digunakan politik pecah belah/adu domba. Peluang
konflik ditekan oleh
kekuasaan, dan tidak diarahkan menuju sikap saling
menghormati untuk
keberhasilan pembangunanDi sisi politik, melalui
kebijakan massa 
mengambang
(floating mass) yang ada, partai politik tidak
memiliki akar ke bawah.
Politik hanya dimengerti sekadar pesta lima tahunan
untuk menduduki 
kursi.
Setelah kursi diraih mereka berpesta pora untuk
mengeruk duit (katanya 
untuk
menjaga apa yang mereka sebut sebagai keseimbangan
itu). Maka politik 
pun
menjadi kotor di tanah air karena terkait dengan
fungsi harta milik. 
Harta
milik yang seharusnya berfungsi sosial realitasnya
dimengerti sebagai 
sumber
kekuatan politik tertentu.Apa akibatnya di masa kini?
Politik uang. 
Bahkan
muncul pomeo bahwa politik tanpa uang sama dengan
garam tanpa sayur.
Kekuatan uanglah yang mengatur perpolitikan saat ini.
Oleh karena itu 
tak
heran bila muncul rumor bahwa pemilihan Gubernur DKI
Jakarta (dan 
tentunya
berbagai kepala daerah lain di Indonesia) dicurigai
menggunakan politik
uang. Kita harus jujur mengatakan bahwa itulah harga
sebuah republik 
ketika
uang menjadi penentu segala keputusan. Partai politik
sudah mengalami
kematian. Maksudnya partai politik hanya sekedar
menjadi simbol yang 
tak
mampu lagi merealisasikan kebutuhan rakyat. Elite
politik begitu yakin 
bahwa
rakyat itu mudah dibeli dan dijadikan alat untuk
memenuhi ambisi 
politiknya.
Ketika uang dijadikan simbol, maka tanpa sadar
sebenarnya elite politik
telah kehilangan mata hati.Tujuan politik untuk
kemaslahatan hidup 
rakyat
yang seharusnya dipancarkan, sedikit demi sedikit
padam. Dewa Mamon 
itulah
yang merusakan moralitas publik saat ini. Di sini
tumbuh cara berpikir 
yang
menyesatkan di kalangan sebagian elit. Akibatnya
kebohongan menjadi hal 
yang
wajar dan bahkan "norma politik".Lazimnya, seorang
pemimpin sebuah 
bangsa
yang dirundung ketidakmenentuan adalah mereka yang
selain memiliki 
sikap
tabah, sabar, konsisten juga karakter yang kuat.
Karakter "kuat" yang
dimaksudkan di sini bukanlah "kuat" untuk menindas
yang lemah, 
melainkan
"kuat" untuk menghadapi segala cobaan, tantangan dan
hambatan. Karakter
"kuat" juga bisa diidentikkan dengan sikap yang tidak
mudah menyerah 
pada
keadaan alias fatalistikJika masih ada peluang untuk
berbuat, jangan
sekali-kali menunjukkan sisi lemah kita misalnya
dengan mengeluh, 
merasa
capek, memohon-mohon cuti, merasa tidak dibantu dan
dikritik 
terus-menerus,
merasa tidak dihargai kerjanya dan seterusnya.
Mengapa? Pemimpin (yang
berkarakter) kuat adalah pemimpin yang meramu segala
kritik, tidak
menunjukkan ketidakmampuan di hadapan yang
dipimpinnya, dan 
terus-menerus
mengakomodasi segala tuntutan sekaligus
merealisasikannya. Dengan 
demikian,
masyarakat melihat bahwa perjuangan sang pemimpin tak
diragukan 
lagi.Jika
sebuah bangsa yang dirundung masalah nyatanya dipimpin
oleh karakter 
yang
berkebalikan dengan sikap di atas, maka niscaya bangsa
tersebut akan 
hancur.
Jika dia secara politik kuat, tapi secara mental
sebaliknya maka akan 
lahir
sikap otoriter dan bisa semaunya sendiri. Dia akan
merasa sudah berbuat
padahal belum, merasa sudah bisa padahal tidak. Sisi
lain, masyarakat 
akan
kehilangan rasa percaya diri manakala seorang pemimpin
sudah merasa 
putus
asa menghadapi rimba persoalan yang semakin
menggunung. Sebab 
keputusasaan
merupakan cermin hilangnya kehidupan; keputusasaan
berarti mematikan
harapan. Boleh jadi, keputusasaan itu lahir karena
mata hati selama ini
tidak dijadikan pijakan. Ketika mata hati digantikan
pola kekuasaan 
yang
hanya mengejar hal-hal material belaka, maka kekuasaan
hanya dijadikan 
alat
untuk kepentingan "saya". Alam demokrasi berubah
menjadi mendung 
kelabu.
Secara psikologis, keluhan akan terlontar sebagai
bentuk kekecewaan 
yang
luar biasa karena melihat segala yang diperbuat tak
direspon secara 
positif
oleh orang lain. Akibat saling mengeluh maka dengan
mudah orang akan
menyudutkan satu dan yang lain karena tidak adanya
rasa saling
percaya.Penyakit "mengeluh" inilah yang akan membuat
bangsa ini semakin
berada di ambang kehancuran. Jadi hancurnya sebuah
bangsa bukanlah
semata-mata disebabkan oleh kekuatan dari luar,
melainkan kekuatan dari
dalam diri sendiri yang tidak diolah secara produktif.
Dengan 
"mengeluh"
maka rasa putus asa akan muncul dan dalam rangka
mencapai tujuan akan
menggunakan segala cara. Misalnya, nasionalisme akan
dipandang secara 
sempit
dan dimengerti secara fasis, di mana kekerasan
dijadikan domain 
satu-satunya
pencapai tujuan. Jika mentalitas ini yang terjadi pada
elit politik
Indonesia saat ini, maka sebenarnya tidak ada
perbedaan yang terlalu
mencolok dengan mentalitas yang dimiliki Hitler,
Musollini, ataupun
Changkhaisek.

    bunbJika pemimpin sudah mengeluh dan tidak
menggunakan prinsip 
moralitas
, maka bagaimana rakyatnya?Realitas inilah yang
seharusnya terbaca oleh 
mata
hati ibu yang sejak awal merindukan agar moralitas
publik dijadikan 
acuan
terhadap para pejabat negara. Namun, realitas yang
telah lama 
dirindukan
oleh kawula alit ini lama-kelamaan menjadi pudar di
dalam sanubari ibu.
Kawula alit berharap agar ibu kembali menjadi "bunda
rakyat" yang telah
menjadikan ibu sebagai simbol perlawanan. Simbol itu
akan sirna bila 
ibu
mengambil jarak terhadap mereka. Ibu hanya dijadikan
simbol di luar
kesadaran mereka, bukan dalam kesadaran yang
sesungguhnya. 
Ingatlah-dengan
meminjam konsep Heidegger-bahwa kesadaran yang
sesungguhnya itu 
dirumuskan
dalam realitas obyektif antara "pengada" dan "yang
diadakan". Pengada 
adalah
absolut karena dia sumber kebenaran. Sumber kebenaran
itu diadakan demi
pengada yang sumber legimitasinya.Ketika kekuasaan
telah kehilangan 
sumber
"pengada", maka dia tak lagi menjadi kalbu rakyat.
Dengan demikian, 
hidup
dalam kesadaran adalah hidup yang berani menghadapi
tantangan, dan 
bukan
dengan sikap reaktif apalagi menyalahkan pihak lain.
Adanya kritik 
adalah
untuk memperbarui sistem politik yang tidak lagi
menggunakan nurani dan 
mata
hati. Dan itu hanya mungkin terjadi bila ibu proaktif
untuk berani 
mengambil
tanggung jawab terhadap segala persoalan yang saat ini
terjadi. Tidak 
dengan
sikap diam (silence), lantas sekali bicara menyalahkan
orang lain. 
Menjadi
proaktif berarti hidup dalam nilai-nilai keadilan,
kemanusiaan, 
kejujuran,
dan ketulusan. Nilai-nilai inilah yang perlu dijadikan
acuan kembali 
dalam
kesadaran ibu, sehingga problem yang menggunung akan
mudah teratasi.
Kuncinya satu: jangan jadi pemimpin setengah-setengah.
Jadilah pemimpin 
yang
berani mengambil resiko tidak populer karena berani
menegakkan hukum 
sebagai
panglima. Rakyat butuh pemimpin yang berani bertindak
tegas dan 
didasari
oleh nilai-nilai moralitas.Oleh karena itu sudah
saatnya negara ini
dikembalikan pada zaman normal. Zaman yang
mengembalikan fungsi 
pemimpin
sebagai pelayan publik untuk mengatur sistem hidup
bernegara dengan
orientasi pemekaran nilai kemanusiaan, keadilan dan
kesejahteran. Maka 
saat
ini benar-benar kita ingin bertanya, bisakah ibu
menjadi "Bunda 
Rakyat?"

Penulis adalah budayawan dan penulis buku "Membuka
Mata Hati Indonesia"


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!
http://sbc.yahoo.com